Cleveland Cavaliers dan Sejarah Prestasi Bak Roller Coaster

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
Konten dari Pengguna
20 April 2019 8:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Logo Cleveland Cavaliers. Foto: NBA
zoom-in-whitePerbesar
Logo Cleveland Cavaliers. Foto: NBA
ADVERTISEMENT
Terpuruknya Cleveland Cavaliers pada NBA musim 2018/2019 mungkin mengejutkan banyak pihak. Usai empat musim sebelumnya selalu menembus partai final NBA dan sekali menjadi juara, musim ini mereka nyaris menjadi juru kunci Wilayah Timur. Sekarat. Sementara rivalnya dalam empat laga final, Golden State Warriors, masih berjaya.
ADVERTISEMENT
Mereka finis di peringkat ke-15 Wilayah Timur dan hanya sanggup mencatatkan 19 kemenangan, hanya dua kali lebih banyak dari New York Knicks. Di Divisi Sentral, barulah Cavs secara benar dan nyata menjadi juru kunci. Padahal, empat musim sebelumnya (2014/2015 hingga 2017/2018), mereka selalu sukses Divisi Sentral dan sekali menjuarai Wilayah Timur (2015/2016).
James gagal membawa Cavs juara NBA di musim terakhirnya sebelum pindah ke LA Lakers. Foto: Kyle Terada/Reuters
Kenapa bisa begitu? Jelas, karena sejumlah pilar cabut dari Rocket Mortgage FieldHouse (atau nama sebelumnya Quicken Loans Arena). Mereka adalah Jeff Green (ke Washington Wizards), Kyle Korver (ke Utah Jazz), Dwyane Wade (ke Miami Heat), hingga the one and only Lebron "The King" James (ke LA Lakers).
Jordan Clarkson (pencetak poin terbanyak kedua musim 2018/2019) dan Larry Nance Jr. yang tetap tinggal ternyata kurang mampu mengangkat moral tim. Dua pemain muda yang melejit namanya musim ini, Collin Sexton dan Cedi Osman, yang masing-masing menjadi pendulang poin terbanyak pertama dan ketiga, pun tidak bisa membantu banyak.
Kevin Love (#0) di pertandingan kontra Milwaukee Bucks, 25 Maret 2019. Foto: Gary Dineen/NBAE vie Getty Images
Bahkan Kevin Love, yang juga jadi andalan tim pada musim-musim sebelumnya, harus lama menepi karena cedera (melewatkan 5o laga) dan hanya sempat main sebanyak 22 laga untuk Cavs. Andai Love tidak cedera selama itu, bisa jadi Cavs tidak akan hancur-hancur amat. Sebab, dalam 22 laga yang ia mainkan, Love mencatatkan perolehan poin rata-rata 17,0 per laga, tertinggi dibanding pemain lain musim ini.
ADVERTISEMENT
Nama-nama seperti Tristan Thompson dan J.R. Smith (huft...) jelas tidak bisa diandalkan. Ya, kali. Beberapa pemain yang di-trade dari tim lain pun, seperti Brandon Knight, Cameron Payne, dan Alec Burksm, juga tak berkontribusi signifikan. Pelatih baru, Larry Drew, tak lebih baik dari Tyronn Lue.
'The Miracle of Richfield' hingga Stagnasi Prestasi
Bill Fitch. Foto: NBA
Namun, jika berkaca dari sejarah, performa musim-ke-musim Cavs memang laiknya wahana permainan roller coaster. Penuh jatuh dan bangun. Cavs memulai debut di NBA pada musim 1970/1971. Hingga musim kelimanya, mereka tidak pernah finis di bawah peringkat kedelapan klasemen NBA. Lumayan okelah.
Pada musim 1975/1976, prestasi Cavs melonjak. Mereka finis kedua di Wilayah Timur dan menjuarai Divisi Sentral, tetapi terhenti di babak playoffs. Hingga dua musim berikutnya, mereka juga selalu lolos playoffs. Pada masa itu, mereka dilatih oleh Bill Fitch, mantan instruktur Angkatan Laut Amerika Serikat, yang baru pada tahun 2019 namanya tercatat dalam Naismith Memorial Basketball Hall of Fame.
ADVERTISEMENT
Ohio History Sentral mengatakan bahwa prestasi bagus Cavs tidak terlepas dari kepindahan mereka dari Cleveland Arena ke Cleveland Coliseum (disebut juga Richfield Coliseum) di Richfield, Ohio, pada tahun 1974. Wilayah Richfield dikenal sebagai wilayah yang modern dan nyaman pada masanya, sehingga Coliseum membantu manajemen untuk menggaet pemain-pemain hebat.
Austin Carr (#34) saat membela Cavaliers. Foto: Dick Rafael/NBAE/Getty Images
Timnya saat itu berjuluk 'The Miracle of Richfield', yang dipimpin oleh 'Mr. Cavalier' alias Austin Carr, small forward Campy Russell, shooting guard Bobby "Bingo" Smith, center Jim Chones, dan pemain gaek bernama Nate Thurmond. Lalu, sejak musim 1978/1979--musim terakhir Fitch dan beberapa penggawa--hingga 1986/1987, Cavs mengalami stagnasi prestasi dan hanya sekali lolos playoffs.
Bisa jadi juga, mandeknya prestasi Cavs adalah akibat pemilik sebelumnya, Nick Mileti, menjual klub ke Ted Stepien pada 1980. Masalahnya, Stepien sama sekali tidak memiliki pengalaman yang diperlukan untuk memimpin sebuah klub basket.
ADVERTISEMENT
Krisis finansial pun terjadi dengan cepat. Imbasnya kita tahu, pemain andalan dan yang bergaji mahal dijual. Prestasi klub amat buruk, bahkan selama musim 1981/1982, Cavs hanya memenangkan 15 pertandingan dan finis ke-11 di Wilayah Timur serta jadi juru kunci Divisi Sentral.
Bangkit dari Stagnasi dan Rajin Lolos Playoffs
Lenny Wilkens. Foto: Joe Murphy/NBAE/Getty Images
Pada tahun 1983, Stepien menjual Cavaliers ke George dan Gordon Gund. Situasi keuangan tim membaik, begitu pula performa di lapangan basket. Dari musim 1987/1988 hingga 1997/1998, prestasi mereka konsisten membaik. Dari 11 musim yang ada, mereka hanya dua kali gagal menembus playoffs. Pelatih Lenny Wilkens--yang juga tercatat kemudian di Naismith Memorial Basketball Hall of Fame--dan Mike Fratello, secara estafet, menaikkan prestasi klub.
Ron Harper. Foto: Andrew D. Bernstein/NBAE/Getty Images
Beberapa nama pemain andalan pada periode itu adalah Ron Harper, Brad Daugherty, Mark Price, Larry Nance Sr., Hot Rod Williams, Terrell Brandon, Chris Mills, hingga Danny Ferry. Dari sisi manajemen, mantan pebasket profesional era 60-an, Wayne Embry, menjalankan tugasnya dengan baik sebagai General Manager Cleveland Cavaliers (1986–1999), hingga ia dua kali menyabet gelar NBA Executive of the Year, yakni pada 1992 dan 1998.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1994, mereka pindah markas, sebuah arena yang masih mereka tempati hingga sekarang. Dulu, namanya masih Gund Arena, sekarang namanya Rocket Mortgage FieldHouse.
Jatuh Lagi, Bangkit Lagi, dan Efek Lebron James
Mulai dari musim 1998/1999 hingga 2004/2005, prestasi Cavs kembali menurun. Bahkan, mereka merasakan finis terendah di Wilayah Timur sepanjang sejarah di NBA, yakni finis ke-14 pada musim 2001/2002, yang lalu dipecahkan lagi rekor buruk itu pada musim 2002/2003, di mana mereka finis ke-15.
Sebenarnya, tanda-tanda Cavs akan bangkit lagi sudah terlihat pada musim 2003/2004, di mana seorang pria kelahiran Akron, Ohio, sukses menyabet gelar NBA Rookie of The Year kala berkostum Cavs. Ia adalah LeBron James, yang dua musim setelahnya (2005/2006) menyabet gelar All-Star Game Most Valueable Player (AMVP).
James saat bersama Cavs. Foto: Reuters/David Richards
James berkontribusi membawa Cavs jadi runner up Divisi Sentral. Cavs juga finis di posisi keempat klasemen Wilayah Timur, yang kemudian melaju hingga babak playoffs semifinal wilayah.
ADVERTISEMENT
Kemudian, musim 2006/2007, James dan kawan-kawan membawa Cavs ke final NBA pertama sepanjang sejarah klub, untuk kemudian dipecundangi San Antonio Spurs, 4-0. Musim 2007/2008, terjadi de javu, di mana James kembali menggaet gelar AMVP dan prestasi Cavs sama persis seperti musim 2005/2006.
Selanjutnya, prestasi mereka semakin meningkat. Pada musim 2008/2009 dan 2009/2010, Cavs menjuarai, secara berturut-turut, Divisi Sentral dan Wilayah Timur. Namun, mereka selalu kandas di babak playoffs. Secara beruntun oleh Orlando Magic di babak final wilayah (4-2) dan oleh Celtic di babak semifinal wilayah (4-2).
James boleh jadi kecewa. Lalu, sebagaimana kita tahu, pada awal musim 2010/2011, James hengkang ke Miami Heat dan membela klub yang bermarkas di American Airlines Arena itu selama empat musim. Heat dibawanya dua kali juara NBA secara beruntun (2011/2012 dan 2012/2013).
Bagi Cavaliers, James adalah raja, sekaligus nyawa. Foto: Ken Blaze-USA TODAY Sports
Lalu apa kabar nasib Cavs? Persis seperti musim ini, pada musim pertama hengkangnya James, Cavs finis di posisi ke-15 Wilayah Timur dan juru kunci Divisi Sentral. Cavs pun tak pernah finis lebih baik dari peringkat 10 di Wilayah Timur selama tiga musim setelahnya.
ADVERTISEMENT
Saat James kembali memperkuat Cavs pada musim 2014/2015 hingga 2017/2018, terciptalah sejarah selalu masuk final NBA seperti yang sudah saya tuliskan di atas. Ketika James hengkang ke Lakers, sejarah berulang, de javu, sebagaimana yang sudah saya tulis di atas.
Arti Sebuah Nama
Oh iya, perihal nama, "Cavaliers" adalah nama yang dicetuskan pada tahun awal klub didirikan oleh Jerry Tomko, ayah dari seorang pitcher baseball andal Major League Baseball, Brett Tomko. Beberapa suporter lain mencetuskan nama belakang untuk klub mereka, seperti "Jays", "Foresters", hingga "Presidents". Akan tetapi, diputuskan nama usulan Jerry-lah yang dipakai.
ADVERTISEMENT
Sebuah nama yang begitu filosofis, sebagaimana nasib Cavs yang memang tak jauh beda dengan kota tempat mereka bernaung, Cleveland, kota terbesar kedua di Negara Bagian Ohio. Menariknya, tidak banyak klub basket profesional Amerika Serikat yang bisa setia berdiam di satu kota sejak awal berdiri dan Cavs adalah salah satunya.
Cavs menjadi klub basket yang melengkapi sejarah jatuh bangun Kota Cleveland. Kota itu pernah jadi pusat industri minyak dan baja Amerika Serikat, lalu jatuh terhantam The Great Depression. Kemudian, mereka bangkit dan kembali menjadi potensi bisnis, tetapi jatuh lagi akibat kerusuhan Hough Riots.
Berhenti sampai di situ? Tidak, karena masih ada cerita jatuh dan bangun lainnya. Polemik-polemik mengiringi pembangunan di kota yang lima kali memenangkan All-America City Award (1949, 1975/1976, 1977/1978, 1981/1982, 1983/1984, 1985/1986, dan 1993) itu. Ya, Cleveland memang dikenal sebagai kota yang pernah berjaya, lalu jatuh, bangkit, jatuh, lalu bangun lagi. Persis, seperti prestasi Cavs.
ADVERTISEMENT
Jadi, bagi para fans Cavs, tenang saja. Akan ada masanya, tim kesayangan kalian akan kembali melompat jauh menggapai prestasi terbaik. Entah kapan, tetapi mungkin dengan aktor lapangan yang berbeda. Bukan lagi Austin Carr, bukan lagi Ron Harper, dan bisa jadi bukan lagi LeBron James.
Kalian bisa membaca sejarah Kota Cleveland pada tautan di bawah ini. Selamat membaca.