Corona, Doni Monardo, dan Trust Issue Orang Indonesia

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
Konten dari Pengguna
17 November 2020 15:27 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo. Foto:  ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo. Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
Doni Monardo kini sedang dihadapkan dengan masalah kesehatan besar di Indonesia (yang juga melanda dunia), yakni pandemi corona. Beliau jelas berhak pening kepala, lha wong, dia adalah Ketua Satgas COVID-19.
ADVERTISEMENT
Pada Minggu (15/11), Doni mengultimatum siapa pun yang kekeuh ingin menciptakan kerumunan di tengah pandemi corona. Beliau sampai bawa-bawa nama Tuhan.
"Mereka yang menyelenggarakan kegiatan tersebut nantinya bukan hanya mendapatkan sanksi di dunia oleh pemerintah, tetapi juga kelak di kemudian hari akan mendapat permintaan pertanggungjawaban oleh Allah SWT, karena kegiatan-kegiatan yang menimbulkan kerumunan itu, terjadi penularan," ujarnya di RS Darurat COVID-19 Wisma Atlet, Jakarta.
Omongan Doni itu rupanya cukup menyita perhatian publik. Sampai-sampai, salah satu stasiun TV sampai meminta pendapat seorang ahli untuk mengomentari pernyataan Doni itu.
Kata si bapak ahli itu (saya lupa namanya dan dari mana), omongan Doni terlalu berlebihan. Semua orang, apa pun perbuatannya, kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan di akhirat.
ADVERTISEMENT
Jadi, untuk masalah imbauan menjauhi kerumunan ini, Doni mestinya tak perlu bicara sejauh itu. Mungkin maksudnya, Doni langsung saja menegaskan apa sanksi dan risiko jika masyarakat menciptakan kerumunan.
Namun, kalau saya pribadi, saya merasa Pak Doni tidak ada salahnya bicara begitu. Kenapa?
Ya, membaca pernyataan Pak Doni, saya kembali teringat memori saya di masa kuliah. Ini ada kaitannya dengan tantangan sosialisasi kesehatan di masyarakat Indonesia. Para ahli berhadapan dengan trust issue.
Petugas memberi antiseptik kepada penumpang KAI saat sosialisasi pencegahan corona di Stasiun Depok, Jumat (6/3). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Waktu kuliah, saya akrab dengan isu-isu kesehatan, wabil khusus soal gizi masyarakat. Kala itu, dosen saya pernah mewanti-wanti ihwal tantangan sosialisasi gizi dan kesehatan di masyarakat Indonesia.
Salah satunya adalah tentang bagaimana masyarakat Indonesia bisa saja tak mengindahkan saran dari orang-orang yang memang berkecimpung di dunia kesehatan, termasuk dari para mahasiswa Jurusan Ilmu Gizi seperti saya dulu.
ADVERTISEMENT
Oke, saya dulu memang cuma mahasiswa 'bau kencur' (yang juga sedikit 'bau matahari'). Namun, dokter dan ahli gizi yang sekolahnya sudah tinggi pun, telah menuntut ilmu sampai ke luar negeri pun, belum tentu bisa dengan mudah mendapat kepercayaan masyarakat.
Tak jarang, apa pun isunya, masyarakat lebih percaya perkataan dari Pak Ustaz, Pak Pendeta, atau para pemuka agama lainnya, atau mungkin Para Tetua Adat setempat. Ya, masyarakat Indonesia lebih percaya pada tokoh-tokoh religius.
300 santri di Pondok Pesantren di Depok jalani tes corona. Foto: Dok. Istimewa
Itu seolah menandakan, kebanyakan masyarakat Indonesia (walau yang ibadahnya masih bolong-bolong sekalipun) masih percaya pada agama. Mereka (kita) masih percaya adanya hukum Tuhan.
Maka dari itu, saya pikir tak ada salahnya Pak Doni menakut-nakuti masyarakat Indonesia dengan membawa-bawa hukum Tuhan di akhirat dalam isu pandemi corona. Kalau memang sudah tak percaya pada ahli kesehatan, masyarakat masih percaya dengan Tuhan dan janji-Nya.
ADVERTISEMENT
Plus, saya berpikir bahwa para pemuka agama dan tetua adat adalah orang pertama yang mesti dirangkul jika hendak melakukan sosialisasi soal corona. Para tokoh itu harus dibekali pengetahuan soal corona, sehingga dapat mensyiarkannya kepada masyarakat di wilayahnya.
Ini juga dapat mencegah terjadinya kontrapemikiran antara ahli kesehatan dengan para tokoh itu. Jadi, kalau masyarakat tak mau mendengar kata BNPB atau para tenaga kesehatan, masyarakat masih mau mendengar informasi valid dari tokoh-tokoh yang masyarakat anggap 'sahih' setiap tutur katanya.