Demotivasi untuk Memotivasi

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
Konten dari Pengguna
20 Februari 2021 21:25 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Foto: Pixabay/mohamed_hassan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Foto: Pixabay/mohamed_hassan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya mulai tertarik dengan istilah demotivasi sejak di bangku kuliah. Salah satu dosen saya pernah beberapa kali melontarkan kalimat demotivasi saat sedang mengajar.
ADVERTISEMENT
Saya tidak ingat pasti apa saja kalimat yang beliau lontarkan dulu. Namun, saya (merasa) paham konsepnya. Buat saya, ini adalah cara untuk memotivasi diri dengan cara lain.
Saya akan berita tahu kalian salah satu contohnya. Begini, saya adalah pria single berusia 27 tahun. Salah satu faktor krusial kenapa saya masih sendiri adalah saya takut menyatakan perasaan saya kepada perempuan.
Takut ditolak, takut dia jadi benci setelahnya, takut kehilangan teman, dan sebagainya. Sepanjang hidup, saya berusaha mencari cara untuk memotivasi diri, tetapi tak kunjung berhasil.
Saya pernah pacaran waktu SMA. Sekali. Namun, itu tak bisa menjadi bahan motivasi saya kembali mendapat pasangan. Sebab, semakin saya mengingat momen menembak cewek pertama kali, semakin saya tak percaya bahwa saya pernah melakukannya. Aneh, ya.
ADVERTISEMENT
Ujung-ujungnya, kalau naksir sama cewek, dipendam saja gitu. Enggak berani menyatakan karena kebanyakan takut. Ujung-ujungnya, patah hati, deh.
Ilustrasi pria tidur untuk atasi patah hati. Saya pernah begini. Foto: Shutter Stock
Hingga akhirnya, saya mendapat pencerahan. Itu adalah kalimat demotivasi yang hadir dari perbincangan dua orang YouTuber, Dani Djidat dan Dito Wangsa, di kanal YouTube 'Bukan Radio'.
Sebagai informasi, dua orang ini sudah menikah. Nama yang disebut terakhir punya tampang lebih oke (bukan berarti yang satu lagi tidak) dan mengaku pernah beberapa kali pacaran di masa sekolah. Saya sempat berpikir, "Ya, pantas. Dia ganteng".
Namun ternyata, orang kayak Dito itu juga pernah merasa takut, ketakutan yang kurang lebih sama seperti yang saya dan para 'tunggal putra' di seluruh dunia. Dalam video berjudul "Tips Jadi Cowok Percaya Diri-BUKAN RADIO TALKS EP 1 (BR PODCAST)", dia melontarkan kalimat yang membuka jalan pikiran saya.
ADVERTISEMENT
"Gimana pun lu hindarin, aduh gua ghosting aja deh, aduh gua jadi secret admirer deh karena gua gak mau gini, gak mau gitu. Man, come on lah, gitu lho. Coba, face the truth, embrace gitu kalau ternyata, "Anj**g ternyata gini ya sakit, ya, yaudah gapapa. Belajar lagi, gitu lho," tutur Dito.
Intinya, dalam setiap keputusan, risikonya ada. Takut itu wajar. Namun, harus dilawan.
Soal hasil? Dani punya jawabannya: "Inget, pertarungan laki-laki itu bukan soal menang atau kalah, tapi berani atau enggak".
Ilustrasi. Foto: Pixabay/Comfreak
Mereka tidak berusaha menebar motivasi berlebih yang cenderung menjadi toxic positivity. Mereka tampak memukul para pendengar dengan kenyataan bahwa dunia memang seperti itu, semua orang juga begitu. Demotivasi untuk memotivasi.
ADVERTISEMENT
Jadi, maju saja. Lantas, apakah saya sudah mempraktikkannya sekarang? Apakah saya sudah menyatakan cinta pada seseorang setelah mendengar wejangan mereka?
Belum, dong. Sebab, saya bingung karena pandemi begini susah 'bergerak'. Terlebih, memang belum ada yang ditaksir juga, sih. Namun intinya, itu adalah cara bagaimana kalimat demotivasi mampu memotivasi orang.
Terus, kenapa berani-beraninya menulis stori tentang ini? Ya, mungkin saja para pembaca dari kaum hawa ada yang mau kenalan?