Fukai Mori

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
Konten dari Pengguna
6 Januari 2020 22:39 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Unsplash/@wizwow
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Unsplash/@wizwow
ADVERTISEMENT
Aku yakin sudah meninggalkanmu di sana. Di hutan yang dalam nan gelap gulita. Menguburmu di sudut paling gelap. Berharap bayanganmu ikut lenyap dalam malam senyap.
ADVERTISEMENT
Namun sialnya, kamu tidak benar-benar 'mati' begitu saja. Dalam naungan kubah pekat jagad, proyeksi sosokmu kadang datang menyengat. Menggodaku untuk menggubah ingatan lama. Memori yang membuat jiwa ini tersayat.
Kadang muncul dalam benakku, bisakah aku melihatmu lagi? Sedikit saja. Mungkin tak terlalu menyakitkan.
Tapi aku tahu, kembali ke sana artinya sama saja menyerahkan jiwaku kepada kegelapan abadi. Kekelaman yang baka. Berlari menuju kematian.
Foto: Unsplash/@baracross
Jika begitu, aku hanya membiarkan diriku kehilangan banyak hal. Biarlah kau kujadikan tumbal. Demi mengenyahkan tabir muram jiwa, melepas selimut peregang nyawa.
Dengan begitu, aku bisa kembali melihat langit biru. Mahakarya Tuhan yang tadinya terkamuflase sebagai mendung kelabu di mataku.
Mentarilah yang bakal menjadi pemanduku menuju hari baru. Bukan kamu. Dasar hantu. Bergentayangan di otak laiknya benalu.
Foto: Unsplash/@davealmine
Memusnahkanmu artinya aku telah sekian langkah lebih maju. Biarlah aku mencumbu masa depanku. Tanpa dirimu, wahai hantu masa lalu.
ADVERTISEMENT
Izinkanlah jantung ini berdetak kembali. Menemukan iramanya lagi. Membawaku terbang sekali lagi. Mengelana angkasa, kalau perlu hingga akhir dunia. Sampai aku benar-benar menggenggam objek abstrak bernama cinta.