Gelisah Jelang Akad Nikah

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
Konten dari Pengguna
1 Juli 2018 10:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gelisah Jelang Akad Nikah
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Pernikahan (Foto: Unplash/Micheile Henderson)
Bagi sebagian besar orang, pernikahan adalah salah satu momen terpenting dalam hidup. Banyak yang bilang pernikahan adalah ajang pembuktian keseriusan cinta tapi ada juga yang berkata bahwa pernikahan adalah awal dari sebuah petualangan baru. Ibarat menaiki kapal, ada kalanya kalian akan menikmati pemandangan laut yang indah nan romantis, menentramkan hati. Di sisi lain, ada kalanya badai datang, dan ketahanan kalian akan diuji.
ADVERTISEMENT
Namun, tak peduli apa filosofi pernikahanmu dan bagaimana cerita hidupmu bersama pasangan nantinya, semua itu harus melewati satu fase sakral: akad nikah. Momen paling mendebarkan. Kalian yang sudah atau baru mau akan menikah pasti merasa gelisah, gugup, dan sebagainya jelang prosesi akad nikah.
Kegelisahan jelang akad nikah itu biasa bagi calon pengantin, tetapi bagaimana jika ternyata kegelisahan juga dirasakan tamu undangan? Tidak-tidak, ini bukan tentang datang ke acara pernikahan mantan pacar tapi lebih konyol lagi.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 13:00. Urusan di kantor selesai lebih cepat dari yang kuduga. Aku pun berpaminatan dengan rekan-rekan di kantor, lalu bergegas pergi. Kenapa harus buru-buru? Takut tiba-tiba akan ada tugas tambahan yang menahanku hingga entah jam berapa.
ADVERTISEMENT
Hari itu aku tidak mau sampai terlambat datang ke acara akad nikah teman kuliahku. Mempelai perempuan adalah teman satu angkatan, sedangkan yang laki-laki adalah kakak tingkat, walau tetap teman juga sih hitungannya. Namun, acara akad nikahnya dimulai pukul 15:30. Hmm... jadi apa yang harus kulakukan untuk 'membunuh' waktu?
Saat itu, aku sempat memutuskan mau nonton film dulu di bioskop. Kupikir Heredity adalah ide yang bagus. Sayangnya, hampir semua jadwal tayang di bioskop-bioskop terdekat dari film yang direkomendasikan oleh Joko Anwar di Twitter tersebut sangat mepet dengan waktu akad. Lagian, aku belum pernah sih seumur-umur nonton film horor sebelum datang ke pernikahan orang, kecuali mungkin kalau benar aku datang ke pernikahan mantan pacar (atau sekadar mantan gebetan). Bisalah untuk persiapan mental.
ADVERTISEMENT
Jadi, aku memutuskan untuk jalan santai saja, membunuh ketergesaanku sejak langkah pertama ke luar gedung tempat kantorku berada. Berjalan menyusuri trotoar jalan raya menuju stasiun kereta. Lumayanlah buat 'nurunin' nasi setelah makan siang.
Sesampainya di Stasiun Karet, awal kekonyolan dimulai. Ya, aku tiba-tiba ingin Buang Air Besar (BAB). Namun, aku tahu, toilet di stasiun itu tidak enak. Sempit, sehingga membuat tidak nyaman.
Banyak orang pula di sana, dan aku paling malas BAB jika ada yang menggedor-gedor pintu WC tempatku berada. Apalagi jika dlakukan dengan brutal, serasa aku mau digerebek akibat kedapatan berbuat mesum di kamar hotel. Tidak-tidak... jelas itu bukan pengalaman pribadi! Aku hanya melihatnya di TV. Swear.
Jadi, aku putuskan untuk mengabaikan rasa mulasku itu. Untuk jaga-jaga, aku memungut tiga buah batu, lalu kumasukkan ke saku belakang celana. Namun, aku ketangkap basah petugas pengamanan stasiun, yang dari tatapannya berpikir bahwa aku seperti anak STM yang hendak tawuran. Ya, wajahku memang baby face (gak nyambung).
Gelisah Jelang Akad Nikah (1)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Batu (Foto: Unsplash/Susana Fernandez)
ADVERTISEMENT
Kemudian, aku menerapkan ajaran (ngaco) lain dari ibuku perihal cara meredakan rasa mulas. Aku mulai menepuk kepala dan bokongku secara bergantian sambil berucap, "pala, pantat, pala, pantat, pala, pantat".
Aku mengucapkannya senada dengan bagian tubuh yang kutepuk, dan aku berhenti kala aku mulai keliru menyebut "kepala" ketika memegang pantat, dan juga sebaliknya. Tak lama kereta datang, dan aku harus kembali menjadi manusia normal kembali.
Singkat cerita, aku tiba di stasiun tujuan, Stasiun Pasar Minggu. Mencari musala untuk menunaikan Salat Zuhur. Setelah itu, aku ke toilet, dan ternyata, kondisinya sama kurang mengenakkan dengan stasiun awal. Kurang ideal untukku. Jadi, aku kembali menahan rasa mulas.
Mulai memesan ojek motor online dan aku berpikir, "ya sudah, numpang BAB di Pendopo Kemang (tempat acara pernikahan) saja deh".
Gelisah Jelang Akad Nikah (2)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Memesan Ojek via Smartphone (Foto: Unsplash/Gilles Lambert)
ADVERTISEMENT
Selama perjalanan dengan ojek online (ojol), semua baik-baik saja. Mulasku tak terasa, hilang begitu saja. Kemudian, ketika sampai di perempatan lampu merah daerah Pejaten, Jakarta Selatan, abang ojol berkata, "mas tahu pendopo-nya? Saya sih Kemang-nya tahu".
"Hmm... saya tahu bentuk gedungnya sih, pak. Cuman gak tahu persisnya di mana," jawabku.
"Yaudah deh kita cari bareng-bareng, hehe... Kalau nyasar ya bareng-bareng juga kita," katanya. Ogah. Kalau nyasarnya sama Chelsea Islan baru aku mau.
"Pokoknya yang ada janur kuning dah, pak," kataku memberi petunjuk.
"Oh ini mau pesta pernikahan!?" katanya takjub (entah kenapa). Lalu, abang ojol menunjuk seorang perempuan dengan atasan kebaya dan rok batik (yang juga lagi naik ojol) di depannya dan berkata padaku, "itu temannya bukan, mas?"
ADVERTISEMENT
"Bu... bukan, pak, hehe..." jawabku canggung. Sembarangan.
"Ini yang nikah orang Bandung kan ya, mas?" Sotoy gilaaaa.
"Eng... enggak, pak... dua-duanya orang Jakarta kok," jawabku menegaskan.
"Oh, kemarin perasaan orang Bandung".
Ya itu kan kemariiiiin.
Setelah segala intrik yang terjadi selama perjalanan sejak dari kantor tadi, akhirnya aku sampai juga di Pendopo Kemang. Ya, aku tiba terlalu cepat, pukul 14:20. Sekali lagi, di luar ekspektasi.
"Sudah sampai, mas. Memang ini siapa yang nikah sih, mas?" kata abang ojol yang masih mau tahu saja!
Dengan agak sebal kujawab saja, "hah? siapa yang nikah? saya, pak".
"Loh! jadi, masnya..."
"Kagak-kagak... bercandaaaa haha..."
"Ah, mas bisa aja. Kalau ternyata betulan mau saya gratisin nih".
ADVERTISEMENT
"Oh iya, pak, benar kok. Saya yang mau nikah".
***
Gelisah Jelang Akad Nikah (3)
zoom-in-whitePerbesar
Pendopo Kemang (Foto: Katondio Bayumitra Wedya)
Di Pendopo Kemang itu, suasana masih belum terasa riuh ramainya. Hanya segelintir orang saja yang terlihat sudah mengenakan pakaian rapi. Mungkin, mereka dari pihak keluarga.
Kondisi inilah yang memicu kekonyolan lain karena aku jadi berpikir, "Jangan-jangan... acara akad nikah hanya eksklusif untuk dihadiri oleh keluarga inti saja". Mampus. Mulas lagi aku.
Dengan hati yang berdebar-debar dan bingung dan canggung dan mulas, aku mencari toilet. Masa bodoh apa dan bagaimana sebenarnya tapi yang pasti aku harus cari tempat BAB dulu! Aku bertanya letak toilet kepada seorang bapak-bapak yang tengah membuka HP-nya. Dengan senyuman (tanpa curiga) ia memberitahuku letak toilet berada.
ADVERTISEMENT
Alhamdulillah... toiletnya layak. Bisa BAB dengan tenang. Ya, kamu harus rasakan sensasinya berak di tempat pernikahan orang. Luar biasa.
Saat sedang seru-serunya, tiba-tiba ada yang menggedor pintu. Brak. Setidaknya 3 kali, dan saat itu aku berpikir bahwa aku tidak boleh terlena dengan kenikmatan yang sesaat, dan harus segera menyudahinya, dan membersihkan apa yang sudah kumulai. Kampret, ini aku nulis apa sih?
Setelah selesai 'bersih-bersih' dan berganti pakaian, aku mengambil wudu dan masuk ke musala Pendopo. Salat sunah 2 rakaat dan, ya sudah, duduk-duduk di situ saja sambil berdoa agar diberi keselamatan dan petunjuk karena aku benar-benar gelisah dan takut acara akad nikah temanku ini hanya untuk keluarga inti. Tidak enak hati kan jadinya. Takut dianggap tidak sopan.
ADVERTISEMENT
Di musala itu aku duduk di pojokan. Orang-orang yang bersliweran masuk, baik bapak-bapak, maupun ibu-ibu, seolah menatapku dengan keheranan, "siapakah gerangan pria tampan itu?" Ah, pret. Ya enggak lah.
Aku takut tahu-tahu salah satu dari mereka ada yang bertanya, "mas, dari keluarga pihak laki-laki atau perempuan?"
Aku harus jawab apa? Masa iya aku jawab, "saya keluarga... sesama muslim, pak".
Sebenarnya, mungkin masih lebih baik ketahuan bukan dari pihak keluarga. Hal yang lebih aku takutkan adalah orang-orang mengiraku sebagai maling sound system atau kipas angin. Malunya gak ketulungan kalau sampai iya. Sial memang, banyak maling yang berwajah ganteng di zaman sekarang ini. Maling perasaan. Eaaaaa... (ini artikel apa sih?)
Tak lama kemudian ada seorang bapak tua masuk. Ia mengenakan peci putih yang selaras dengan warna janggutnya. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 15:00.
ADVERTISEMENT
Bapak tua itu hanya salat 2 rakaat. Entah salat sunah apa yang ia kerjakan tapi setelah itu ia juga hanya duduk-duduk sambil membuka HP.
Tak lama kemudian, aku mendengar suara langkah yang agak cepat datang mendekat dari arah belakang. Ketika suara langkah itu semakin dekat, lalu berhenti, keluar lah suara perempuan yang terdengar amat tegas.
Perempuan itu berkata, "Ayah. Ayah ke ruang make up sekarang. Sudah salatnya? Ayo, ayah. Dirapiin aja".
Aku kaget, dia kaget. Bapak itu ternganga kebingungan sambil sesekali melirik ke arahku. Lirikannya kepadaku itu seolah bermakna, "anak muda, tolong aku!"
Istigfar kulantunkan tanpa henti. Aku berusaha menundukkan kepala. Dasar tamu tidak tahu diri.
Bapak tua itu berusaha menjawab, "Hmm... yang lain dulu aja".
ADVERTISEMENT
"Semuanya udah. Tinggal ayah aja. Ayo dong, ayah. Aku juga lagi sibuk sama urusan yang lain," ucap tegas perempuan itu. Jujur aku tak berani menengok ke belakang guna melihat siapa sebenarnya dia. Takut disuruh ikutan make up. Lebih parah, aku takut ia tahu bahwa aku bukan dari pihak keluarga mana pun.
Akhirnya, bapak itu (yang kemudian aku tahu bahwa ia adalah ayah kandung dari mempelai perempuan) memberikan senyum tanda berpamitan ke arahku dan meninggalkan musalah tersebut. Sampai sekarang, aku tidak tahu siapa perempuan itu. Akan tetapi, logikanya sih itu adalah adik dari mempelai perempuan karena aku tahu betul ia hanya punya satu adik, yang juga, perempuan.
Beberapa menit kemudian, pertolongan Allah Swt. datang. Azan Asar berkumandang. Orang-orang datang untuk salah berjamaah di Musala itu. Hati mulai tenang, gelisah sedikit menghilang.
ADVERTISEMENT
Selepas Salat Asar, acara akad segera dimulai. Aku melihat pengantin pria berdiri dari kejauhan. Jujur, aku masih merasa sedikit gelisah karena masih belum tahu acara ini sebenarnya terbuka untuk selain keluarga atau tidak.
Kemudian, aku melihat pengantin pria, dan ia melihat ke arahku. Aku lemparkan senyuman, ia membalasnya juga dengan senyuman. Dari situ, aku mulai dapat bernapas lega. Artinya, ia tak masalah dengan kehadiranku di situ.
***
Intinya, acara akad nikah berlangsung dengan khidmat dan lancar. Ucapan suci dan nan sakral itu diucapkan dengan tegas dan mengalir seperti air oleh pengantin pria. Sah.
Ada baiknya memang kita harus membaca undangan pernikahan dengan teliti. Jika tidak ada tulisan atau pemberitahuan bahwa "Akad Nikah Tertutup untuk Keluarga Saja", maka kemungkinan besar, kita boleh datang ke acara akad nikah.
ADVERTISEMENT
Malamnya, ketika acara resepsi, para tamu undangan semakin banyak berdatangan. Aku dan teman-teman satu kampus kedua mempelai berbaris guna bersalaman dengan mereka. Di atas pelaminan, aku juga melihat bapak tua tadi, berdiri bersebelahan dengan sang istri. Inilah yang membuat aku tahu bahwa ia memang ayah dari pihak perempuan.
Aku bersalaman dengannya, si bapak tua itu, lalu ia menepuk lengan dan bahuku, serasa kita sudah kenal lama.