Kisah Riyad Mahrez, Dulu Berduka Kini Juara

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
Konten dari Pengguna
13 Mei 2019 16:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mahrez rayakan gol ke gawang lawan dalam sebuah pertandingan. Foto: REUTERS/Rebecca Naden
zoom-in-whitePerbesar
Mahrez rayakan gol ke gawang lawan dalam sebuah pertandingan. Foto: REUTERS/Rebecca Naden
ADVERTISEMENT
Glenn Murray membuat nafas para penggemar Manchester City seolah berhenti sejenak. Sundulan penyerang Brighton & Hove Albion itu sukses menggetarkan gawang kiper City, Ederson, usai menyambut sepak pojok dari rekan setimnya, Pascal Gross, di menit ke-27. Tak hanya penggemar 'The Citizen', Pep Guardiola pun sampai gerah dibuatnya, hingga pelatih asal Spanyol itu harus melepas jaketnya.
ADVERTISEMENT
Namun, satu menit berselang, City segera memberi instant reply lewat Sergio Aguero, yang bola hasil sepakannya meluncur deras melewati kolong kaki kiper tim tuan rumah, Mathew Ryan, yang berbuah gol balasan. Sepuluh menit setelahnya, tepat menit ke-38, Aymeric Laporte membuat City berbalik unggul dengan cara yang kurang lebih sama dengan gol Murray, yakni sundulan memanfaatkan umpan sepak pojok.
Tim tamu unggul hingga pluit tanda berakhirnya babak pertama di American Express Community Stadium ditiupkan. Namun, semua penggemar sepak bola paham bahwa keunggulan defisit satu gol bukanlah sebuah kemenangan yang layak dirayakan begitu cepat. Saat kamu melihat tim kesayanganmu baru unggul 2-1 dan pertandingan masih berjalan, maka haram bagimu mengklaim kemenangan. Kamu masih berhak deg-degan.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, pada menit ke-63, filter pernapasan penggemar City makin terbuka lebar. Seorang pria Aljazair menggetarkan gawang Ryan untuk ketiga kalinya hari itu. Dan dia adalah orang yang sama, yang memberikan asis berupa umpan kepada Laporte saat gol kedua tercipta. Namanya Riyad Mahrez.
Detik-detik Mahrez mencetak gol ke gawang Brighton & Hove Albion. Foto: Dok. Manchester City
Ilkay Gundogan mencetak gol keempat pada menit ke-72. Pluit panjang dibunyikan, City juara, penggemar berpesta, Mahrez bersyukur 'alhamdulillah'. Hari itu, 12 Mei 2019, resmi sudah Mahrez mengangkat trofi juara kompetisi paling bergengsi Tanah Britania untuk kali kedua.
Lahir di Prancis
Meski membela timnas sepak bola Aljazair, ternyata Mahrez tidak lahir di Algiers, M'Sila, atau pun kota-kota lain di negara Afrika Utara itu. Dia lahir di Sarcelles, sebuah komune di pinggiran utara Paris, Prancis, pada 21 Februari 1991. Ayahnya adalah seorang Aljazair tulen yang berasal dari Kota Beni Snous, yang terletak di Provinsi dan Distrik Tlemcen. Sementara ibunya adalah orang Aljazair keturunan Maroko.
ADVERTISEMENT
Kenapa orang-orang dari utara Afrika bisa menikah dan beranak pinak di Prancis? Jadi memang, sejak sekitar tahun 1950-an hingga 1960-an (dan mungkin sampai sekarang), banyak orang-orang Maghreb--mayoritas beragama Islam--yang datang ke Sarcelles dan menetap di sana. Intinya mereka membangun komunitas dan mendirikan tempat ibadah.
Town Hall di Sarcelles, Paris, Prancis. Foto: Wikimedia Commons
Pada tahun 1990-an, menurut seorang profesor bernama Rahsaan Maxwell dalam bukunya, Ethnic Minority Migrants in Britain and France: Integration Trade-Offs, sudah ada orang Maghreb yang terpilih menjadi anggota dewan komune. Orang Maghreb jadi semakin dianggap, meski, kata Maxwell, baru mulai memperoleh posisi kunci di sekitar tahun 2012 karena tingkat partisipasi yang rendah dan organisasi masyarakat yang lemah.
By the way, siapa itu orang Maghreb? Maghreb adalah sebutan untuk orang-orang yang berasal dari negara di Afrika Utara, Aljazair dan Maroko hanyalah dua contohnya. Jadi, tak heran jika banyak pesepak bola Aljazair yang lahir di Prancis, seperti Mahrez dan pemain Sevilla, Wissam Ben Yedder, yang juga lahir di Sarcelles. Diketahui, mereka berteman baik sejak kecil.
ADVERTISEMENT
Mahrez kecil masih suka menghabiskan waktu liburan bersama keluarga di Aljazair. Iya, Mahrez kerap mudik ke negara bapaknya. Mahrez juga diketahui amat cinta dengan ayahnya itu, Ahmad Mahrez namanya. Dalam perjalanan hidupnya dari lahir hingga remaja, sosok sang ayah yang kerap menjadi pelecut semangatnya untuk bisa jadi orang sukses, khususnya di sepak bola--jelas tanpa melupakan figur penting seorang ibu.
Masuk Akademi Sepak Bola AAS Sarcelles
Centre Sportif Nelson Mandela Avenue Paul Langevin 95200 Sarcelles. Tempat pemain AAS Sarcelles berlatih. Foto: Akun Facebook AAS Sarcelles
"Riyad (Mahrez) berusia 13, 14 tahun ketika dia tiba di AAS Sarcelles. Dia adalah pemain biasa, apa pun, yang tidak berada dalam tim. Dia tidak terlalu bagus," kata Nzete Ate, mantan General Manager AAS Sarcelles, dilansir SOFOOT.com, 29 Agustus 2015.
Mahrez tidak seperti Ronaldinho, Mbappe, maupun Neymar, yang sedari kecil orang sudah melihatnya bakal jadi pemain berbakat di masa depan. Dia dulu biasa-biasa saja. Tidak ada yang terlihat spesial. Fisiknya juga dulu lemah, kurus, larinya tidak cepat, tetapi untunglah masih dianugerahi teknik yang bagus.
ADVERTISEMENT
"Dia (Mahrez) bermain di Tim B. Pada saat itu, ada Kejuaraan Federal 14 tahun, (kompetisi) tingkat tertinggi dalam kelompok usia ini. Berkat visibilitas yang luar biasa, para pemain telah dapat bergabung dengan klub profesional. Dia (Mahrez), di sisi lain, benar-benar dalam bayang-bayang," ujar Mohamed Coulibaly, yang kini menjabat direktur teknis klub, dilansir SOFOOT.com, 29 Agustus 2015.
Jersi Mahrez dipamerkan di sebuah kompetisi amatir lokal di Sarcelles. Foto: Facebook Resmi AAS Sarcelles
Meski begitu, Coulibaly mengatakan bahwa Mahrez adalah tipikal anak yang punya kepercayaan diri. Ia tidak menyerah, walau mungkin mimpinya itu, ibaratnya, hanya terlihat di sudut kecil dunia ini.
"Saya ingat ketika semua temannya mendaftar di pusat pelatihan, seorang teman yang menjadi pengawas di sekolahnya mengatakan kepada saya bahwa Riyad (Mahrez) mengatakan ingin menjadi pemain profesional. Dia (Mahrez) memiliki kepercayaan diri yang besar ketika dia bahkan tidak bisa bermain dalam sebuah tim, itu menunjukkan kekuatan karakter yang hebat," ujar Coulibaly, dilansir SOFOOT.com, 29 Agustus 2015.
ADVERTISEMENT
Berasal dari keluarga imigran, Mahrez mengaku saat itu keluarganya hidup sederhana, tidak kaya, tidak juga miskin. Walau terkadang, untuk bisa memenuhi kebutuhan makan harian, orang tuanya harus berjuang. Mungkin itu yang membuat fisiknya tidak terlalu bagus.
“Kami jelas tidak kaya, tapi kami tidak miskin. Ibuku selalu pulang kerja dan melakukan segalanya sehingga kami makan dengan baik,” kata Mahrez, dilansir The Guardian, 12 September 2015.
Duka yang Menjadi Pelecut Semangat
Riyad Mahrez saat masih membela Leicester City. Foto: Reuters/Darren Staples
Pada 2006, Ahmed Mahrez meninggal dunia di usia 54 tahun karena ada sakit jantung. Riyad Mahrez yang saat itu masih 15 tahun bersedih, berduka mendalam. Namun, dia tak memilih larut dalam kesedihan dan membuang mimpinya, jatuh dalam jurang keputusasaan. Ia berjanji untuk membuat ayahnya bangga lewat sepak bola.
ADVERTISEMENT
“Ayah saya selalu di belakang saya, dia ingin saya menjadi pemain sepak bola. Dia selalu bersamaku. Dia datang ke setiap pertandingan dengan saya untuk memberi saya dukungan. Dia bermain sebelumnya (jadi pesepak bola) di tim-tim kecil di Aljazair dan Prancis sehingga dia tahu apa yang dia katakan, jadi saya mendengarkannya," ujar Mahrez, dilansir The Guardian, 12 September 2015.
Duka atas kematian sang ayah nyatanya malah menjadi semacam pelecut semangat, alih-alih pembuat hilang motivasi. "[Kematiannya] mungkin adalah kickstart. Saya tidak tahu apakah saya mulai lebih serius tetapi setelah kematian ayah saya, segalanya mulai berjalan untuk saya. Mungkin di kepalaku aku menginginkan lebih," lanjut Mahrez.
Sejak saat itu, Mahrez mulai berlatih keras. Mendidik dirinya sendiri untuk menjadi pesepak bola profesional. Syukurlah lingkungannya mendukung. Coulibaly mengatakan, dari tahun ke tahun, Mahrez mengalami peningkatan, baik performa maupun fisik.
ADVERTISEMENT
"Pada usia 17, dia mulai ngeklik. Dia mulai berkembang secara fisik," ujar Coulibaly, dilansir SOFOOT.com, 29 Agustus 2015.
Mahrez lalu mendapat masuk tim cadangan di AAS Sarcelles. Kemudian, secara perlahan masuk ke tim utama U-19. Orang-orang lantas mulai sadar akan potensi besar Mahrez, terutama kemampuannya mencetak gol dari tendangan bebas.
"Dia tahu bagaimana melakukan segalanya, kaki kirinya sudah seperti tangan," ujar Guy Ngongolo, pelatih pertama Mahrez, dilansir SOFOOT.com, 29 Agustus 2015.
Ngongolo juga menerangkan bahwa Mahrez sangat cinta dengan sepak bola. Untuk urusan latihan pun, Mahrez salah satu yang paling giat. "Dia bahkan terus bermain setelah pertandingan. Kami memiliki gym di klub dan dia sering lama menghabiskan waktu di sana, kadang-kadang bahkan sampai pukul empat pagi. Dia terlalu mencintai sepak bola," lanjut Guy Ngongolo, dilansir SOFOOT.com, 29 Agustus 2015.
ADVERTISEMENT
Karier Profesional hingga Jadi Juara
Sejak awal musim 2018/2019. Mahrez resmi membela Manchester City. Foto: Dok. Manchester City
Dari Sarcelles, atas bantuan dan dukungan dari Nzete Ate, ia dapat bermain untuk klub bernama Quimper. Klub yang berada di Kota Quimper, Finistere, dan saat itu, musim 2009/2010, berlaga di Championnat de France Amateur (CFA) yang merupakan kompetisi kasta keempat di Prancis.
"Dia terus mengatakan kepada saya bahwa dia ingin menerobos, saya bertanya kepadanya apakah dia siap untuk pergi: dia bilang ya," ujar Ate.
Singkat cerita, Quimper degradasi ke kasta kelima. Namun, Mahrez langsung pindah semusim kemudian ke klub Ligue 2 (kasta kedua), Le Havre. Klub itu diketahui memiliki tim cadangan yang berlaga di CFA, Le Havre II. Alhasil, dari musim 2010/2011 hingga 2012/2013, Mahrez bolak-balik main di tim utama dan tim cadangan. Namun dari situlah skill dan mentalnya semakin berkembang.
ADVERTISEMENT
Hingga pada musim dingin 2013/2014, ia merantau ke Inggris, bermain untuk Leicester City yang masih menghuni Divisi Championship. Dua musim setelahnya, kita sama-sama menjadi saksi bahwa Mahrez--dan Jamie Vardy--sukses menjadi tulang punggung utama klub yang berbasis di King Power Stadium itu menjadi juara Liga Inggris.
Riyad Mahrez membawa Leicester City juara Liga Inggris. Foto: Dok. Leicester City
Pada musim 2018/2019, ia kembali menjadi sosok kunci dengan mencetak satu gol dan satu asis kala Manchester City menumbangkan Brighton & Hove Albion, 4-1. Dua kali sudah, ia mengangkat trofi yang tidak pernah bisa dimiliki Steven Gerrard hingga Jamie Carragher selama mereka masih jadi pemain profesional.
Ibadah Pengiring Usaha
Mahrez diketahui sebagai muslim yang taat. Mahrez juga diketahui sudah melaksanakan ibadah umrah.
Di luar sepak bola, ia diketahui memiliki respek terhadap sesama muslim. Contoh, ketika penembakan di Selandia Baru beberapa waktu lalu, Mahrez menunjukkan simpati lewat akun Instagram miliknya.
ADVERTISEMENT
Mahrez juga ternyata punya penggemar berat di Indonesia. Namanya Rizky, anak Indonesia yang jadi korban bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi di Palu. Mahrez bahkan bersedia melayaninya ber-video call saat Rizky sedang terbaring di pengungsian.
7 Mei 2019, saat City menjamu Leicester City di Etihad Stadium, Rizky berjalan mendampingi Bernardo Silva masuk ke lapangan. Di ruang ganti, Mahrez menemuinya, mengobrol, serta berfoto bersamanya.
Sejak kematian ayahnya, selain makin giat berlatih sepak bola, Mahrez disebut semakin taat beribadah.
"Dia (Mahrez) sangat religius, punya keyakinan agama (Islam) yang besar. Selama masa sulit itu (usai kematian ayahnya), yang merupakan titik balik dalam hidupnya, dia mulai berdoa dengan sungguh-sungguh dan secara teratur mengunjungi masjid. Kematian ayahnya membuatnya sadar akan banyak hal, ia mengambil lebih banyak tanggung jawab setelah itu," ujar Youssef Ghanmi, salah satu teman dekat Mahrez, dilansir SOFOOT.com, 29 Agustus 2015.
ADVERTISEMENT
Selalu ada hikmah di balik setiap duka. Bukan hal yang mudah membayar sedih dengan prestasi. Mahrez bisa, apakah kita juga? Mari kita renungkan.