Mengelola Sampah Mengikuti Panggilan Jiwa

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
Konten dari Pengguna
21 Februari 2019 19:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sano, Founder Waste4Change. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sano, Founder Waste4Change. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seorang anak manusia berdoa kepada Tuhan. Ia merapal doa-doa dan memanjatkan harapan. Guna mengentaskan kebingungan dalam menentukan arah dan tujuan, selepas seragam putih abu-abunya ditanggalkan.
ADVERTISEMENT
Usai melipat sajadah, televisi ia nyalakan. Pandangan dan pendengarannya terfokus pada sebuah berita tentang sampah di Jakarta. Ibu kota yang seharusnya menjadi contoh teladan, malah terlihat begitu buruk rupa. Namun ternyata, itulah cara Tuhan memberikan jawaban, sekaligus menitipkan energi yang sampai sekarang masih ia jaga.
Berbekal cita-cita membenahi sistem persampahan Indonesia, Mohamad Bijaksana Junerosano mantap meninggalkan Banyuwangi, Jawa Timur, untuk melanjutkan pendidikan ke Kota Kembang. Dari sana, pria yang akrab dipanggil Sano itu semakin teguh untuk menjadi pribadi yang sesuai dengan nama tengahnya.
Beruntung, saya dapat bertemu dan berkenalan dengannya secara langsung, sebagaimana saya ditugaskan kumparan untuk mewawancarai Sano pada 7 Februari 2019. Menurut kumparan (yang kemudian saya setuju), Sano adalah salah satu tokoh yang tepat jika hendak membicarakan terkait sampah dan Hari Peduli Sampah Nasional.
ADVERTISEMENT
Solusi Persampahan Berbalut Wirausaha
Rumah Pemulihan Material sampah anorganik Waste4Change. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Setelah lulus dari Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, pada tahun 2006, Sano tetap teguh mengikuti panggilan jiwanya. Baginya, hidup hanya untuk sekadar mencari upah bukanlah bagian dari misi besarnya.
Sejak di bangku kuliah, ia sudah sangat tertarik mendalami kegiatan wirausaha. Pada tahun 2006, ia dan rekan-rekannya mendirikan Greeneration Indonesia di Bandung (resmi jadi PT pada 2011). Ya, Sano menggabungkan unsur ketertarikannya terhadap isu lingkungan dan sampah dengan dunia kewirausahaan.
“Aku ingin membuat sebuah inisiatif menyelesaikan permasalahan lingkungan dan sampah dengan minat entrepreneurship-ku,“ ungkap Sano.
Awalnya, Greeneration Indonesia hanya diisi oleh konsep-konsep dan program-program sederhana. Pada tahun 2008, Sano mulai lebih memfokuskan diri secara penuh untuk membesarkan Greeneration Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tujuannya jelas, menyadarkan banyak pihak bahwa sampah harus dikelola dengan bertanggung jawab, bukan sekadar ditimbun begitu saja. Prinsip itu terus ia pegang teguh hingga kemudian muncul banyak inspirasi untuk terus berinovasi.
Akhirnya pada November 2014, Sano mendirikan wirausaha sosial (social enterprise) PT WasteforChange Alam Indonesia, atau yang dikenal dengan Waste4Change. Kantor mereka terletak di Kota Bekasi, Jawa Barat, dan masih berada di bawah kepemilikan PT Greeneration Indonesia.
Selain menjabat sebagai Founder dan Managing Director Waste4Change, Sano sekarang masih aktif sebagai Ketua Pengurus Greeneration Foundation (salah satu yayasan yang digagas oleh Sano dan masih di bawah naungan Greeneration Indonesia).
Menghadapi Tantangan Besar
Ilustrasi tantangan Foto: Unsplash/Chinh Le Duc
Di Indonesia, kata Sano, belum tercipta ekosistem yang kondusif terkait manajemen sampah yang bertanggung jawab (responsible waste management). Waste4Change hadir berupaya untuk mengenalkan dan mewujudkannya.
ADVERTISEMENT
Ia menyoroti tiga aspek penting, yaitu instrumen sosial (social instrument), penegakan hukum (law enforcement), dan aspek ekonomi (economy aspects). Semua itu menjadi tantangan terberat mereka selama empat tahun berjalan.
Terkait instrumen sosial, kata Sano, sangat penting mengedukasi masyarakat Indonesia agar tidak malas memilah sampah berdasarkan jenisnya, organik dan anorganik. Sebab, pemilahan sampah adalah hal paling krusial dalam proses pengelolaan sampah secara baik dan benar.
“Setiap kita mengedukasi masyarakat untuk memilah sampah, mereka selalu bilang, ‘ngapain (dipisah), mas Sano? Nanti juga bakal dicampur lagi’. Selalu seperti itu,” katanya.
Pernyataan itu didukung oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014, yang mencatat 81,16% masyarakat Indonesia tidak memilah sampah. Sementara itu, 10,09% masyarakat sudah memilah sampah tapi sampah itu lalu dicampur lagi ketika diangkut. Hanya 8,75% sampah yang dipilah untuk kemudian dimanfaatkan.
ADVERTISEMENT
“Selama ini, mindset masyarakat dalam mengurus sampah ya gitu. Tinggal bayar iuran merasa tanggung jawabnya selesai, atau tinggal naik motor lalu membuang sampahnya ke sembarang tempat, atau kalau melihat ada tumpukan sampah dia akan ikut ‘nitip’ di sana,” tutur Sano.
Menurut Sano, semua itu dipengaruhi oleh lemahnya penegakan hukum terkait pengelolaan sampah. Padahal, konsep dan desain dari pengelolaan sampah yang ideal sudah tercantum dalam undang-undang dan berbagai peraturan pemerintah.
“Realitanya memang betul, karena sistem (pengelolaan sampah yang bertanggung jawab) di Indonesia itu belum betul-betul holistik atau lengkap, belum menyeluruh, sehingga pendekatannya selalu parsial,” tutur Sano.
Di satu sisi, masyarakat diminta memilah sampahnya, sementara sampah yang sudah terpisah tersebut lalu ditimbun menjadi satu di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. ‘Budaya’ yang sudah terbentuk bertahun-tahun lamanya tentu sulit diubah, tetapi itu memang salah satu tantangannya.
ADVERTISEMENT
“Nah, ini yang sebenarnya membuat kami lebih semangat untuk membangun Waste4Change sebagai solusi pengelolaan sampah di Indonesia,” jelasnya.
Kemudian terkait aspek ekonomi, Sano mengungkapkan bahwa ekonomi persampahan (waste economic) belum menjadi perhatian khusus. Dana dari retribusi pengelolaan sampah dari masyarakat masih terlalu kecil, tidak seimbang dengan jumlah sampah yang dihasilkan. Akibatnya, pemerintah tidak punya daya untuk mengelola sampah dengan baik dan benar.
“Kalau mau menggunakan dana APBD, hampir semua pihak (pejabat setempat hingga masyarakat) enggak rela dana APBD-nya digunakan untuk ngurusin sampah. Karena ada isu lain yang (dianggap) lebih penting. Jadi, porsi APBD untuk mengurusi sampah itu kecil sekali,” jelasnya.
Kunci Tetap Termotivasi
Melihat begitu besarnya tantangan di depan mata, Sano pun tak luput dihinggapi rasa lelah. Namun, itu bukan alasan baginya untuk menyerah.
ADVERTISEMENT
“Kalau teman-teman pernah membaca buku tentang ikigai atau artikel tentang ikigai, kalau kamu udah ‘klik’, udah nemu sesuatu yang memang panggilan jiwa kamu, maka lelah (pikiran atau fisik) yang manusiawi itu hanya proses alamiah, setelah itu semangat membara tumbuh lagi,” ujar Sano.
Ikigai. Foto: Wikimedia Commons
Noriyuki Nakanishi dalam tulisan berjudul "'Ikigai' in older Japanese people", yang dimuat dalam jurnal Age and Ageing, Volume 28, Issue 3 terbitan Oxford University pada 1999, menjelaskan konsep ikigai. Kata "ikigai" biasanya digunakan untuk menunjukkan sumber nilai dalam kehidupan seseorang atau hal-hal yang membuat hidup seseorang berharga.
Ikigai lebih menaruh perhatian ke masa depan. Artinya, meski keadaan saat ini buruk, tetapi ia tetap memiliki keinginan atau tujuan untuk masa depan.
ADVERTISEMENT
“Jika itu sudah ada deep down inside your heart, kamu mirip Thomas Alfa Edison. Nemuin barang yang bisa nyala. Kalau gagal, dia penasaran. Kalau gagal, dia akan mencari cara supaya berhasil. Kalau gagal, dia enggak berhenti, terus mencari cara supaya berhasil,” terangnya.
Ikigai dapat mendorong seseorang untuk berperilaku tanpa harus disuruh dan dipaksa. Apa yang mereka lakukan adalah spontan karena mereka ingin melakukan hal itu. Ikigai bersifat personal, mencerminkan sisi batiniah dari seorang individu dan mengekspresikannya dengan teguh.
“Aku juga pernah capek, pernah lelah, kenapa bisa tetap istikamah? Bagiku, syaratnya adalah temukan panggilan jiwamu masing-masing. Sesuatu yang bisa membuatmu bangun jam 3 pagi atau begadang hingga jam 12 malam, tanpa disuruh orang tua, tanpa disuruh bos, tanpa diiming-imingi gaji. Coba cari,” lanjut Sano.
ADVERTISEMENT
Bagi Sano, menciptakan solusi pengelolaan sampah yang bertanggung jawab adalah ikigai-nya. Tantangan yang ada malah membuatnya semakin bersemangat.
Dampak dan Harapan
Logo Waste4Change. Foto: Waste4Change
Pelan tapi pasti, kontribusi mereka mampu membuahkan hasil. Dampak dari kontribusi Waste4Change mulai terasa riil.
“Menurut kami, mulai banyak pihak-pihak yang tersadarkan dan juga ingin menyelesaikan permasalahan sampah. Kami lahir di momen yang cukup tepat, kami mendapat banyak kepercayaan untuk membantu pihak-pihak menyelesaikan permasalahan sampah,” ujar Sano.
Sano mengklaim, Waste4Change dan Greeneration memiliki kekuatan di ranah advokasi dan dalam merangkul berbagai stakeholder untuk sadar terhadap isu persampahan. Terkait hal itu, contoh program yang diinisiasi oleh Waste4Change dan Greeneration adalah Indonesia Circular Economy Forum, yang membahas keterkaitan isu ekonomi dan lingkungan, di mana Sano menjadi salah satu pembicaranya.
ADVERTISEMENT
Mereka juga memiliki program jambore persampahan yang sudah dilaksanakan di beberapa daerah, seperti Aceh, Solo, dan Malang. Dan masih banyak lagi.
”Dampak secara operation masih sangat terbatas, tapi dampak bagaimana kami ikut mewarnai isu persampahan, kami merasa punya peran sentral,” jelasnya.
Sano mengungkapkan, Waste4Change dan Greeneration Indonesia kini sedang berada dalam posisi yang bahagia. Kontribusi mereka disambut baik oleh berbagai kalangan. Mulai dari kalangan korporat hingga masyarakat mulai melirik dan tertarik bekerja sama dengan Waste4Change untuk urusan pengelolaan sampah.
Alhamdulillah, Waste4Change cukup diterima dengan baik oleh pihak-pihak (masyarakat, korporat, pemerintah) karena kami salah satu yang memposisikan diri untuk fokus dan expert di bidang persampahan di Indonesia,” ungkap Sano.
Open windrow composting, salah satu metode pengelolaan sampah organik ala Waste4Change. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Saat ini, Waste4Change mengelola 5-13 ton sampah per hari dengan cakupan wilayah Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, dan sebagian wilayah di Jawa Timur. Ia berharap Waste4Change dapat berkontribusi lebih besar lagi dalam urusan praktek pengelolaan sampah.
ADVERTISEMENT
“Cita-cita kami, membuat sistem pengelolaan sampah skala kota dan membantu tiap kota di Indonesia menyelesaikan sampah secara tuntas, akhirnya kami sudah menemukan resep dan caranya. Kami mencari wali kota yang siap dan berani melakukan perubahan total menuju kota yang bertanggung jawab, bersih, dan bebas sampah. Target dalam waktu dekat kami mau mengelola 10% sampah Jakarta, 700 ton sampah per hari,” pungkasnya.