Menikah? Apakah Benar Mengasyikkan?

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
Konten dari Pengguna
14 Juni 2018 19:01 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menikah? Apakah Benar Mengasyikkan?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Pernikahan (Foto: Unsplash/Timothee Pons)
Pasar itu masih hening tanpa suara kala pagi menyapanya. Lampu-lampu penerangan dalam gedung belum sepenuhnya dinyalakan. Sebagian besar toko masih tertutup rapat oleh gelapnya gulita. Segelintir orang berjalan sambil meraba-raba di mana letak lapak sumber pencarian harta dunianya.
ADVERTISEMENT
Dari kejauhan, terlihat seorang pria berjalan lurus mendekat ke arahku dengan topi hitam menghiasi kepalanya. Dari kejauhan, aku sudah dapat menebak siapa dia, aku tahu pula apa yang dia mau, dan pria itu memang terbiasa datang sepagi itu.
Perlahan tapi pasti, ia tak sedetik pun menghentikan langkahnya, semakin dekat. Lalu, ia membuka pintu kaca yang menjadi pemisah antara aku dan dunia luar. Kemudian, pria itu, dengan wajahnya yang datar itu, menyapa, "Pagi, mas".
Pria dengan baju koko berwarna cokelat itu lalu mengeluarkan dompet dari saku kanan celana bahannya yang berwarna hitam tersebut. Dari saku kirinya, ia keluarkan telepon genggam, bukan smartphone canggih layaknya yang dimiliki kaum millenial masa kini, melainkan telepon genggam model jadul sebangsa Nokia 3310. Kemudian, ia duduk tepat di hadapanku. Hanya sebuah meja yang menjadi pemisah kami.
ADVERTISEMENT
"Itu, mas," katanya sambil menunjuk ke arah tumpukan kertas HVS di atas printer.
Dengan pulpen hitam, ia mulai menulis kombinasi angka-angka di atas selembar kertas HVS yang kuberikan padanya. Sesaat, ia terdiam. Ada momen di mana ia sempat mencoret angka-angka yang ia tulis tadi, lalu mengoreksinya.
"Sudah, pak?" tanyaku. Ia tak menjawab, masih sibuk menulis angka-angka, diikuti dengan rangkaian huruf-huruf yang merangkai nama seseorang. Raut wajahnya berubah seolah (dan memang iya) menunjukkan bahwa ia sedang punya banyak pikiran.
Pria yang sudah berusia kepala empat itu tiba-tiba berdiri, dan 'menembakku' dengan pertanyaan mengejutkan, "Mas, udah punya istri belum!?"
"Hah? hah?" sontak diriku kaget.
"Udah nikah belum?" Tanyanya lagi dengan agak mendesak.
Tanda tanya (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Tanda tanya (Foto: Pixabay)
Sesaat, aku punya pemikiran bahwa ia ingin menawarkan anak perawannya atau keponakannya untuk kuperistri. Bukannya banyak berharap, malahan aku bingung bagaimana cara menolaknya jika itu benar terjadi. Di sisi lain, aku juga berpikir bahwa jika aku jawab tidak, maka ia akan sekadar menasehatiku agar segera berumah tangga.
ADVERTISEMENT
Ya, sudahlah. Dengan agak terbata-bata aku menjawab apa adanya, "Be... belum, pak... kenapa?"
Ternyata, respons pria itu di luar dugaan.
"Nikah pusing, mas. Kalau udah punya istri pusing," katanya sambil perlahan duduk kembali dan menaruh kartu ATM di atas meja.
"Pusing, kadang kalau toko lagi sepi tapi kebutuhan (untuk keluarga) mah ada terus".
Aku hanya bisa tersenyum-senyum canggung dan terkekeh. Kemudian, ia memintaku untuk membantunya guna mengalihkan sebagian (besar) saldo yang ada di kartu ATM-nya itu ke angka-angka yang tertulis di atas selembar kertas tadi. Angka-angka itu tak lain dan tak bukan adalah nomor rekening sang istri dan anak tertuanya.
***
Di sisi lain, baru-baru ini, seorang kenalan saya di dunia maya berkoar-koar akan segera menikahi pujaan hatinya. Katanya, pernikahannya dengan perempuan pilihannya itu akan dilangsungkan pada tahun 2019.
ADVERTISEMENT
Saya pribadi belum pernah bertemu secara langsung dengan pria yang menjabat sebagai pemimpin redaksi di salah satu media digital yang fokus membahas sepak bola itu, tetapi yang saya perhatikan selama ini di lini masa adalah ia jarang menuliskan hal-hal berbau pernikahan dan rumah tangga.
Selama ini, ia lebih terus terang menyatakan cintanya kepada klub sepak bola yang sama dengan yang saya favoritkan, juga kepada tim nasional sepak bola negaranya. Namun, "Mas Pemimpin Redaksi" tetiba tak sungkan menunjukkan kepada khalayak maya bahwa dirinya begitu bersemangat akan rencana pernikahannya tersebut, ia tak sabar akan ada perempuan yang menemaninya bersantap sahur di bulan Ramadhan tahun depan. Saya senang mendengarnya.
Ilustrasi wartawan (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wartawan (Foto: Pixabay)
Beralih kembali ke dunia nyata, saya punya teman satu penerbitan. Sebentar lagi akan 'melahirkan' buku sepak bolanya yang kedua. Dengan begini, jumlah buku karyanya akan sama dengan jumlah anak yang telah dilahirkan oleh istrinya.
ADVERTISEMENT
Walau begitu, si "Mas Penulis" ini bukan orang yang terjun 100% ke dunia penulisan. Ia masih menjadi 'budak' korporat. Sama seperti saya. Namun, mungkin punya pemikiran yang lebih dewasa.
Dari penuturannya selama mengobrol dengan saya, saya membuat sebuah kesimpulan (yang subyektif dan cenderung sok tahu) bahwa ia sebenarnya punya mimpi menjadi seorang penulis yang dapat hidup mapan 100% dari karyanya sendiri, dari apa yang ia cintai. Namun, kondisi negeri ini tak mendukung impiannya, terutama untuk dampak secara finansial.
Berbekal tanggung jawab sebagai bapak rumah tangga, alhasil ia pilih profesi yang sesuai jurusan kuliahnya, yang ia nilai lebih menjanjikan kelayakan hidup bagi keluarga.
Beruntung, ia bisa sambil mewujudkan mimpinya menjadi penulis di kala kesibukannya. Akan tetapi, tetap saja ia terjebak dalam rutinitas harian yang (tampaknya) tidak begitu disenanginya: menjadi 'budak' korporasi.
ADVERTISEMENT
Kadang saya berpikir, jika ia seperti saya, masih jomblo, tidak punya istri, tidak punya anak, maka mungkin hidupnya dapat lebih santai, bebas pilih pekerjaan apa saja karena bisa melakukan apapun yang ia sukai tanpa beban tanggung jawab ngasih makan anak orang. Jika begitu, maka impian untuk dapat hidup dari karyanya sendiri dapat terwujud. Tak perlu capek-capek berangkat kerja subuh, pulang (ke)malam(an) dari Senin sampai Jumat (kadang lembur di hari Sabtu).
Ya, itu hanya buah pemikiran dari hasil lamunan saya saja. Saya tidak berani bertanya kepada si Mas Penulis terkait pernikahannya. Lagipula, kalimat-kalimat saya di paragraf sebelumnya juga masih sekadar dalam bayangan saya karena saya sendiri belum betul-betul resign dari perusahaan saya yang sekarang, dan buku pertama saya baru akan terbit setelah Idulfitri tahun 2018.
ADVERTISEMENT
Saya pernah berpikir begini:
Bagi Mas Pemimpin Redaksi, mungkin pernikahan sebuah perwujudan akan mimpinya, yang tak lain dan tak bukan, yaitu hidup membina rumah tangga dengan sang perempuan pujaan hati.
Bagi Bapak Berusia Kepala Empat, mungkin pernikahan sekadar menghentikan mimpi masa mudanya. Ya, kita gak tahu juga dia punya mimpi dan impian apa di masa lalu.
Bagi Mas Penulis, pernikahan menghentikan mimpinya untuk menjadi orang yang hidup mapan 100% hanya dari hasil tulis menulis, ketik-mengetik, dan muncul lah mimpi-mimpi baru untuk diwujudkan yang berkaitan dengan kelangsungan hidup anak dan istrinya, atau dengan kata lain, itu adalah "mimpi bersama".
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi yang lebih pasrah, seorang lelaki yang, katakanlah punya mimpi menjadi penulis juga, ingin membuat belasan, bahkan puluhan buku tapi karena ia sudah menikah dan tuntutan ekonomi yang mengikutinya, akhirnya ia urungkan niatnya tersebut. Alhasil, ia mungkin tidak pernah menerbitkan satu buku pun, dan memilih fokus mewujudkan mimpi bersama.
Contoh dari mimpi bersama yang saya maksudkan dari tadi adalah, misalnya, menyekolahkan anak di universitas terbaik, membeli rumah yang layak, punya kendaraan pribadi, bisnis-bisnis wirausaha, umrah, dan lain sebagainya.
Opini ini pernah saya lontarkan secara langsung di hadapan teman kuliah saya. Kemudian, dia berpendapat bahwa mencari pasangan hidup itu harus dengan pertimbangan untuk menyatukan visi dan misi bersama. Ini adalah salah satu pencegahan agar mimpi besar kedua belah pihak (suami dan istri) tidak berbenturan atau musnah tersapu oleh mimpi bersama.
ADVERTISEMENT
"Makanya dari sekarang, gua sih 'menebar jaring' dulu aja, Ton. Kalau yang lebih prioritas untuk diseriusin sih ada juga," ucap pria yang kabarnya sempat akan dijodohkan oleh putri pemilik pesantren itu.
***
Well, jika kamu menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang besar, maka mungkin kamu harus sadar bahwa akan banyak sekali yang akan dikorbankan, bukan hanya uang, tetapi juga waktu dan beberapa impian masa muda. Pasangan suami-istri harus cukup dewasa mengatur ego mereka masing-masing.
"Tapi pacar saya udah desak saya nikah nih. Gimana dong?"
Ya, jangan pacaran. Harus berani matahin hati sendiri sebagai konsekuensi ketidaksiapan dirimu. Membunuh perasaan itu, seperti yang saya lakukan baru-baru ini. Rasanya gimana? Sakit. Banget.
ADVERTISEMENT