Perempuan Jengkol

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
Konten dari Pengguna
15 Januari 2018 22:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perempuan Jengkol
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Gambar: Pixabay
Pada sebuah waktu yang tepat untuk mengisi perut yang lapar, terjadilah obrolan dan tergoreslah cerita. Perempuan imut itu masuk ke ruangan. Ia membawa kantong kresek berisi tempat makan dengan tangan kanan. Sementara itu, tangan kirinya menggenggam sendok sebagai alat untuk menyuap.
ADVERTISEMENT
Ia menyapa, aku membalasnya. Perempuan cantik itu duduk di meja dengan rambut yang masih terkuncir. Gadis itu mungil karena mungkin waktu kecil jarang mengonsumsi susu sapi. Namun, bukan alasan membuatku tidak tertarik.
Setiap gerak-geriknya adalah aksi yang menimbulkan reaksi. Layaknya aku yang terus memperhatikannya dari sudut pantry. Ia membuka kreseknya, mengeluarkan tempat makan berisi nasi. Tempat makan kedua, pastinya berisi lauk pauk teman makan nasi. Dirinya hanya makan sendiri, apa tak berharap ada yang menemani?
Untung ada saya di sana. Jelas, keuntungan berada di sisi saya, bukan dia. Perempuan itu hanya fokus pada makanan di depan matanya. Sementara, aku penasaran tentang apa yang hendak dia santap.
"Aku makan ya," katanya dengan suara menggemaskan.
ADVERTISEMENT
Diriku menjawab singkat, "iya."
Tempat makan berisi nasi dibuka dan terlihat jelas bahwa nasi itu berwarna putih. Tempat makan kedua, aku menanti-nanti. Kira-kira apa lauk yang sungguh ia minati? Ayam? Rendang? Telur dadar? atau sekedar tempe goreng dan tahu isi?
Ia lalu membukanya. Dahiku mengernyit, tatapan mata semakin kupertajam. Penciumanku menangkap bau bumbu yang kuat. Aku mendekat guna melihat apa yang akan dilahapnya. Gepeng dan bulat. Ah... aku tahu itu apa.
Archidendron pauciflorum. Archidendron jiringa. Pithecellobium jiringa. Pithecellobium lobatum. Atau dalam bahasa yang lebih keren disebut dengan "Jengkol".
Perempuan Jengkol (1)
zoom-in-whitePerbesar
Rendang Jengkol (Gambar: Cookpad/Febrica Hary)
"Kamu suka jengkol?" tanyaku heran.
"Iya," jawabnya antusias.
Aku tidak paham kenapa dia menyukainya. Cewek-cewek kekinian biasanya lebih suka pizza. Namun, dia adalah anomali. Atau dalam kondisi ini, anomali itu adalah aku sendiri karena tak sedikit perempuan cantik di kantorku yang menggemari makanan serupa. Jengkol adalah benar-benar makanan kesukaannya.
ADVERTISEMENT
"Kok suka jengkol?" tanyaku heran.
"Banget!" Jawabnya serayakan memasukkan suapan nasi dan sekeping jengkol pertama ke mulutnya.
Perempuan manis itu melanjutkan sambil mengunyah,"iya aku suka. Bikin lebih nafsu aja."
Sejenak terlintas pikiran nakal: jadi, inikah cara baru merangsang perempuan? Memberinya jengkol sebagai mahar?
"Nafsu makan maksudnya," dirinya memperjelas.
Oh, sial. Salah rupanya.
"Sebenarnya aku lebih suka pete. Gak tahu kenapa ya rasanya beda ajaaa," katanya sambil memasukkan suapan kedua ke mulutnya. Kali ini, dua keping jengkol sekaligus dan sesendok nasi.
Sejenak, aku membiarkannya menikmati. Sementara itu, aku mengecek gawai. Berusaha mengambil foto candid. Tapi setelah dipikir-pikir, jahat ih. So, tidak jadi.
Walaupun dia cantik sekalipun, tak ada yang salah dari perempuan yang hobi makan jengkol. Jengkol atau pete memiliki khasiat dan juga mudharat. Layaknya makanan lain di dunia, jika dikonsumsi dalam jumlah wajar tidak akan merugikan diri sendiri. Akan tetapi, yang jadi persoalan adalah, baik jengkol, maupun pete dapat merugikan orang lain secara langsung, baik di darat, maupun di udara.
ADVERTISEMENT
Ku bisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
Tapi aku tak pernah mati (atau setidaknya belum)
Ya, begitulah kata Efek Rumah Kaca. Maaf jika saya mengutip lirik dari grup musik luar biasa itu untuk tema tulisan saya kali ini. Saya tahu ini bukan pelanggaran HAM berat. Bahkan, mungkin sama sekali bukan pelanggaran HAM karena pete dan jengkol terkadang dapat menjadi simbol perayaan di beberapa rumah tangga Nusantara.
Eh tapi, bukankah orang-orang yang melakukan pelanggaran HAM juga suka akan perayaan? Mereka merayakannya dengan menari di atas penderitaan orang lain.
Kalau begitu, maka lebih mulia penggemar pete dan/atau jengkol. Karena tujuan utama mereka mengomsusi kedua makanan tersebut adalah untuk mengenyangkan perut dan memperoleh kesenangan (makan makanan favorit mereka). Ya, setidaknya tidak ada niat jahat lah.
ADVERTISEMENT
Sore itu aku bersumpah tidak akan mencium bibirnya. Kalian pasti tahu kenapa. Jaga jarak. Kecupan dapat berbuah dosa, tetapi yang tak kalah penting dapat membuatku hilang sadar secara harfiah.
"Memang dek Katon belum pernah coba (makan jengkol/pete)?" tanyanya tiba-tiba kala hanya benar-benar tersisa satu sendok nasi dan sekeping jengkol di tempat makannya.
"Belum," jawabku. "Kan ceritanya anak gaul Jakarta, jadi gak makan itu."
"Jadi, maksudnya aku gak gaul??" protesnya.
"Kalau pun iya, itu tidak mengapa. Selama tidak kudet (kurang update)," jawabku. "Gaul atau tidaknya seseorang dapat dilihat dari berbagai perspektif. Lagipula, menghakimi tingkat gaul seseorang hanya dari apa yang ia makan itu tak adil juga. Ini kan hanya soal selera."
ADVERTISEMENT
"Kalau dari perspektif dek Katon, aku gimana?" tanyanya penasaran.
"Kamu menggemaskan," jawabku lagi. "Eh tunggu-tunggu... pertanyaannya (tentang) apa sih ini?"
Ia tertawa lucu dan kembali bertanya, "hahaha... kalau menurut perspektif kamu, aku gaul apa tidak??"
"Kurang paham karena aku hanya melihatmu di kantor saja. Kau pun tak begitu aktif di sosial media. Namun, kadang kau terlihat bak perempuan yang berusaha kekinian," jelasku.
"Kekinian gimana?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi.
"Mengikuti tren yang ada," diriku memperjelas. "Tak perlu memaksakan. Santai saja karena tak semua tren yang ada harus dicoba. Sing penting tahu saja."
Perempuan itu mengangguk sambil tersenyum dan mengeluarkan satu kata singkat, "oke".
Ia melihat ke arah jam tangannya. Sebentar lagi maghrib. Dan ia rasa sudah harus segera mengakhiri sesi makannya.
ADVERTISEMENT
"Kamu gak mau coba ini?" dirinya menawarkan suapan nasi-jengkol yang terakhir.
"Asal kamu yang suapi?"