Romantisme Atlet Perempuan Indonesia dengan Emas Asian Games

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
Konten dari Pengguna
22 Agustus 2018 1:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Antara tahun 1962 hingga tahun 2018 adalah jarak waktu yang terlampau jauh. Tepatnya, 56 tahun, kita menunggu Indonesia kembali menjadi tuan rumah Asian Games. Telah banyak hal yang berubah dari masa ke masa. Namun, beberapa hal tetap sama.
ADVERTISEMENT
Salah satunya ihwal raihan medali emas Asian Games yang diperoleh Indonesia. Sepanjang sejarah keikutsertaan Indonesia di ajang Asian Games, baru pada tahun 1962 Indonesia sukses meraih medali emas pertama. Sebuah medali emas, yang benar-benar pertama diraih, disumbangkan oleh tim bulu tangkis beregu putri. Srikandi-srikandi negeri mengenyahkan Malaysia (Malaya) di partai final.
Ilustrasi Asian Games Jakarta Palembang 2018 (Foto: REUTERS/Edgar Su)
Kelima atlet bulu tangkis putri tersebut adalah Retno Kustijah, Minarni, Goei Kiok Nio, Happy Herowati, dan Corry Kawilarang. Selanjutnya, Retno Kustijah, yang berpasangan dengan Minarni, juga meraih medali emas di nomor ganda putri dengan mengalahkan rekan setim mereka sendiri, Corry Kawilarang/Happy Herowati. Minarni juga meraih emas di nomor tunggal putri setelah menaklukkan Corry Kawilarang.
Itu merupakan pencapaian besar nan membanggakan Indonesia, selaku negara merdeka yang baru berumur 17 tahun. Maksudnya, di usia yang sebelia itu, mampu menyelenggarakan ajang tahunan multievent sekelas Asian Games saja sudah luar biasa, ditambah lagi sanggup meraih medali emas. Walau sebenarnya tim bulu tangkis beregu putra dan tunggal putra, Tan Joe Hok juga sanggup meraih medali emas, tetapi perlu digarisbawahi bahwa takdir telah memilih perempuan-perempuan Indonesia untuk lebih dulu mengalungkan medali emas Asian Games yang berkilau itu.
Presiden Joko Widodo mengalungkan medali emas untuk Defia Rosmaniar. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)
Teks proklamasi kemerdekaan dibacakan Soekarno di hadapan rakyat Indonesia, dengan Bung Hatta setia mendampinginya. Sehari sebelumnya, dua orang proklamator diculik oleh para pemuda (laki-laki) yang mendesak proklamasi kemerdekaan Indonesia segera disuarakan.
ADVERTISEMENT
Namun, siapa sangka bahwa orang-orang yang membawa kebanggaan berupa medali emas Asian Games pertama untuk bangsa Indonesia yang merdeka adalah berasal dari kaum yang melahirkan mereka? Lagu Indonesia Raya, yang diciptakan oleh seorang lelaki bernama Wage Rudolf Supratman, dapat berkumandang di ajang Asian Games untuk pertama kalinya berkat jasa para perempuan.
Penyerahan Medali Emas kepada Lindswell Kwok, Senin (20/8/2018). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Pada gelaran tahun 2014 di Incheon, Korea Selatan, emas pertama Indonesia diraih oleh perempuan juga, yaitu pasangan ganda putri bulu tangkis Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari. Total 4 medali emas diraih, hanya satu yang disumbangkan laki-laki, yaitu Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dari ganda putra bulu tangkis. Sisanya diraih atlet perempuan-perempuan, yaitu Maria Natalia Londa (atletik lompat jauh) dan Juwita Niza Wasni (wushu kategori nanquan).
ADVERTISEMENT
Prestasi di Incheon menyudahi puasa medali emas atlet perempuan Indonesia di ajang Asian Games setelah sebelumnya terakhir kali diraih pada Asian Games tahun 2002. Pada waktu itu, tim tenis beregu putri yang diisi oleh Angelique Widjaja, Liza Andriyani, dan Wukirasih Sawondari, dan Wynne Prakusya meraih satu medali emas.
3 Srikandi Peraih Emas di Asian Games 2018, Jakarta, Senin (20/8/18). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan, ANTARA FOTO/NASGOC/Aji Wisnu Novianto, Reuters/Cathal Mcnaughton)
Kini, Asian Games kembali ke Indonesia. Satu kesamaan dengan gelaran tahun 1962 adalah bahwa medali emas pertama Indonesia, bahkan kali ini tiga medali emas pertama, disumbangkan oleh perempuan. Medali emas pertama disumbangkan oleh Defia Rosmaniar dari cabang olahraga Taekwondo, lalu Lindswell Kwok dari Wushu, dan Tiara Andini Prastika dari cabang sepeda gunung downhill. Baru setelah itu disusul atlet laki-laki Khoiful Mukhib (sepeda gunung downhill) dan Eko Yuli Irawan (angkat beban 62 kilogram), hingga 21 Agustus 2018.
ADVERTISEMENT
Sedikit fakta-fakta di atas dapat menjelaskan bahwa terdapat romantisme tersendiri antara atlet perempuan Indonesia dengan medali emas Asian Games. Ajang ini seperti mempunyai tempat tersendiri untuk atlet-atlet perempuan Indonesia, terutama ketika Indonesia yang menjadi tuan rumahnya.
Atlet Sepeda Gunung Indonesia peraih medali emas Tiara Andini Prastika (tengah) bersama pebalap Thailand, Vipavee Deekaballes yang meraih perak (kiri) dan pebalap Indonesia Nining Porwoningsih meraih perunggu (kanan) usai Final Run Women Elite Downhill pada Asian Games ke-18 Tahun 2018. (Foto: ANTARA FOTO/NASGOC/Aji Wisnu Novianto)
Mundur sedikit ke waktu sebelum emas-emas pertama tersebut berhasil diraih bahwa salah satu tujuan diadakannya Asian Games di Indonesia adalah untuk membuat citra dan kesan Indonesia di mata mancanegara menjadi positif. Jadi, selain gencar meraih prestasi dari berbagai cabang olahraga yang ditandingkan, Indonesia juga mencoba untuk memberi kesan sebagai tuan rumah yang baik sambil mempromosikan pariwisata dan keindahan negeri.
Pesta pembukaan yang fenomenal dan menjadi perbincangan hangat di mancanegara itu pun salah satunya. Kalian tentu ingat, setelah aksi ala Mission Impossible Presiden Joko Widodo (dan stuntman-nya), lalu acara dilanjut dengan berbagai pertunjukkan di dalam Stadion Gelora Bung Karno (GBK). Masih ingat apa pertunjukkan awal yang ditampilkan di GBK? Ya, tarian Saman (sumber lain menyebutnya sebagai tarian Ratoh Jaroe) oleh ribuan pelajar perempuan. Lagi-lagi, perempuan menjadi wajah pertama Indonesia, selaku tuan rumah Asian Games 2018, yang dilihat oleh masyarakat Asia, bahkan mungkin juga masyarakat dunia.
Aksi Jokowi kendarai moge di pembukaan Asian Games 2018. (Foto: Instagram/@jokowi)
Tentang bagaimana para tim kreatif menyusun konsep dan mengumpulkan para penari terbaik seantero negeri. Lalu, membuat mereka kompak seirama dalam gerak, suara, dan warna, sehingga tarian dari tanah kelahiran Cut Nyak Dien dapat dilihat Asia sebagai sebuah salam selamat datang, pembukaan dari sebuah pembukaan. Tuan rumah menyambut para tamunya dengan baik dan meriah dengan menampilkan ribuan perempuan sebagai penyambut pertamanya.
ADVERTISEMENT
Namun, walau begitu, sudahkah Indonesia menjadi tuan rumah yang baik bagi perempuan negerinya sendiri?
Sedikit tidak adil dan ironis jika melihat realita di masyarakat tentang bagaimana banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan, hingga pelecehan. Di satu sisi, perempuan-perempuan Indonesia di angkat setinggi langit atas prestasinya. Di sisi yang lain, perempuan-perempuan direndahkan martabatnya.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga, pembunuhan, pemerkosaan, pelecehan verbal-non verbal, kawin paksa, eksploitasi tubuh kerap dialami perempuan. Bahkan, sekadar menjadi korban colak-colek dan 'bercandaan' berbau seksis di sekolah, kampus, tempat kerja, dan tempat umum juga merupakan hal tidak menyenangkan lain yang diterima perempuan-perempuan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ketidakadilan juga terjadi di ranah hukum dan kriminal. Mungkin kalian masih ingat kasus tentang seorang perempuan di Jambi yang diperkosa kakaknya sendiri tapi malah dijebloskan ke penjara akibat menggugurkan kandungannya. Ya, sebuah hal yang sungguh sulit diterima logika. Belum lagi kasus-kasus menjijikkan lainnya macam perempuan-perempuan yang dicolek payudaranya di jalanan, lalu ketika pelakunya (jelas laki-laki) tertangkap mereka hanya berkilah "iseng".
Bagian tubuh perempuan, dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, adalah aset yang berharga bagi dirinya. Hanya karena perempuan berpakaian agak terbuka, bukan berarti mereka murahan. Terkadang, beberapa perempuan suka menunjukkan kecentilannya, tetapi bukan berarti mereka gampangan. Jadi, jelas tidak boleh colak-colek dan belai-belai sembarangan.
Satu hal lagi masalah yang membelit perempuan Indonesia adalah persoalan usia pernikahan. Dalam sebuah keluarga atau sebuah komunitas masyarakat ada sebuah batasan usia yang disepakati bersama menjadi usia matang perempuan untuk menikah. Di setiap daerah berbeda-beda, tetapi jangan heran bahwa di zaman sekarang masih ada sebuah kelompok masyarakat yang menekankan bahwa pernikahan perempuan di bawah usia 20 tahun adalah wajar.
ADVERTISEMENT
Padahal, kalau menurut saya pribadi, perempuan juga berhak menggapai impiannya, menggapai mimpinya. Siapa yang tahu bahwa di balik tubuh perempuan yang menikah (terlalu) muda itu ada jiwa seorang atlet? Jangan-jangan jika ia tidak menikah terlalu muda dan mengambil kesempatan berkarier, maka ia akan dapat memberikan kebanggaan untuk Indonesia juga.
Selain prestasi di ajang Asian Games, mari kita ambil contoh juga ke ajang lain yang lebih besar, olimpiade. Olimpiade adalah ajang multi event dunia, di mana negara-negara dari seluruh benua turut berpartisipasi. Sepanjang keikutsertaannya, Indonesia baru berhasil meraih medali pertamanya pada gelaran Olimpiade Musim Panas ke-24.
ADVERTISEMENT
Siapa yang pertama kali memberikan medali untuk Indonesia itu? Tiga atlet panahan: Nurfitriyana Saiman, Lilies Handayani, dan Kusuma Wardhani alias Tiga Srikandi memberi medali perak di Olimpiade Musim Panas, Seoul, 1988. Lalu, siapa yang memberikan medali emas pertama untuk Indonesia? Lagi-lagi, Tuhan menakdirkan perempuan Indonesia, Susi Susanti, yang lebih dulu memberikannya daripada Alan Budikusuma di tahun dan tempat yang sama, Olimpiade Musim Panas di Barcelona, Spanyol tahun 1992.
Sungguh besar potensi perempuan-perempuan Indonesia di ajang olahraga, hanya saja keadaan kadang tak mendukung mereka untuk berkembang. Saya bukannya mau melarang orang menikah, cuma maksud saya begini: Emas itu identik dengan perempuan. Bahkan, dalam ajaran agama Islam, hanya perempuan yang berhak mengenakan perhiasan dengan emas murni.
Legenda bulu tangkis Indonesia Susi Susanti (tengah) menyalakan kaldron dengan obor Asian Games 2018 di lautan pasir Gunung Bromo, Jawa Timur (Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru)
Maka dari itu, biarkanlah perempuan menggapai emasnya sendiri. Bukan mendapatkannya di toko emas, melainkan di atas arena pertandingan olahraga. Bukan mendapatkannya secara cuma-cuma karena dibelikan oleh masnya, tetapi dengan perjuangan dan cucuran keringat. Sungguh, perempuan berhak memberikan kebanggaan untuk dirinya, keluarganya, dan menjadi inspirasi banyak orang di atas lapangan, arena, venue, atau apa pun istilahnya tempat pertandingan itu.
ADVERTISEMENT
Karena mungkin, hanya di arena olahraga, perempuan dapat lebih dihargai usahanya. Karena bisa jadi, hanya di arena olahraga, air matanya yang bercucuran tetap diberi sambut tepuk tangan. Jelas bahwa di arena olahraga, cantik atau tidaknya rupa bukanlah persoalan besar dibandingkan jiwa sportivitas. Jelas bahwa di arena olahraga, laki-laki akan bersedia menaruh hormat, meletakkan bangga, dan menyembunyikan malu kala melihat perempuan Indonesia mengibarkan sang saka merah putih di puncak teratas, sementara mereka hanya dapat duduk terperangah.