Sebagai Fans Arsenal, Saya Memang Ditakdirkan untuk Bersabar

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
Konten dari Pengguna
18 Desember 2018 22:40 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Stadion Emirates milik Arsenal. (Foto: Reuters/John Sibley)
zoom-in-whitePerbesar
Stadion Emirates milik Arsenal. (Foto: Reuters/John Sibley)
ADVERTISEMENT
16 Desember 2018 adalah hari yang begitu membahagiakan bagi saya. Kenapa? Karena akhirnya saya berkesempatan untuk menggoreskan tanda tangan saya di setiap lembar depan buku karya saya. Kurang lebih, ada 100 buku yang saya tanda tangani hari itu. Dan itu belum semua.
ADVERTISEMENT
Kesabaran yang akhirnya berbuah manis. Kalau mau diceritakan, sebenarnya proses awal penulisan hingga penerbitan buku pertama saya yang berjudul Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan ini penuh suka dan duka. Tidak mulus-mulus amat.
Sekitar Bulan Agustus 2017, saya sebenarnya sudah hampir mau menyerah. Lamaran pekerjaan yang ada kaitannya dengan tulis-menulis atau jurnalis tak kunjung ada satu pun yang dibalas.
"Mungkin saya tidak ditakdirkan menjadi penulis, mungkin jalan hidup saya memang menjadi petugas marketing di bank," pikir saya waktu itu.
com-Ilustrasi Stres (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi Stres (Foto: Thinkstock)
Namun, tampaknya Tuhan tak mau saya menyerah. Hati saya tiba-tiba merasa 'terketuk' kala melihat beberapa teman sedang mempromosikan buku karya mereka di media sosial. Mereka menerbitkan buku secara indie dan menjualnya secara online.
ADVERTISEMENT
Menarik dan terlihat simpel. Itu yang ada di pikiran saya. Tidak perlu punya kenalan yang bekerja di toko buku ternama.
Hal itu membuat motivasi menulis saya kembali. Ditambah dengan fakta bahwa hampir mereka semua bukan penulis profesional alias menulis untuk sekadar hobi. Artinya, kalau mereka bisa, kenapa saya tidak?
Saya mengontak dua di antara mereka. Nama pertama adalah Abraham Sitompul (Bram), penulis buku Bayern Munchen: Kami Adalah Kami dan Merekam Jejak Sepak Bola Jerman, yang bekerja sama dengan Indie Book Corner. Nama kedua adalah Aditya Nugroho (Adit), penulis buku La Storia: Kisah-Kisah Menarik AC Milan di Era Berlusconi, yang bekerja sama dengan Kawos Publishing.
Nama kedua yang akhirnya saya pilih untuk bekerja sama. Sebab, kami sama-sama tinggal di Depok, bahkan di satu kecamatan yang sama, sehingga komunikasi dan koordinasi bisa menjadi lebih mudah.
ADVERTISEMENT
Saya sempat memikirkan beberapa tema buku, dan akhirnya saya memilih untuk menulis tentang Arsenal. Ini adalah tentang klub kesayangan saya. Tidak banyak literasi tentang Arsenal yang ditulis dalam Bahasa Indonesia. Kalau pun ada, kebanyakan hanya tentang Wenger, Henry, Bergkamp, dan beberapa kisah menyedihkan.
Aubameyang merayakan gol di depan suporter. (Foto: Reuters/Eddie Keogh)
zoom-in-whitePerbesar
Aubameyang merayakan gol di depan suporter. (Foto: Reuters/Eddie Keogh)
Padahal, Arsenal lebih dari itu. Arsenal FC adalah sebuah klub besar yang memiliki sejarah panjang. Banyak hal menarik yang jarang diketahui publik, bahkan mungkin fans Arsenal sendiri tentang klub yang bermarkas di London ini. Maka dari itu, atas dasar kecintaan dan keresahan, saya memilih untuk mengambil tema tentan Arsenal.
Arsenal FC adalah sebuah panggung kehidupan yang terdiri dari para aktor dan lakon, serta penonton yang memasang panca indera mereka masing-masing. Buku ini berisi kisah-kisah yang mengandung nilai sejarah di dalamnya yang tak layak hangus terbakar gairah sepak bola modern. Cerita-cerita menarik yang amat disayangkan jika dibiarkan hanyut oleh arus waktu yang terus melaju.
ADVERTISEMENT
Walaupun, rasa takut sempat menghampiri saya karena khawatir isinya tidak sesuai ekspektasi pembaca. Akan tetapi, saya punya prinsip bahwa lebih baik dikritik daripada didiamkan. Dengan kritik, kita bisa tahu letak kesalahan kita untuk bisa dikoreksi, sehingga menjadi pelajaran agar lebih baik lagi.
November 2017, saya dikenalkan kepada salah satu pengurus Kawos Publishing oleh Mas Adit. Saya menyerahkan draft tulisan dan dia tertarik, serta setuju mau menerbitkan buku saya.
Syakib, nama orang itu, menantang saya untuk bisa menyelesaikannya pada Januari 2018. Agak molor sedikit, akhirnya naskah buku itu dapat kami rampungkan awal Februari 2018 karena ada beberapa penambahan naskah dan pengecekan ulang konten. Saya sudah semringah, buku saya akan segera terbit. Namun, ternyata ini adalah awal dari cobaan hidup.
ADVERTISEMENT
Awalnya, saya mengira hal tersulit adalah mencari orang untuk menulis kata pengantar. Akan tetapi, alhamdulillah, urusan yang satu ini amat dimudahkan. Terima kasih kepada Akmal Marhali, Yamadipati Seno (@arsenalskitchen), Sirajudin Hasbi, dan Arsenal Indonesia (AIS).
Cobaan terberat pertama adalah pembuatan cover. Kami berulang kali meminta bantuan beberapa kenalan. Gonta-ganti 'tukang desain' terus. Modalnya ada, harga sudah deal tapi kerap berhenti di tengah jalan. Kenapa? Karena orang-orang yang kami mintai tolong adalah orang-orang yang super sibuk. Enggak bisa disalahkan juga.
Stres. Naskah sudah selesai, kata pengantar sudah dikirim, tetapi buku belum bisa juga terbit. Dari Bulan Ramadhan hingga Lebaran Idul Adha, cover itu tak kunjung tuntas. Di sela-sela waktu menunggu, saya sempat tambahkan lagi naskah-naskah terkait Arsenal. Jadilah buku itu menjadi setebal 200 halaman lebih.
ADVERTISEMENT
Agustus 2018, akhirnya cover itu jadi. Terima kasih kepada Galih Satrio Pinandito. Cover kami sebar ke media sosial, orang-orang antusias. Kami pun menentukan harga, lalu dibuka PO pertama pada 27 September 2018, kami menjalin kerja sama dengan beberapa toko-toko online.
"Akhirnya, ini akan segera selesai!" pikir saya waktu itu.
Akan tetapi, cobaan belum usai. PO ditutup 20 Oktober 2018. Saya mengira, dalam waktu dua minggu, buku-buku sudah bisa sampai ke tangan pemesan. Saya salah.
Ada aspek lain selain cover yang harus diurus, yakni layout atau tata letak. Kelihatannya begitu sederhana, ya? Tapi nyatanya bikin kami pusing bukan kepalang. Sulit mencari orang yang dapat dimintakan bantuan mengurus tata letak.
Akhirnya, seorang bernama Ibnu Teguh mau meluangkan waktunya mengurus tata letak buku saya. Terima kasih. Namun, bukan berarti masalah sudah selesai.
ADVERTISEMENT
"Gua heran, Ton. Cuma pas buku lu ini aja, dah ada aja masalah dan cobaannya. Sebelum-sebelumnya kagak pernah," kata Mas Syakib.
Cobaan pamungkas pada masa pra-penerbitan adalah ISBN (International Standard Book Number). Pada setiap buku yang diterbitkan secara komersial, pasti akan ada angka-angka unik yang bertujuan sebagai pengidentifikasi, itulah ISBN.
Tadinya, di Indonesia, pengurusan ISBN dilakukan secara offline dan dapat selesai satu hari, bahkan satu jam. Nah, kami tidak tahu bahwa sekarang zaman sudah berubah. Pengurusan ISBN harus online. Katanya, butuh waktu dua minggu. Nyatanya, lebih dari itu, untung tidak sampai sebulan penuh.
Inilah yang membuat pengiriman menjadi molor lagi, dan baru keluar nomor ISBN itu pada 30 November 2018. Jumat berkah.
ADVERTISEMENT
Ya, buah kesabaran terbayar. Sekarang saya senang, satu per satu pemesan sudah memamerkan buku saya yang telah sampai ke tangan mereka lewat media sosial.
Memang ya, fans Arsenal itu ditakdirkan untuk punya kesabaran ekstra. Bagi saya, perjalanan penulisan hingga penerbitan buku Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan sudah seperti perjalanan mengikuti perkembangan klub ini dari musim ke musim.
Arsenal FC adalah klub yang penuh dengan kisah jatuh-bangun dan tak jarang memberi inspirasi, motivasi, tetapi juga rasa depresi. Mengikuti kisah perjalanan klub ini dari masa ke masa, dari musim ke musim, apalagi sampai menjadi pendukungnya, tentu memberikan sensasi tersendiri.
The Gunners didera banyak cobaan. Sejak awal musim 2006/2007, pemain-pemainnya sering cedera, bintang-bintang harus dijual demi menutupi utang, taktik kadang tidak berjalan dengan sempurna. Alhasil, Arsenal puasa gelar selama sembilan musim. Kami, fans Arsenal, tak bisa merayakan apa pun di akhir musim.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya, gol Aaron Ramsey di final FA Cup 2014 membuka kembali keran kejayaan Arsenal. Membasuh jiwa kami yang dahaga akan gelar juara. Memang, Arsenal belum kembali menjadi yang nomor satu di Inggris Raya. Namun, kami percaya bahwa semua itu ada prosesnya, laiknya menerbitkan sebuah buku.
Well, saya masih beruntung, proses pembuatan buku pertama saya ini tidak sampai memakan waktu sembilan musim.