Sepak Bola di Tengah Wabah Virus Corona dalam Frasa 'Roti dan Sirkus' Era Romawi

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
Konten dari Pengguna
24 Maret 2020 0:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suporter sepak bola di Italia menonton pertandingan dengan mengenakan masker. Foto: Reuters/Massimo Pinca
zoom-in-whitePerbesar
Suporter sepak bola di Italia menonton pertandingan dengan mengenakan masker. Foto: Reuters/Massimo Pinca
ADVERTISEMENT
Agar penyebaran virus corona tak semakin meluas, pemerintah di sejumlah negara memberlakukan social distancing, bahkan lockdown penuh. Imbasnya, sejumlah acara mesti dibatalkan, ditunda, atau ditangguhkan, tak terkecuali sepak bola.
ADVERTISEMENT
Jerman menjadi salah satu negara yang kompetisi sepak bolanya, di semua level, ditunda sementara. Bahkan, ada wacana semua kompetisi di berbagai level di Jerman bakal disetop secara prematur tanpa adanya juara untuk musim 2019/20.
Nah, salah satu orang yang menentang wacana itu adalah Fredi Bobic. Sosok yang menjabat sebagai Direktur Olahraga Eintracht Frankfurt itu bilang, kalau Bundesliga 2019/20 disetop begitu saja, maka klub-klub bakal mengalami kerugian ekonomi yang besar.
Ya, benar, sih. DFB (Federasi Sepak Bola Jerman) juga bilang, kok, gara-gara kompetisi terhenti, sekitar 250.000 orang terancam kehilangan pekerjaan.
Enggak cuma orang-orang yang terlibat dalam laga-laga dan klub-klub di Bundesliga, tetapi juga kompetisi-kompetisi level bawahnya. Bagaimana caranya mau bayar orang-orang itu kalau tidak ada pemasukan karena tidak ada pertandingan?
ADVERTISEMENT
Namun, sekekeh-kekehnya Bobic, dia mengaku tetap bakal menghormati saran dari dokter dan ahli virologi setempat. Syukurlah. Meski begitu, tetap saja ada pernyataannya yang membikin perut gua tergelitik.
"Kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk memastikan kami dapat terus bermain sepak bola. Ini bukan hanya soal uang, tetapi juga soal pekerjaan di klub dan sekitarnya. Banyak orang terlibat langsung dan tidak langsung dengan sepak bola dan hidup darinya. Sepak bola adalah industri besar," katanya, dilansir Goal International.
"Selain itu, kami secara alami ingin melakukan bagian kami untuk memastikan bahwa orang-orang mulai berbicara tentang hal-hal lain selain virus corona. Itulah inti dari olahraga. Seperti halnya para gladiator di masa lalu: roti dan permainan," lanjutnya.
Suporter Eintracht Frankfurt. Foto: Reuters/Kai Pfaffenbach
Nah, ini. Gua agak tidak nyaman ketika dia menyebut frasa 'Roti dan Permainan (Bread and Games)' atau yang di era Romawi kuno dikenal dengan nama 'Roti dan Sirkus (Bread and Circuses)'.
ADVERTISEMENT
Jadi, begini. Frasa itu, 'Roti dan Sirkus', aslinya terdapat dalam karya Satires dari seorang penyair satir Romawi bernama Juvenal.
ADVERTISEMENT
Intinya, karya dan frasa itu menyindir masyarakat Romawi yang bersikap acuh, masa bodoh, dengan sejarah maupun keterlibatan politik. Alhasil, para penguasa Romawi pada zaman itu bisa enak saja melanggengkan rezimnya.
Pokoknya, tinggal kasih rakyat makanan murah --Bread-- dan hiburan luar biasa --Circus-- semua 'beres'. Boleh dibilang, 'Roti dan Sirkus' ini adalah taktik pengalihan isu penguasa agar rakyat tidak mempermasalahkan sesuatu yang bisa mengganggu citra atau jalannya rezim penguasa.
Lebih spesifik soal 'Sirkus', arena pertarungan Gladiator dan balap chariot adalah contoh hiburan besar yang begitu digandrungi pada zaman itu. Rakyat pusing? Kasih saja hiburan, 'beres'. Kasih saja pangan murah, 'selesai'.
Koloseum tempat para gladiator bertaruh nyawa demi menghibur rakyat. Foto: Katitjuntja via pixabay
Padahal, itu jelas bukan solusi paling fundamentalnya. Nah, dalam konteks modern, sepak bola adalah 'Sirkus' itu. Dan masalah yang sedang dihadapi sekarang adalah wabah virus corona dan kerinduan terhadap sepak bola sebagai salah satu akibatnya.
ADVERTISEMENT
Para penggemar sepak bola sedih karena rindu melihat tim kesayangannya berlaga di lapangan. Orang-orang yang nyari duit di sepak bola juga gelisah karena tak ada pemasukan.
Lantas, apa sebaiknya kita jadikan sepak bola sebagai 'Sirkus' untuk mereka di situasi saat ini? Lho, bagi gua, sih, tidak.
Jika begitu, maka sepak bola hanya akan menjadi stimulus kebahagiaan sesaat. Solusi jangka pendek --bahkan mungkin tak layak disebut solusi.
Pemain Gremio mengenakan masker sebagai bentuk protes terhadap keputusan menggelar laga sepak bola di tengah wabah corona. Foto: Reuters/Diogo Vara
Laga mungkin bisa dilangsungkan tanpa penonton untuk mendukung social distancing. Namun, hei, bagaimana nasib para pemain dan orang-orang yang terlibat di dalamnya?
Jika laga digelar dalam kondisi wabah virus corona masih mengganas, ya, bisalah kita sebut mereka; para pemain, pelatih, staf, tukang rumput, satpam, dan lain-lain; sebagai gladiator yang mempertaruhkan nyawa di arena pertarungan.
ADVERTISEMENT
Virus corona masih belum ditemukan vaksinnya. Jadi, mending dipantau dahulu bagaimana situasi terkini selama social distancing --atau lockdown di beberapa negara-- terkait COVID-19.
Apakah bakal membaik atau tidak, semua itu akan menentukan nasih kompetisi ke depannya. Enggak cuma di Jerman, tetapi juga di banyak negara lain di dunia.
Lantas, bagaimana dengan mereka yang terancam kehilangan pekerjaan itu? Iya, iya, manusia butuh uang. Namun, kenapa kita tidak melihat ke solusi berupa aksi solidaritas?
Ada sejumlah langkah solidaritas dari kalangan dunia sepak bola. Borussia Moenchengladbach, misalnya, yang para pemainnya bersedia memotong gaji mereka demi membantu finansial klub untuk membayar gaji para pekerja.
Ada juga aksi solidaritas Ultras Borussia Dortmund, Sudtribune Dortmund, yang mengumpulkan pesanan bahan/makanan secara kolektif, lalu mengantarkannya ke rumah penduduk melalui kurir.
ADVERTISEMENT
Target mereka adalah orang-orang yang rentan dan sedang dikarantina akibat virus corona. Aksi yang baik, bukan?
Kalau di Inggris, Manchester City dan Manchester United, misalnya, patungan galang dana untuk bank makanan di Manchester. Di Merseyside, hal itu juga dilakukan oleh Liverpool dan Everton. Para suporter juga terlibat, lho.
Tujuannya, menambah stok makanan dan mengompensasi ketiadaan donasi makanan yang biasa dikumpulkan jelang laga di masing-masing stadion. Targetnya adalah orang-orang yang kesulitan mendapat makanan.
Nah, dalam cakupan lebih luas, itu bisa diperuntukkan bagi mereka yang terancam kehilangan pekerjaan tadi, toh? Namun selain sumbangan makanan dan minuman, mungkin bisa juga berupa donasi dana bagi mereka yang membutuhkan.
Kalau dari aspek kontribusi menjaga kehidupan klub-klub agar tak gulung tikar, mungkin kebijakan English Football League (EFL) bisa ditiru. Apa itu?
ADVERTISEMENT
Mereka merilis dana bantuan jangka pendek senilai 50 juta poundsterling (sekitar Rp 920 miliar) untuk membantu klub dengan masalah finansial. Klub dari Divisi Championship --kompetisi level kedua Inggris-- juga bisa mengajukan pinjaman tanpa bunga sebesar 584 ribu poundsterling.
Jika seluruh lapisan sepak bola menerapkan semua bentuk solidaritas seperti yang telah disebut di atas, maka mestinya angka orang-orang yang terancam jadi pengangguran bisa ditekan. Tidak perlu ada yang takut kelaparan.
Intinya, menghadirkan subsidi bagi klub-klub yang kesulitan finansial. Supaya mereka tak perlu memecat para pekerjanya. Agar tak ada orang yang menjadi luntang-lantung tanpa pemasukan.
Kayaknya, sih, 'solidaritas' adalah kunci ideal untuk bertahan di situasi sekarang. Mengenyahkan segala bentuk egoisme demi kepentingan bersama. Bukan cuma sekadar memberi 'Roti dan Sirkus'.
ADVERTISEMENT
Namun, sekadar penegasan, gua bikin stori ini bukan untuk menjelek-jelekkan Bundesliga atau Eintracht Frankfurt dan membagus-baguskan Premier League dan klub-klubnya. Bukan.
Jangan salah paham, ya. Lha wong, Premier League juga sempat memberlakukan kebijakan kurang berfaedah, kok. Laga tanpa jabat tangan itu, misalnya. Buat apa enggak jabat tangan di awal laga, tetapi sepanjang laga berjibaku juga? Indikasi 'Sirkus'.
Lagipula, dari pihak Premier League juga belum melakukan langkah seperti halnya EFL --badan yang mengurusi liga level kedua hingga keempat di Inggris. Ditambah lagi, belum semua klub Premier League memublikasikan gerakannya.
Inti stori ini adalah gua berharap jangan sampai ada siasat 'Roti dan Sirkus' di situasi pelik sekarang ini dan sepak bola dijadikan alatnya. Cuma kebetulan, orang yang mengungkit-ungkit frasa itu adalah tokoh Bundesliga.
ADVERTISEMENT
Begitu, guys. Ingat, suara satu orang tidak berarti mewakili keseluruhan. Pun dalam kasus Bobic selaku petinggi Eintracht Frankfurt. Just to be more fair, kita juga enggak tahu maksud Bobic sebenarnya melontarkan frasa 'Roti dan Permainan' itu apa.
Selain Dortmund dan Gladbach, gua juga senang, kok, melihat beberapa penggawa Bayern Muenchen juga pada bergerak dengan aksinya masing-masing. Contohnya: Joshua Kimmich, Leon Goretzka, hingga Robert Lewandowski dan istrinya.
Ya, sudahlah. Semoga enggak pada salah paham.
Harapan gua, sih, semakin banyak yang tergerak untuk melakukan solidaritas di situasi merebaknya virus corona ini. Enggak cuma di sepak bola, tetapi juga di masyarakat luas.