Bagi2 Setifikat Tanah, Pelayanan Publik Jadi Alat Pencitraan Politik

Konten dari Pengguna
24 Maret 2018 5:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kawan Nazar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kalau kita bicara tentang pertanahan, level presiden atau pemerintah pusat itu mestinya urusannya ada di level kebijakan. Yg dibutuhkan rakyat skr ini adalah Reformasi agraria, atau Land Reform. Merestrukturisasi kepemilikan tanah, sehingga struktur yg timpang jadi lbh adil dan baik. Yg belum punya tanah, jadi bisa punya tanah. Yg tanahnya terlalu banyak, dibatasi kepemilikannya. Shg tdk spt skr ini, 1% penduduk menguasai 80% tanah. Data yg lain menyatakan 74% tanah dikuasai orang2 kaya/korporasi.
ADVERTISEMENT
Kalau cuma bagi2 sertifikat itu bagian dari pelayanan publik. Cukup BPN beserta lurah, camat, atau bupati/walikota. Tdk perlu presiden. Mestinya pembagian urusan/kewenangan, termasuk dlm urusan sertifikasi tanah ini dipahami oleh para penyelenggara negara.
Pertanyaannya skr, kenapa presiden hrs turun tangan secara langsung dalam urusan pelayanan publik yg seharusnya dilakukan oleh lembaga teknis spt BPN bersama penyelenggara pemerintahan di daerah?
Kemungkinan pertama, krn kinerja jajaran BPN mulai dari mentri sampai Kepala BPN di kabupaten/kota gak beres. Pengurusan sertifikat waktunya sangat lama. Rakyat tdk dipermudah, tapi malah dipersulit, dll. Shg presiden perlu turun tangan scr langsumg.
Kemungkinan kedua, ini bagian dari politik pencitraan. Dengan memanfaatkan lamanya waktu yg dibutuhkan unt mengurus sertifikat - yg itu tdk bisa dilepaskan dari kinerja BPN, kemudian dibuat skenario  presiden sbg "sinterklas" dalam urusan sertifikat. Sim salabim, sertifikasi bisa dilakukan dgn cepat dan massal.
ADVERTISEMENT
Kenapa BPN bersama Pemda tdk bisa menghadirkan pelayanan yg bagus spt itu. Kenapa kemudian hal itu bisa dilakukan oleh presiden? Dlm hal ini bkn tdk mungkin rakyat yg sdh menjadi korban krn dipersulit atau tdk mendapatkan pelayanan publik yg baik kemudian dijadikan objek permainan/pencitraan politik. Atau bisa jadi disamping bagian dari pencitraan politik juga unt menutupi kebijakan2 lain di sektor pertanahan yg semakin tdk berpihak kpd rakyat, shg 80% tanah bisa dikuasai oleh 1% penduduk. Kalau itu yg terjadi, bisa disebut pengibulan.