Dapatkah Kamu Tersenyum di Saat-saat Sulit?

kawula muda
Lika-liku dunia anak muda
Konten dari Pengguna
12 April 2017 14:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari kawula muda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menghadapi omelan berbusa plus berjilid dari bos di kantor karena membangkang pendapatnya? Diceramahi satu keluarga karena memilih untuk menjadi seorang agnostik daripada mengikuti ajaran agama warisan orang tua? Diserapahi goblok oleh tetangga se-RT sebab kamu setuju untuk tidak memilih pasangan gubernur yang berakidah sama?
ADVERTISEMENT
Saya pernah mengalami ketiga hal di atas; berhadapan dengan orang yang secara blatant menyatakan diri untuk berperang. Saya tahu, perang opini merupakan hal yang biasa.
Namun, ketika perangainya sudah mulai abusif --dengan jalan memaksakan opini yang harus setubuh dengan opini mereka-- well, it gets on my nerves.
Menurut saya, setiap pemaksaan beropini dengan cara-cara kekerasan, termasuk dengan bentuk intimidasi seperti bentakkan, ancaman,kekerasan fisik, atau segala hal yang intinya mencipta ketakutan, adalah pengejawantahan fasisme tingkat lanjut: gue yang paling bener, massa gue bertebaran, gue mayoritas, lo cuma minoritas, lo harus ikut gue, lo gak ada hal untuk bersuara, yadda yadda yadda.
Adakah orang yang dapat tetap tenang meskipun menghadapi ancaman? Jawabannya, ada. Banyak!
ADVERTISEMENT
Salah satunya ketika saya membaca berita online lewat ponsel pintar pagi ini. Tersebar sebuah foto yang begitu viral di media sosial.Tampak seorang wanita keturunan Asia yang sedang tersenyum.
Wait! Wanita-yang-tersenyum. Apa yang spesial dari wanita yang tersenyum?
Senyum wanita pada foto itu bukan senyum-senyuman belaka. Adalah Saffiyah Khan, wanita empunya senyum manis itu, dengan gaya yang super cozy menghadapi pengunjuk rasa yang terlihat sedang marah-marah.
Dilansir Mirror (10/04), Saffiyah Khan tengah membela seorang wanita Muslim yang sedang dikonfrontir oleh segerombol anggota English Defence League (EDL), kelompok haluan kanan yang terkenal super rasis, anti Islam, plus anti-imigran.
Ketika salah seorang pemimpin EDL berusaha membuncahkan tensi yang tinggi ke hadapan Saffiyah, wanita campuran Bosnia-Paskitan itu memberikan reaksi yang begitu simpel namun begitu “membunuh.”
ADVERTISEMENT
Ia merespon gertakan pengunjuk rasa bernama Ian Crossland dengan senyum yang hangat ditambah kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Ia memandangi Crossland yang ngamuk dengan begitu rileks tanpa terpancing emosi sedikit pun.
Dalam sesi wawancara dengan wartawan, ia mengaku tidak sama sekali merasa terintimidasi. Justru, sikap santai dan calm-yo-tits itulah yang membuat fotonya begitu viral.
It was just plain awesome, right? I mean, dalam dunia yang kejam seperti ini, menggerutu malah akan menambah masalah anyar. Sedangkan simpul senyum sederhana dpaat bermakna begitu banyak dan memperbaiki keadaan.
Apalagi saya, sebagai manusia yang emotionally tendentious dibanding cerebral, saya cenderung meledak ketika berhadapan dengan makhluk dua dimensi yang hidup di dalam cangkang macam begitu. Hal itu hanya memunculkan pertengkaran di luar konteks yang isinya hanya ajang ekspresi tempramen masing-masing, dari yang mulanya hanya adu bacot, kemudian bereskalasi menjadi adu jotos. Hasilnya? Akan muncul konflik baru yang lebih hebat dari yang mulanya hanya perbenturan gagasan.
ADVERTISEMENT
Lantas, bisakah saya tetap tenang ketika berhadapan dengan intimidasi dari pihak yang lebih berdigdaya? Dalam power relation antara atasan dengan staff kroco biasa, seluruh anggota keluarga dengan hanya satu anak bungsu, massa se-RT dengan satu warga, saya terlihat begitu inferior. Tersenyum tenang mustahil dapat saya lakukan. Ujung-ujungnya, kalau tidak marah balik ya, menangis.
Begitu pun dengan power relation antara kelompok EDL yang lebih dengan Saffiyah Khan, seorang Muslim dengan rupa fisik ala ala imigran yang --mau tak mau, suka atau tidak suka-- masuk ke dalam kelompok minoritas kelas dua.
Seharusnya Saffiyah adalah pihak yang inferior jika bermain mayoritas-minoritas. Namun, aksi senyum Saffiyah sama sekali tidak menunjukkan subordinasi. Senyuman hangat dan bersahabat Saffiyah telah meruntuhkan libido fasis kelompok sayap kanan EDL.
ADVERTISEMENT
Senyumnya adalah senjata yang lebih mematikan, karena dengan senyumannya itu ia tetap berdiri di atas dengan kebanggaannya sebagai Muslim, dan tetap dapat berpandangan kontra dengan ideologi usungan EDL.
See? Aksi konfrontasi EDL yang begitu powerful dan major tidak mampu mengkerdilkan political stance Safiyyah dalam memperjuangkan kepentingan kaumnya.
Belajarlah dari Saffiyah yang mampu menangani konflik dengan senyuman. Bahwa kobar api yang dibalas mentah dengan kobar api akan menyebabkan kebakaran, bukan ketenangan. Andai saja orang emosional macam saya ada di posisi Saffiyah, mana bisa saya hanya diam.
Kalau kamu ada di posisi Saffiyah yang harus berhadapan dengan sengatan fasis dari pihak yang lebih mendominasi, apa kamu masih bisa tersenyum? Atau kamu akan bilang: “O aja ya kan?"
ADVERTISEMENT