Obrolan Kawula Muda: 5 Momen Terbaik Saat Debat Pamungkas Pilkada DKI

kawula muda
Lika-liku dunia anak muda
Konten dari Pengguna
12 April 2017 23:08 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari kawula muda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Debat final pilgub DKI (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Well, are we there yet? Oke, masih ada satu minggu lagi sebelum tetek-bengek pilkada ini berakhir.
ADVERTISEMENT
Batin saya sedikit lebih tenang ketika menulis ini, sebab tulisan mengenai rangkuman Debat Pilkada DKI ini dapat menjadi indikasi konkret yang menyenangkan: SEBENTAR LAGI PILKADA AKAN SEGERA BERAKHIR!!!!
Yang artinya, kepala saya (juga kepalamu) tak perlu lagi kecapekan meresap tiap kata-kata saling hardik, saling toyor, saling adu kehebatan keyakinan masing-masing, saling pamer keunggulan paslon, bla bla bla, yang membuat kepala saya, jika diibaratkan penis yang hendak ejakulasi, sudah muncrat muatan berkali-kali.
Ooooops... Sorry for ngawang-ngawang. Namanya juga anak muda.
Okay, kembali ke topik besar hari ini, dengan sisa euforia Debat Pilkada DKI tadi malam yang masih lekat dalam benak. Saya sebagai seorang dewasa muda clueless yang apolitis, anehnya masih tetap antusias dengan urusan pilkada-pilkadaan ini.
ADVERTISEMENT
Alasannya satu: I WAS DYING TO SEE THE QUARREL! I LOVE FIGHTING!! Wekekekek!
Sayangnya, saya harus katakan, debat kemarin berlangsung begitu adem ayem meskipun Pilkada DKI tinggal menghitung hari, plus suasana dua kubu pendukung paslon yang masih saja kalap perang jempol dan adu bacot ngasih makan ego sendiri.
Namun, tampaknya debat di Hotel Bidakara tadi malam (12/04) berlangsung sangat kondusif, kalah sengit dengan debat di media sosial maupun debat skala Rukun Tetangga ataupun warkop.
Asumsi saya makin mengerucut: Jangan-jangan, yang super nyebelin dan ngajak berantem itu ya memang para pendukungnya, bukan paslonnya.
Anyway, meskipun atmosfir debat tadi malam tidak sesuai dengan ekspektasi saya akan bumbu-bumbu drama, saya akan merangkum lima momen terbaik pada Debat Pilkada DKI tadi malam. Inilah 5 momen terbaik yang masih bersisa di kepala seorang remaja tua nan apolitis macam saya:
ADVERTISEMENT
1. Djarot yang Menolak Dicium Tangannya oleh Sandi
Ini adalah salah satu golden moment Debat Pilkada DKI tadi malam. Kejadian ini berlangsung saat jeda sesi dua debat. Ketika Djarot mendatangi Anies Baswedan, keduanya saling bersalaman.
Sandi tampak ingin mencium tangan Djarot. Tapi, it comes out bahwa sebenarnya Djarot tidak begitu setuju dengan manuever Sandi yang hebak mencium tangannya. Ia pun lekas menarik tangannya.
Lain waktu mungkin bisa dicoba cipika-cipiki ya, bapak-bapak sekalian...
Djarot tertawa dengan Anies dan Sandi. (Foto: Antara/M Agung Rajasa)
Awkward moment.
Namun, bagi kalian yang menunggu 'perkelahian' dan sadar betul akan kompetisi antar keduanya pasti langsung berpikir: "Hahahaha, eat that, Sandi! Djarot aja ogah salaman!" atau "Dasar Djarot, sombong!" atau......(insert prasangka lain sesuka hati)
Namun, nyatanya hal ini malah memicu tawa kedua belah pihak. Not what you've been thinking of!
ADVERTISEMENT
Suasana hangat menyamber dua kubu saat momen tersebut terjadi. Hal ini pun didukung oleh pernyataan Djarot bahwa ia hanya tidak enak jika Sandi mencium tangannya.
Ia berpendapat, meski wajar dilakukan oleh orang yang lebih muda kepada yang lebih tua, ia menganggap bahwa Sandi adalah teman dekat dan teman diskusi yang baik dan tak perlu mencium tangannya. Ia pun tahu bahwa Sandi melakukannya dengan niat baik.
Mengutip kumparan, Djarot menganggap awkward moment tersebut sebagai proof bahwa keduanya memang tidak ada masalah apa-apa.
"Itu artinya apa? Saya dan Pak Sandi itu dekat, teman baik, diskusi baik. Sama Pak Anies juga," ungkapnya.
Now eat that, netizen!
2. Saling Mengklaim Nelayan Bagian dari Mereka.
ADVERTISEMENT
Ira Koesno saat menjadi moderator debat pilgub. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Drama kecil ini bergulir setelah perwakilan dari nelayan menyampaikan pertanyaan kepada kedua paslon. Pertanyaannya, seperti yang bisa kita duga, menyangkut tentang nasib kesejahteraan hidup nelayan dan reklamasi.
Meski dengan terbata-bata dan sempat dibantu Ira Koesno, nelayan bernama Pak Iwan ini berhasil menggelontorkan pertanyaan saktinya:
"Kami nelayan sudah tinggal di pantai Jakarta turun temurun, apakah kehidupan kami sebenarnya diakui atau tidak? Jika iya apakah kebijakan Pemerintah DKI masa depan kehidupan mereka, saya merasa program reklamasi lebih diperhatikan sementara kehidupan kami diabaikan, apakah mau menghentikan reklamasi, tolong diperhatikan?"
Kedua paslon langsung menyuarakan ajian rawaronteknya, mengingat nelayan dan reklamasi merupakan topik ultra-sensitif, apalagi bagi Ahok yang dikenal bertangan besi. Namun begitu, Ahok menyanggah labelnya sebagai pemimpin yang tidak pro nelayan.
ADVERTISEMENT
Ah yang betul...
Ahok mengatakan bahwa ia tak pernah berniat mengusir nelayan. Bahkan, reklamasi yang dilakukan bukan untuk pembangunan rumah mewah, melainkan tempat untuk nelayan bersandar, seperti tempat pengolahan ikan dan pembuatan tanggul untuk tambatan perahu nelayan
(Whoaaaa... Really, Koh Ahok? DIcatet, nih, sama para nelayan!).
Di sisi lain, Anies keukeuh dengan retorika soal "kami tolak reklamasi" and stuffs. Ia menyinggung soal reklamasi yang berefek buruk terhadap lingkungan.
Yang bikin menarik adalah respons Sandi. Ia terang-terangan "jualan janji" dengan berkata:
"Pak Iwan, jawaban saya ndak muter-muter. Bapak adalah bagian dari kami. Bapak akan diperhatikan, Bapak akan diberikan solusi untuk Bapak bisa naik kelas. Banyak sekali nelayan-nelayan yang kami temui, sekarang mengalami kesulitan. Kami memiliki program yang jelas berpihak kepada nelayan."
ADVERTISEMENT
On a serious note, saya akui kata-kata Sandi yang satu ini benar-benar menggugah perasaan nelayan dan saya.
Komentar Sandi (Foto: Rizki Amalia Octora)
Namun, tampaknya Djarot tidak mau kalah soal menggugah perasaan nelayan. Ketika diberi kesempatan bersuara, ia berkata:
"Pak Iwan dan seluruh komunitas nelayan, saya terima kasih. Pak Iwan dan semuanya adalah bagian dari kita. Betul! Karena bagian dari kita maka tidak layak nelayan hidup dengan rumah-rumah seperti itu. Kami sudah ke sana dan kemudian saya sampaikan konsepnya untuk penataan rumah-rumah tersebut termasuk juga dengan membangun TPI yang memadai......"
Here they go: Saling mengklaim bahwa mereka begitu berpihak terhadap nelayan.
Sssstttt... Sudah, ah, jangan bikin nelayan tambah galau! Jangan-jangan kalau sudah dapat otoritas, eh malah berpaling ke pangkuan investor. Huvt!
ADVERTISEMENT
Oh my, it's just me being sarcastic.
3. Anies dan Ahok Bicara Kebhinekaan dan Keadilan
Dan inilah bahasan yang paling saya nantikan. Kebhinekaan ahkirnya disinggung dalam debat, yeay!
Dengan penuh sinisme, Anies berpendapat soal Ahok yang dinilai gagal merangkul semua kalangan dan tidak berhasil menghilangkan pengkotak-kotakan di masyarakat Jakarta. Ia pun bertanya bagaimana merawat kebhinekaan dan membangun persatuan.
Ahok-Djarot dan Anies-Sandi. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
"Ini kebetulan Pak Anies belum pernah jadi bupati, DPR, saya bupati yang komunitasnya beragam, di Belitung Timur ketika pilkada suasananya mirip. Ancaman tidak mensolatkan orang juga ada di kampung saya."
Ini agak deep, sih, menurut saya. Anies agak blunder jika menyinggung perihal kebhinekaan. Jangan sekali-kali tanya kebhinekaan sama Ahok. He's been through it very hard, right?
ADVERTISEMENT
Minoritas adalah musuh bebuyutan mayoritas di Jakarta, dan seluruh warga Indonesia harusnya sudah tahu, pihak mana yang sering diintimidasi dan dicoba 'diseragamkan'.
Apalagi, Ahok sudah menelan pil pahit sebagai seorang pemimpin dari etnis dan agama minoritas yang salah ngomog sedikit saja sampai dikirim ke pesakitan.
Anies, yang lebih suka menggunakan term "persatuan" tidak lagi mencoba menyinggung soal kebhinekaan. Bisa-bisa mati kutu dia!
Mungkin, ia tahu betul pendukungnya sebagian besar hanya merepresentasikan satu kalangan saja (Ia tidak bisa mengutak-atik fakta tentang dominasi satu kalangan yang mendukungnya, bisa-bisa kehilangan banyak suara, tuh!)
Kini, Anies mencoba untuk shifting topics dari kebhinekaan menjadi keadilan. Ia ber-statement:
"Hari ini ada terkotak-kotak, ada sekat-sekat. Gubernur jembatan komunikasi. Memebereskan ketimpangan yang bekerja dengan yang tidak. Yang sekolah dengan tidak. Rasa adil bukan di kata-kata, tapi di programnya, di kegiatannya,"
ADVERTISEMENT
Raut wajah Ahok berubah menjadi lebih masam mendengarnya. Ia kemudian menanggapi:
"Saya kira Pak Anies kurang terinformasi di Jakarta, siapa bilang Jakarta tidak adil? PBB Rp 1 miliar tidak bayar, BPHTB Rp 2 miliar tidak bayar. Jadi ini yang saya sampaikan, di mana yang tidak adilnya? orang bisa rasakan KJP, siapa saja beli daging Rp 35 ribu siapa, naik bus tidak bayar siapa, kesehatan siapa?"
Wajah Anies segera mengernyitkan keheranan. Ia tak setuju soal Ahok yang mengklaim dirinya sudah adil. Menurutnya, kawasan yang tak jauh dari Balai Kota, tempat sang Gubernur berkantor, masih ada kesenjangan sosial yang sangat jelas.
"Unik jika berkata Jakarta sudah adil. Pak Basuki, coba datanglah ke kampung-kampung. Ke Krukut, 4 kilometer dari Balai Kota. Bahwa, Pak Basuki sudah melakukan program a b c d, tapi hasilnya keadilan masih belum hadir," ujar Anies menyindir jawaban Ahok. Zap! Right in the feels!
ADVERTISEMENT
Menurut saya, topik inilah yang paling panas bergulir. Saya kira keadaan akan lebih memanas lagi sebab mereka secara simultan saling sindir-menyindir. Sayangnya, durasi debat-lah yang akhirnya berkuasa di arena ring tinju itu. Suasana panas tidak lagi berlanjut.
Huh, too bad......
4. Permintaan Maaf Ahok dan Anies, Bukti Debat Bebas Konflik
Ahok menutup debat dengan pernyataan yang mengejutkan saya. Sempat saya bertanya ulang pada diri sendiri: apa saya sedang nonton sinetron? Tidak biasanya saya melihat Ahok yang melunak dan meminta maaf di depan kamera secara live.
Tak disangka-sangka, ia pun meminta maaf kepada paslon yang gugur terlebih dahulu di putaran satu.
"Pertama saya sampaikan bersama dengan Pak Djarot kepada Pak Agus dan Ibu Silvy beserta keluarga dan pasangan nomor tiga Anies-Sandi beserta keluarga."
ADVERTISEMENT
Ahok dengan gamblang meminta maaf jika dalam kampanye kemarin ia banyak menyebutkan jawaban mengenai program-program yang telah mereka terapkan di Jakarta selama masa kepemimpinannya.
Ia pun meminta maaf karena, sebagai petahana, mereka sering mengeluarkan apa yang dikerjakan seolah-olah olah menihilkan apa yang telah dilakukan pasangan 1 dan 3.
Ia pun mengaku bahwa tak ada satu pun maksud meledek pasangan lain. Ia membela diri bahwa sebagai dirasa dapat berbicara lebih banyak soal program dan fakta lapangan yang telah bergulir di Jakarta.
Anies pun meminta maaf kepada pihak yang terasa disakiti dalam proses pemilihan gubernur ini. Ia berjanji bahwa semua program dari pendahulunya akan tetap dilanjutkan secara efektif, bahkan lebih efektif.
ADVERTISEMENT
Djarot pun siap jika ia dan Ahok harus menyerahkan kursi kepada Anies-Sandi. Hal yang pertama akan dilakukan adalah menelepon Anies-Sandi, kemudian mengajak mereka berbicara demi membangun rencana Jakarta yang lebih baik. Pilgub ini adalah pesta demokrasi warga Jakarta, katanya.
5. After All, Debat Berlangsung Terlalu Ramah!
Sandi dan Djarot dalam debat pilgub putaran 2. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Semua sepakat kalau Debat Pilkada kemarin benar-benar lebih adem ayem tanpa gontok-gontokkan yang berarti, bukan?
Jika kalian rutin mengecek medsos, beberapa warganet mengeluhkan betapa menjenuhkannya debat kali ini karena mereka sama seperti saya: sama-sama mengharapkan drama yang meletup-letup.
Sayangnya, hingga debat berakhir sekitar pukul 10 malam, letupan drama itu tidak kalian temukan, saudara-saudara. Mengapa? Karena kedua paslon sama-sama duduk manis dalam zona tenangnya masing-masing. Tak ada yang lebih dulu memancing keributan atau menggelitik syaraf emosi.
ADVERTISEMENT
Semua berjalan begitu ramah dan patuh terhadap komitmen debat, tidak ada yang ngotot menyela saat paslon lain sedang berbicara (Ingat saat debat putaran pertama?). Tidak ada yang keukeuh ngomong saat sudah overtime.
Tidak ada provokasi dan sindiran yang menyinggung ranah-ranah pribadi. Intinya, tidak ada penyerangan yang berarti.
Saya pun salut kepada Anies Baswedan. Anies, yang biasanya tampil dengan retorika yang begitu berapi-api dan agresif saat menyerang, nyatanya tampil agak jinak pada debat kal ini. Hal ini pun mungkin berefek kepada pasangan Ahok-Djarot yang cenderung tampil datar.
Salah satu oenyoe moment pun terjadi. Setelah puas beradu argumen selama berjam-jam, kedua paslon saling bermaaf-maafan dan bersalaman seraya menebar senyum bersahabat.
ADVERTISEMENT
Terlihat kembali Cawagub nomor urut dua, Djarot merangkul Cagub dan Cawagub nomor urut tiga, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Para pendukung pasangan masing-masing calon juga keluar dengan ramah dan tenang.
Man, that's sweet! (But why didn't you get of each other's nerve for drama sake? Hehe, tetep!)
All the world is a stage, right? Kita enggak pernah tahu apakah senyum manis dan permintaan maaf yang hangat tadi malam itu benar-benar tulus atau sekadar dramaturgi apik demi mem-framing citra kedua paslon yang cinta damai.
Ahok dan Anies bersalaman usai saling serang (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Well, itulah 5 momen terkait Debat Pilkada DKI yang paling berkesan di hati saya.
Meskipun agak menyesalkan debat yang berlangsung datar dan minim konflik, bukan berarti saya senang perpecahan, lho! Saya lebih senang melihat mereka adu bacot soal program demi membangun Jakarta, dibanding dipusingkan dengan adu bacot sampah antar kedua belah pihak pendukung. Setuju, kan?
ADVERTISEMENT
Daripada ikut emosi melihat tingkah dan ucapan fanatik dari kedua paslon yang menghina agama dan etnisitas masing-masing, meremehkan akal sehat bawa-bawa nama Tuhan, atau saling fitnah demi menimba simpatik yang lebih besar, lebih baik berantem soal visi-misi, toh?
Hehe. Saya ini katanya apolitis, ya, tapi peduli juga soal beginian. Merendah untuk meroket, lah! Setidaknya kalau sudah menyangkut akal sehat, saya tak mau jadi budak egoisme semata.
Makanya, di awal tulisan, saya berharap pilkada ini SEGERA BERAKHIR agar kepala saya lebih adem ketika buka medsos atau baca grup WhatsApp keluarga.
Akhir kata, siapa pun pilihan kalian tanggal 19 April nanti, banggalah akan satu hal: ketika kalian menjalankan pesta demokrasi in dengan cara bersih, kalian adalah pemenangnya!
ADVERTISEMENT
Lagipula, siapa pun gubernur yang terpilih, kita tidak akan pernah tahu siapa admin Lambe Turah.