Pameran Memory of the World: Panji – Diponegoro – La Galigo

KBRI Den Haag
Akun Resmi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda
Konten dari Pengguna
24 Mei 2019 23:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KBRI Den Haag tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pameran Memory of the World: Panji – Diponegoro – La Galigo
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja, menghadiri pembukaan pameran Memory of the World: Panji – Diponegoro – La Galigo, yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Universitas Leiden (UBL). Acara dilangsungkan di Ruang Vossius, UBL, Kamis, 23 Mei 2019, pukul 16.00, dihadiri oleh sekitar 40 tamu undangan. Andree van Es, Ketua UNESCO Komisi Belanda, membuka acara sore itu, disusul dengan pemaparan mengenai pentingnya tiga naskah UNESCO di Leiden oleh Roger Tol, mantan pustakawan KITLV-Jakarta.
Usai pertunjukan tari topeng Panji oleh kelompok tari Jawa Kuwung-kuwung, kurator Asia Selatan dan Tenggara UBL, Doris Jedamski, memberi paparan mengenai pameran Memory of the World: Panji – Diponegoro – La Galigo. Selanjutnya, para tamu dipersilahkan menyaksikan pameran naskah-naskah Panji, Diponegoro, dan La Galigo, koleksi UBL, di Ruang Eksposisi. Pameran Memory of the World: Panji – Diponegoro – La Galigo akan berlangsung hingga 1 September 2019.
Manuskrip Panji, otobiografi Pangeran Diponegoro, dan epos La Galigo, termasuk karya sastra paling menginspirasi dari Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Ketiganya memiliki arti penting bagi sejarah sastra dan budaya Asia Tenggara, sehingga dimasukkan dalam Memory of the World Register of UNESCO. Pameran Memory of the World: Panji - Diponegoro - La Galigo difokuskan pada konten, fungsi, dan penggunaan naskah.
ADVERTISEMENT
Kisah-kisah Panji meraih popularitas di seluruh Asia Tenggara pada abad ke-14 dan ke-15, dan menandai langkah penting dalam pengembangan sastra Jawa. Kronik Pangeran Diponegoro (1785-1855) ditulis selama pengasingannya di Sulawesi Utara. Sedangkan manuskrip La Galigo, yang tebalnya 6.000 halaman, ditulis pada abad ke-19 dan ke-20 dari tradisi lisan Bugis kuno. La Galigo dicatat dalam aksara khas Sulawesi Selatan dan dianggap sebagai epik mitos paling komprehensif di dunia.