news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Perspektif Harus Skeptis

Keizya Ham
Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara
Konten dari Pengguna
1 Desember 2021 17:37 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Keizya Ham tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi berpikir. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi berpikir. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Perspektif atau cara pandang masyarakat menentukan kualitas suatu negara. Hal ini dilihat dari bagaimana masyarakatnya menanggapi sebuah peristiwa atau permasalahan yang terjadi dalam negaranya. Bersikap skeptis merupakan kunci agar tidak mudah terjerumus ke dalam hal yang salah. Maka dari itu, memiliki perspektif yang skeptis berarti bahwa cara seseorang memandang sesuatu harus dipertimbangkan dari segala sisi dan tidak langsung mengambil konklusi.
ADVERTISEMENT
Negara Indonesia memiliki 273,5 juta jiwa yang tersebar di 17.000 pulau. Namun, di balik angka tersebut terdapat sebanyak 157.000 anak Indonesia yang putus SD hingga SMA. Sementara itu, untuk dapat mempertimbangkan perspektif tersebut tentunya dibutuhkan cara berpikir yang kritis pada setiap orang melalui pendidikan yang berkualitas.
Era globalisasi yang menuntut semua orang untuk menggunakan teknologi merupakan hal yang tidak bisa dihindari, terutama di pandemi Covid-19 ini yang mengharuskan semua orang untuk mengakses internet dengan menggunakan gawai. Keberadaan teknologi yang berkembang pesat di zaman ini tentunya memberikan sejumlah dampak positif yang menguntungkan keberlangsungan hidup banyak orang. Salah satunya adalah hiburan media dan segala informasi dari yang penting hingga yang tidak penting.
ADVERTISEMENT
Namun, segala sesuatu tentunya mustahil untuk tidak memiliki sisi pahit. Berkembangnya teknologi demi mendorong generasi muda untuk menjadi pemimpin bangsa justru dapat dikatakan sebagai perusak pandangan mereka mengenai berbagai aspek kehidupan dan hal ini merupakan sesuatu yang ironis.
Dengan demikian, mengapa dan dari sisi mana teknologi menjadi oknum implisit perusak generasi muda?
Orang Indonesia menghabiskan kurang lebih 3-8 jam sehari menggunakan media sosial, mengakses internet, dan menonton televisi. Dari hal itu, sudah pastinya mereka mengkonsumsi segala konten yang tersedia dalam media tersebut. Di masa kini, berbagai tokoh figur dan selebriti dikatakan sebagai role model atau sebagai orang yang dicontoh. Akan tetapi, dengan berbagai fenomena peristiwa yang kita ketahui akhir-akhir ini, apakah mereka sepenuhnya layak mendapatkan label tersebut?
ADVERTISEMENT
Kehidupan selebritas yang seringkali ditampilkan nyatanya memancing ketertarikan kita untuk hidup mewah seperti mereka dan bahkan menjadikannya sebagai panutan. Sebagai seseorang yang aktif menggunakan media sosial, bukan sesuatu yang dipertanyakan lagi bahwa mereka juga memperlihatkan aset-aset kekayaan yang dimilikinya melalui akun pribadinya.
Terlebih dari itu, segala konten yang menghiasi siaran televisi masa kini lebih mengutamakan unsur hiburan seperti gosip selebriti, sinetron, tempat makan, dan tempat wisata yang dirasa tidak terlalu memberikan manfaat bagi para pemuda. Hal ini menjadi sesuatu yang tidak relevan bagi perkembangan generasi muda di masa kini. Kurangnya konten yang mengandung unsur edukasi atau mendidik merupakan salah satu faktor masyarakat Indonesia memiliki cara pandang yang mengalami keterbelakangan. Apakah hanya dengan menampilkan seluk-beluk kehidupan selebriti, tren busana, dan makanan yang sedang populer dapat memenuhi pengetahuan mereka di masa depan? Selain itu, tentu saja tidak semua orang juga dapat menikmati konten tersebut.
ADVERTISEMENT
Perlunya kesadaran dalam memilih konten yang dikonsumsi adalah awal dari terwujudnya perubahan positif ini. Masyarakat Indonesia yang masih menikmati televisi sebagai media hiburan lebih memilih konten tersebut sehingga tingkat minatnya tinggi dan terus ditayangkan. “Masalah ini masih menjadi permasalahan bagi kualitas penyiaran di Indonesia. Pembagian rating saat ini tidak merata karena semakin banyaknya lembaga penyiaran. Pola tayangan selalu mengikuti tren yang terjadi semisal tren tayangan mistik maka di beberapa tayangan menyelipkan adegan mistik juga,” ucap Muhammad Yusup, Asisten Ahli Komisioner KPI Pusat.
Segala informasi yang mudah diakses baik dalam negeri maupun luar negeri menguji kepercayaan mereka terhadap suatu informasi. Berita hoaks yang beredar di internet dan media sosial dengan cepat dan luas dapat menjadi pemecah keutuhan bangsa jika tidak dipahami dan dicermati dengan baik. Berdasarkan hasil survei Katadata Insight pada 2020, setidaknya ada sebanyak 30% sampai hampir 60% orang Indonesia terpapar hoaks mengenai isu politik, agama, dan kesehatan di media sosial. Bagaimana mereka menanggapi hal tersebut memengaruhi persatuan bangsa di masa mendatang sebagai generasi yang dominan. Namun, nyatanya banyak orang yang pemikirannya sudah terpengaruh karena hoaks yang beredar di lapak yang sering mereka kunjungi.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa yang seharusnya dilakukan oleh generasi penerus bangsa?
Para pemuda yang akan menjadi generasi penerus bangsa memiliki kewajiban utama untuk menimba ilmu. Namun, untuk menyesuaikan dengan zaman dan tidak kalah bersaing di masa depan mereka juga menggunakan teknologi untuk berselancar dalam internet dengan tujuan memperluas wawasan dan memenuhi segala kebutuhan pengetahuannya. Selain itu, tidak bisa disangkal bahwa mereka juga memanfaatkan media sosial untuk menambah relasi dengan orang lain.
Sebagai manusia yang masih berkembang secara fisik dan mental, tentunya untuk bersikap skeptis dan menggunakan pola pikir untuk menyaring apa yang dikonsumsi merupakan sebuah tantangan yang tidaklah mudah. “Yang dilihat adalah yang dicontoh” merupakan kata-kata yang sekiranya mendeskripsikan mayoritas anak muda penikmat teknologi tersebut. Akan tetapi, jangan sampai pengaruh teknologi ini menjadikan para pemuda sebagai pemikir yang bersumbu pendek dan sempit yang hanya melihat dari satu sisi saja.
ADVERTISEMENT
Harapan yang diinginkan bangsa ini di masa depan agar dapat menjadi lebih maju adalah pemuda yang berwawasan luas dan memiliki perspektif yang skeptis melalui pendidikan yang berkualitas serta konten edukasi melalui media sehingga tidak mudah terpengaruh dengan segala benih-benih pemecah bangsa. Jangan hanya mencontoh dan mengikuti hal-hal yang sedang mengalami tren, tetapi juga harus bisa membedakan yang bermanfaat dan tidak.
Sumber data:
http://www.kpi.go.id/index.php/id/umum/38-dalam-negeri/34988-mahasiswa-unbraw-nilai-tayangan-tv-belum-sepenuhnya-mendidik
https://www.beritasatu.com/digital/700917/survei-kic-hampir-60-orang-indonesia-terpapar-hoax-saat-mengakses-internet