Hikayat Pancuran Bambu

Kelik Novidwyanto Wibowo
Sejak kuliah telah menekuni dunia penulisan baik sebagai penulis maupun penyunting. Menyelesaikan studi S-1 di jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan, di Kota Jogja. Tahun 2021, menempuh studi Magister Manajemen di UST, Yogyakarta.
Konten dari Pengguna
5 Mei 2021 13:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kelik Novidwyanto Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak setiap hari, kadang hanya ketika akhir pekan aku menggandeng anak perempuanku, Icha, menyusuri pematang sawah di pinggiran Kabupaten Magelang sebelah utara. Kaki-kaki kecilnya kerap terpeleset lumpur sawah atau menyaruk tanaman perdu. Matanya sembab tapi tawanya meledak. Langkahnya lincah melompati onggokan semak, jerami atau tunas pohon pisang yang tumbuh melintang.
ADVERTISEMENT
“Masih jauh yah, pancurannya?” tanyanya tak sabaran. “Sebentar lagi,” sahutku.
Tak sampai sepuluh menit, kami tiba di tempat tujuan. Gemercik air terdengar riuh dari pancuran bambu yang terpancang di ujung undakan sawah. Orang-orang Bali menyebutnya terasering. Pancuran bambu itu menampung aliran sungai kecil yang tersembunyi di balik bukit. Aliran airnya mengular di sela padas dan pakis-pakisan. Konon hulu sungainya berada di lereng gunung Sumbing. Entah benar atau tidak, yang jelas airnya bening, tak pernah surut.
Air menyiprat ke mana-mana ketika tangan kecil anak wedhok itu memainkan ujung pancuran. Menutup lubangnya lalu melepasnya tiba-tiba. Pyarrr! Debit air yang tertahan sekejap menyeruak ke udara. Seluruh bajunya basah kuyup. Aku mendelik, Icha malah tertawa-tawa kegirangan. Iya, pancuran bambu itu telah menjadi karibnya.
ADVERTISEMENT
Jika dilihat kasat mata, pancuran itu sudah cukup tua. Terbuat dari lonjoran bambu yang dilubangi buku-bukunya. Ruas-ruasnya masih cukup kokoh menopang debit air yang menggelontor di tiap rongganya. Bambu atau eru atau buluh, tumbuh dengan cara merumpun, menyebarkan perakaran dan rizomanya di bawah tanah.
Konon mempunyai laju pertumbuhan tertinggi di dunia, dapat tumbuh 100 cm dalam sehari. Sayangnya kebanyakan bambu jarang berbunga walaupun sanggup berumur ratusan tahun.
Pancuran bambu di pedesaan/Dok. Kelik Novidwyanto
Lepas dari kondisi fisiknya, pancuran bambu telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakat sekitar. Melalui sosoknya yang ringkih, pancuran bambu telah mengairi berhektare-hektare sawah.
Memberi sedikit tambahan udara bagi para petani untuk bernapas. Namun filosofi pancuran bambu yang sesungguhnya adalah tentang kejujuran dan keteguhan. Dapatkah ia membawakan sesuatu "yang sama", tanpa ditambah dan dikurangi, dari hulu sampai ke hilirnya.
ADVERTISEMENT
Ibarat sebuah informasi yang akurat dan transparan sejak dari sumbernya sampai kepada masyarakat. Atau wujud transparansi anggaran dari pengelola pemerintahan sampai kepada rakyatnya.
Hari menjelang senja, aku mencongok bau udara sembab. Sepertinya hujan sebentar lagi jatuh. Di langit, burung-burung terbang membentuk formasi penaka menutup gunung Sumbing di kejauhan. Kawanan itu hendak pulang ke sarang, bersua keluarga tercinta. Sekejap aku menggamit tangan Icha, berlari kecil-kecil, sesegera mungkin kembali ke rumah yang hangat.