Mudik Repot, Tak Mudik Rindu

Kelik Novidwyanto Wibowo
Sejak kuliah telah menekuni dunia penulisan baik sebagai penulis maupun penyunting. Menyelesaikan studi S-1 di jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan, di Kota Jogja. Tahun 2021, menempuh studi Magister Manajemen di UST, Yogyakarta.
Konten dari Pengguna
10 Mei 2021 12:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kelik Novidwyanto Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana Jalan Abu Bakar Ali Jogja menjelang arus mudik lebaran 2021/ Dok. Kelik Novidwyanto
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Jalan Abu Bakar Ali Jogja menjelang arus mudik lebaran 2021/ Dok. Kelik Novidwyanto
ADVERTISEMENT
Karena larangan pemerintah di tahun 2021 ini, tradisi mudik lebaran menjadi sesuatu yang dramatis sekaligus nyentrik. Satu keluarga asal Gombong, Jawa Tengah nekat berjalan kaki sejauh nyaris 300 km ke Soreang, Kabupaten Bandung demi bersua keluarganya.
ADVERTISEMENT
Ada juga yang sembunyi di truk sayur, menyamar jadi ojek online, nyewa travel gelap, sampai membayar tes antigen. Pokoknya semua cara dilakukan agar bisa merayakan lebaran di kampung halaman.
Dramatisasi mudik tergambar jelas dalam wajah rombongan pemudik vis a vis dengan para petugas di titik-titik pos pengamanan dan penyekatan. Mereka laiknya dua kubu yang hendak berduel mempertahankan kehormatannya masing-masing.
Pemudik didorong kerinduan berlarut-larut untuk bersua handai tolan, mempunyai energi berlebih untuk merangsek maju dan menjebol titik-titik penyekatan yang dijaga polantas dan polisi pamong praja. Petugas yang selalu berdalih “hanya melaksanakan tugas”, mau tak mau harus bergeming sampai batas kesanggupan mereka bertahan.
Kenapa para pemudik begitu ngotot pulang ke kampung halaman? Padahal jelas-jelas aturan larangan mudik dari tanggal 6-17 Mei 2021 diambil untuk melindungi keselamatan mereka sendiri. Walaupun telah mengantongi surat keterangan negatif COVID-19, bukan menjadi jaminan bahwa di perjalanan atau di kampung halaman mereka bakal aman.
ADVERTISEMENT
Menurut Bandung Mawardi dalam “Sastra Merayakan Mudik” di laman Kabut Institute, mudik adalah tradisi besar dalam perspektif agama, sosial, ekonomi, dan kultural di Indonesia.
Tradisi ini menjadi hajatan kolektif dengan sekian kerepotan, pengorbanan, taruhan, pamrih, dan risiko. Mudik dalam pengertian kembali atau pulang niscaya mengandung jejak-jejak historis dan biografis dengan kompleksitas kisah: Tragedi, komedi, atau tragis-komedi.
Dalam tulisannya, Bandung Mawardi menukil drama mudik dalam sudut pandang para sastrawan. Tak kurang dari Putu Wijata, Yudhistira ANM Massardi, Mustofa W. Hasyim sampai Umar Kayam mengambil kisah-kisah mudik sebagai narasi apik dalam karya-karya mereka. Salah satu kisah paling apik sekaligus mengenaskan menurut saya, muncul dalam cerpen "Mudik" karangan Mustofa W. Hasyim. Cerpen ini mengisahkan kehidupan keluarga miskin Joko di Jakarta yang harus berjibaku dengan keadaan untuk bisa mudik. Lazim terjadi, keluarga miskin harus menelan pil pahit gagal mudik karena masalah uang.
ADVERTISEMENT
Keluarga Joko gagal mudik karena tak ada uang. Uang simpanan mereka habis karena sebelum bulan puasa Joko sakit tifus dan anaknya sakit demam berdarah. Pertarungan niat untuk mudik dan ketiadaan uang itu menimbulkan ketegangan miris dan keputusasaan.
“Persetan dengan mudik!” teriak Joko. “Tapi, Mas, Mudik adalah lambang keberhasilan kita di rantau.” “Jadi kalau kita tidak mudik berarti kita gagal hidup di rantau?” “Ya, Mas. Kita dianggap ampas, sudah habis....”
Iya, definisi mudik tidak sekadar sebagai kegiatan para perantau atau pekerja migran untuk pulang ke kampung halamannya menjelang Lebaran. Mudik adalah tradisi yang tumbuh sebagai simbol kesuksesan dan harga diri bagi para perantau.
Lalu bagaimana dengan tradisi mudik tahun ini? Rasanya telah terjadi pergeseran istilah “pulang malu tak pulang rindu” menjadi “mudik repot tak mudik rindu”. Banyak orang yang sesungguhnya niat pulang kampung, mempunyai cukup uang, plus sudah kangen dengan sanak saudara. Namun larangan mudik dari pemerintah menjadi “batu sandungan” baru yang merepotkan.
ADVERTISEMENT
Dorongan psikologis untuk bersua handai tolan di kampung halaman, bertemu dan melepas rindu dengan orang-orang yang mereka sayangi lebih besar damage-nya dibanding berita melonjaknya angka kematian akibat COVID-19 di India. Ketakutan mati karena COVID-19 hanyalah ngoyo woro (berlebihan). Mereka lebih khawatir kalau tak mempunyai kesempatan melepas rindu dengan sanak saudara sebagai rabuk nyowo (pupuk nyawa yang memperpanjang hidup) dan sistem imunitas alami.
Para pemudik menganggap aturan pemerintah yang melarang aktivitas mudik lebaran telah mencederai hak-hak sosial mereka, mengangkangi kebutuhan psikologis mereka untuk bersua sanak sodara. Masalah hidup-mati karena COVID-19 bukan menjadi alasan untuk melarang tradisi rutin yang telah mengakar sekian lama. Maka, mau tak mau drama kucing-kucingan antara pemudik dan petugas pengamanan di pos-pos penjagaan akan terus mewarnai layar kaca dan laman media online tanah air.
Pemudik sepeda motor memadati jalur pantura Karawang, Jawa Barat, Senin (10/5). Foto: M Ibnu Chazar/ANTARA FOTO