Menyikapi Pro-Kontra Wacana Pariwisata Halal di Banyuwangi

Kementerian Pariwisata
Akun Resmi Kementerian Pariwisata
Konten dari Pengguna
2 Juli 2019 9:51 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kementerian Pariwisata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
I Gde Pitana. Foto: Dok. Kemenpar RI
zoom-in-whitePerbesar
I Gde Pitana. Foto: Dok. Kemenpar RI
ADVERTISEMENT
Pariwisata halal sedang dikembangkan di Banyuwangi. Sebagian pihak yang kontra, menyebut hal tersebut sebagai Arabisasi. Namun, Guru Besar Ilmu Pariwisata di Universitas Udayana Bali, I Gde Pitana, memberikan penjelasan detail mengenai konsep pariwisata halal. Ia berharap masyarakat memahaminya. Sehingga tidak terjadi lagi kesalahpahaman.
ADVERTISEMENT
Untuk urusan pariwisata, I Gde Pitana adalah jagonya. Ia bukan hanya menguasai ilmu dan teori pariwisata. Pitana pun telah mengabdi sekitar 14 tahun di Kementerian Pariwisata (Kemenpar). Jabatan terakhirnya adalah Deputi. Pitana mengabdi di Kemenpar sejak tahun 2005 saat Menteri Pariwisata dipercayakan pada Jero Wacik, kemudian berpindah ke Mari Elka Pangestu, dan juga sempat di bawah komando Arief Yahya.
Menurut Pitana, pengembangan pariwisata halal sama seperti pengembangan wisata kuliner, vegetarian, dan sejenisnya. Hal itu dikenal sebagai extended product.
“Sama seperti program-program lainnya, pariwisata halal berorientasi ke pasar. Karena pasarnya ada dan itu tidak bertentangan dengan etika, undang-undang, ataupun agama. Jadi wajar saja bila pariwisata halal diprogramkan oleh Kemenpar. Sama seperti halnya pengembangan pariwisata vegetarian, kuliner, dan apa pun bentuknya. Itu masuk dalam extended product,” papar Pitana, Minggu malam (30/6).
ADVERTISEMENT
Dijelaskannya, hal pertama yang akan dicari wisatawan adalah destinasi. Dan mereka akan mencari destinasi terbaik seperti Bali atau Lombok. Sesampainya di destinasi, para wisatawan akan mencari segala sesuatu sesuai kebutuhan mereka.
“Setelah sampai di destinasi itulah, mereka akan mencari kebutuhan mereka. Misalnya ada wisatawan yang vegetarian, kita siapkan kuliner vegetarian, ada wisatawan yang butuh babi guling kita siapkan. Jika ada ada wisatawan yang butuh makanan halal sesuai dengan keyakinan, ya kita siapkan makanan yang halal. Jadi, dia sejajar dengan produk-produk lain sebagai extended product,” jelasnya.
Sebagai orang yang sangat menguasai pariwisata, Pitana tidak sembarangan memberikan contoh. Ia mengingatkan saat Raja Salman dari Arab Saudi berkunjung ke Bali.
I Gde Pitana. Foto: Dok. Kemenpar RI
Saat itu, Raja Salman bukan mencari pariwisata halal. Tapi, mencari Bali sebagai destinasi. Tetapi setelah di Bali, Raja Salman membutuhkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan keyakinan beliau. Seperti makanan yang halal, tempat ibadah, dan produk-produk halal lainnya.
ADVERTISEMENT
Kehadiran Raja Salman, tidak menjadikan Bali sebagai destinasi pariwisata halal. Tapi, Bali memiliki extended product berupa pariwisata halal.
“Hal yang sama dilakukan di Banyuwangi. Kalau ada pasar seperti itu, Pemda Banyuwangi harus menyiapkan apa yang dibutuhkan oleh pasar. Tidak berarti Banyuwangi menjadi destinasi wisata halal. Tetapi Banyuwangi akan memiliki extended product berupa pariwisata halal,” jelasnya.
I Gde PItana yang beragama Hindu, mengaku sering ke Banyuwangi. Di sana, ia kerap kali melakukan perjalanan religius ke beberapa tempat yang berhubungan dengan sejarah orang Bali. Atau sesuai dengan keyakinan orang Bali yang beragama hindu, misalnya Pura Blambangan, Alas Purwo, pemandian Gunung Raung, dan lainnya.
“Pengalaman saya pribadi dan teman-teman lain, sama sekali tidak mendapatkan hambatan untuk melakukan pilgrimage, atau bahasa Balinya tirtayatra di Banyuwangi. Jadi saya melihat langsung istilah 'untuk melakukan Arabisasi kemudian akan mematikan Hindu', saya tidak melihatnya sebagai kebenaran,” papar Pitana.
ADVERTISEMENT
Saat melakukan tirtayatra ke Alas Purwo, Pura Blambangan, atau ke Pecandian Petirtaan di Kaki Gunung Raung, Pitana juga tidak menemui masalah.
Ilustrasi produk halal. Foto: Munady
“Masyarakat sangat welcome dengan kami. Teman-teman beragama Islam bahkan mengantarkan kami ke pemandian di Glenmor. Dan mereka dengan senang hati melakukannya. Karena itu menjadi bagian dari pariwisata religius dalam hal ini Hindu. Dan bermanfaat bagi masyarakat setempat,” ujarnya.
Pitana juga menegaskan jika program pariwisata halal dan yang lainnya, merupakan program atas permintaan pasar dan didasarkan potensi lokasi.
“Jadi seperti ini, kalau misalnya daerah seperti Bali tidak bisa di-brand dengan pariwisata halal dan syariah. Dan saya juga menentang kalau Bali menjadi destinasi halal. Tetapi, sebagai tuan rumah yang baik, jika teman-teman Muslim datang ke Bali, kita akan siapkan amenitas sesuai kebutuhan mereka. Kalau ada teman-teman dari India, kita juga siapkan amenitas sesuai kebutuhan mereka. Seperti tidak memakan daging sapi, atau kita siapkan makanan vegetarian,” katanya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, sebagai destinasi kita tidak boleh mengutamakan satu produk. Tapi, harus merangkul semua pasar. Pasar apa pun yang datang harus diterima dengan baik, dilayani dengan baik. Dengan catatan, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, kebudayaan, dan lainnya.
Dijelaskannya, hal itu tercantum dalam dasar-dasar pengembangan destinasi yang disebut dengan 3A. Namun, landasan kriterianya sudah dikembangkan sejak tahun 90-an dan dikenal dengan sapta pesona.