Anak-anak di Sultra Masih Jadi Tren Pelaku Kejahatan Asusila

Konten Media Partner
6 Agustus 2020 15:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengecekan kedisiplinan warga binaan LPKA Kelas II Kendari. Foto: Geraldy Rakasiwi/kendarinesia.
zoom-in-whitePerbesar
Pengecekan kedisiplinan warga binaan LPKA Kelas II Kendari. Foto: Geraldy Rakasiwi/kendarinesia.
ADVERTISEMENT
Jumlah kasus asusila yang dilakukan oleh anak-anak masih terbilang tinggi di Sulawesi Tenggara (Sultra). Khususnya era dimana pengaruh teknologi dalam pembentukan karakter begitu kuat saat ini.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh, adalah kasus kriminalisasi yang menjerat seorang pelajar berinisial DA (16) yang tega mencabuli anak dibawah umur 4 tahun di Kelurahan Landono Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan pada tanggal 6 Juli lalu.
Tentunya hal ini menjadi suatu fenomena yang harus dikaji mendalam. Dimana hal tersebut adalah tanggung jawab seluruh elemen masyarakat untuk membentuk kembali mindset berpikir para kalangan milenial.
Senada dengan ulasan tersebut, tim kumparan/kendarinesia pun menemukan fakta penting bahwa di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Kendari, diketahui hampir 50 persen warga binaan terbelit kasus tindakan asusila.
Hal itu diungkapkan langsung oleh Kepala LPKA Kelas II Kendari, Akbar Amnur.
"Hampir mayoritas kasus yang menjerat warga binaan disini itu terkait tindakan asusila. Selebihnya itu pencurian dan lain sebagainya," ungkapnya saat ditemui diruangannya, pada Kamis (6/8).
ADVERTISEMENT
Sementar itu, menurut Psikolog anak, Nurhaeni Haeba menjelaskan. Ada dua faktor penyebab anak mampu mengaplikasikan tindakan kriminal. Yaitu faktor internal dan eksternal.
"Tentunya yang paling berpengaruh itu faktor eksternal. Baik lingkungan pergaulan maupun pola asuh orang tua lah yang menjadi kunci utama dalam pembentukan karakter seorang anak" jelas Nurhaeni.
Kepala LPKA Kelas II Kendari, Akbar Amnur. Foto: Geraldy Rakasiwi/kendarinesia.
Disisi lain ia pun menjelaskan bahwa hal terpenting dalam memprotect tumbuh kembang anak adalah dengan menjaga komunikasi khususnya dilingkungan keluarga.
Ia menjelaskan, fenomena yang terjadi saat ini yaitu adanya tren percepatan pengetahuan dari seorang anak melebihi tingkat kematangan emosi. Yang pada dasarnya tidak memperoleh pendampingan dari orang tua, baik komunikasi dan lain sebagainya.
"Karena perkembangan teknologi juga adalah satu pengaruh terhadap perkembangan anak. Dimana saat ini kita tahu akses begitu luas hanya dengan menggunakan gadget, dan mungkin lingkungan sosial juga tidak ada yang mengawasi," tambahnya.
Psikolog anak, Nurhaeni Haeba. Foto: Geraldy Rakasiwi/kendarinesia.
Ia menjelaskan berdasarkan riset psikologi yang ada bahwa pada usia 12 tahun anak-anak pada umumnya sudah bisa mengetahui baik dan buruk, maupun konsekuensi dari sebuah tindakan.
ADVERTISEMENT
"Seharusnya diusia 12 tahun anak-anak itu sudah mulai mengerti, tetapi berhentinya itu diusia 17 tahun. Lagi-lagi faktor terbesar itu disebabkan oleh kondisi sosial yang menyebabkan anak bisa mengalami kemunduran pada kondisi mental," tambahnya.
Dalam sebuah penelitian ia menjelaskan bahwa 90 persen prilaku anak cenderung kearah kriminalitas diakibatkan oleh tidak adanya kedekatan anak dengan ayah.
Hal tersebut dipaparkannya mengingat nilai-nilai kedisiplinan kerap diterapkan oleh seorang ayah, dimana nilai-nilai asertif (ketegasan) oleh seorang ayah berusaha ditanamkan kepada tumbuh kembang anak.
"Memang kalau kita kaji lebih jauh pada usia golden age (0-5 tahun) ibulah yang berperang penting dalam mendidik anak dengan nilai-nilai kasih sayang. Namun berbeda kasus lagi pada usia remaja dimana ayah yang lebih berperan banyak," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Salah satu contohnya adalah kasus oedipus complex, yang seharusnya pada anak perempuan cenderung lebih dekat kepada ayah begitu juga sebaliknya. Sehingga peran ayah tersebut sangat berpengaruh dalam membentuk anak pada usia remaja.
***
Geraldy Rakasiwi