news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Cerita Guru SD di Sultra yang Sekolahnya Beralaskan Tanah

Konten Media Partner
18 Februari 2020 15:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Agus Salim, guru kelas jauh SD Negeri 1 Mataleuno, Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara. Foto: Lukman Budianto/kendarinesia.
zoom-in-whitePerbesar
Agus Salim, guru kelas jauh SD Negeri 1 Mataleuno, Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara. Foto: Lukman Budianto/kendarinesia.
ADVERTISEMENT
Pagi buta, Agus Salim sudah bergegas. Buku bahan ajar, sudah siap di dalam ransel berwarna hitam. Seragam khas Pegawai Negeri Sipil (PNS) telah ia kenakan. Suara motor Agus memecah hening di lereng pegunungan Desa Lengkong Batu, Kecamatan Pakue Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra) pagi itu, Senin (17/2).
ADVERTISEMENT
Jalan yang dilalui menanjak dan berkelok-kelok. Ukuran jalan hanya cukup untuk dua motor saja. Di sebelah kanan jalan ada gunung menjulang, sementara di sebelah kiri jurang terjal. Pria berusia 37 tahun itu sangat berhati-hati mengendarai motornya. Sesekali Agus turun mendorong kendaraannya karena jalan licin akibat hujan semalam.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit dengan jarak delapan kilometer, Agus akhirnya sampai di puncak gunung Lengkong Batu. Di sinilah Agus mengabdi sebagai guru selama tiga tahun terakhir. Sekolah tempatnya mengajar sangat memprihatinkan. Luas bangunannya hanya sekitar 3x6 meter berlantai tanah.
Dinding bangunannya kayu yang sudah lapuk dimakan rayap. Beberapa atap seng terlihat menganga, menambah kesan buruk tempat menimba ilmu ini.
Kelas Jauh
ADVERTISEMENT
Sekolah ini adalah kelas jauh SD Negeri 1 Mataleuno yang induknya berada di Desa Mataleuno, Kecamatan Pakue Utara. Di Desa Lengkong Batu sendiri, tidak ada sekolah dasar. Padahal warganya banyak. Memang, tidak ada masalah bagi warga yang bermukim di pusat desa. Warga di area itu bisa menempuh pendidikan di induk SDN 1 Mataleuno, desa yang berbatasan langsung dengan Desa Lengkong Batu.
Yang jadi masalah, warga Lengkong Batu yang tinggal di pegunungan. Catatan kependudukan di Desa Lengkong Batu, ada dua dusun yang letaknya di pegunungan, masing-masing Dusun 4 dan Dusun 5. Dusun 4 ada 63 kepala keluarga, dan Dusun 5 ada 42 kepala keluarga.
Jika tak ada sekolah di gunung, dipastikan mayoritas warga usia sekolah di daerah itu banyak yang putus sekolah. Pasalnya, semua penduduk di gunung bekerja sebagai petani. Aktivitasnya yang padat di siang hari membuat mereka tidak mampu mengantar dan menjemput anak-anaknya jika disekolahkan di SD induk.
ADVERTISEMENT
Dari persoalan-persoalan itulah Agus Salim meminta kepada kepala sekolahnya untuk membuat kelas jauh. Alhasil, tahun 2017, usulan Agus bersama Yunus, Kepala Desa Lengkong Batu, dan warga pegunungan direalisasikan. Sejak saat itu, Agus Salim mulai aktif mengajar di sekolah kayu beralas tanah tersebut.
Dua Tahun yang Kelam
Tahun 2017 hingga Februari 2019, jalan menuju sekolah kelas jauh di puncak gunung masih jelek. Jalan masih berlumpur, sehingga Agus kerap mendorong motor. “Itu memang awal yang pahit. Jadi selama dua tahun itu, warga di sini sudah tahu, jadi mereka-mereka yang sering bantu saya mendorong motor,” cerita Agus kepada jurnalis kendarinesia/kumparan saat ditemui di sekolah kelas jauh tempatnya mengabdi.
Agus Salim, duduk di depan ruang kelas bersama motor yang sehari hari menemaninya melewati jalan sepanjang 8 Kilo. Foto: Lukman Budianto/kendarinesia.
Agus mengisahkan, selama dua tahun ia kerap berjalan kaki sejauh kurang lebih satu kilometer. Karena saat itu, tanjakan terakhir menuju sekolah betul-betul tidak bisa dilalui kendaraan roda dua ketika musim hujan.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, Agus tetap bertahan sebagai guru pengajar di sekolah itu. “Ini tanggung jawab saya. Saya sudah bertekad untuk mengajar disini. Apalagi saya salah satu yang mengusulkan,” ucapnya.
Butuh Guru Tambahan
Saat ini Agus mendidik 31 murid di sekolah itu, mulai dari kelas satu hingga kelas enam. Karena ruangan hanya tiga, kelas satu dan dua disatukan dalam satu kelas.
Begitupun kelas tiga-empat, juga kelas lima-enam. Setiap hari, Agus harus mondar-mandir dari satu kelas ke kelas yang lain, karena Agus adalah satu-satunya guru di sekolah kelas jauh ini.
“Ya sudah begitulah keadaannya pak. Mau tidak mau harus kita jalankan soalnya tidak ada lagi guru yang mau ke sini,” tutur Agus.
Harapan Agus tidak banyak. Dia hanya meminta agar pihak pemerintah membangunkan ruangan kelas yang lebih layak, dan meminta tambahan tenaga pengajar. “Satu orang saja,” jelas Agus.
ADVERTISEMENT