Kisah Anggu, Penyapu Jalanan dengan Gaji Minim di Kota Peraih Adipura

Konten Media Partner
6 Maret 2019 10:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wa Anggu saat menunaikan tugasnya sebagai penyapu jalanan, Selasa (5/3). Foto: Mufti/kendarinesiaid
zoom-in-whitePerbesar
Wa Anggu saat menunaikan tugasnya sebagai penyapu jalanan, Selasa (5/3). Foto: Mufti/kendarinesiaid
ADVERTISEMENT
Pagi itu masih gelap saat Anggu (45) mulai bersiap diri dengan menenteng senjata pamungkasnya yaitu sapu lidi, menuju Jalan Balaikota 2, Kota Kendari, Selasa (5/3). Ia merupakan salah satu dari banyaknya anggota kebersihan yang ada di Kota Lulo itu.
ADVERTISEMENT
Ia mulai menyapu daun-daun pohon kering dan sampah plastik yang berserakan di trotoar dan jalan, mengumpulkan, dan memasukkan sampah-sampah kering itu ke keranjang. Kegiatan itu ia lakukan setiap hari sejak pukul 03:00 WITA hingga pukul 08:00 WITA.
"Saya kumpulkan mi dulu semuanya di pinggir, baru saya angkat sampahnya pakai sapu dan serok sampah," ucapnya saat ditemui oleh kendarinesia.
Perjuangan perempuan berusia 45 tahun itu dan beberapa pekerja lainnya telah membuat Kota Kendari mendapat penghargaan adipura 10 kali berturut-turut. Perempuan paruh baya itu setiap harinya menyapu jalan Balaikota 2 hingga jalan Sao-sao dengan jarak tempuh kurang lebih satu kilometer.
Wa Anggu sedang memasukkan sampah yang ia sudah kumpulkan kedalam karung untuk selanjutnya diangkut oleh truk sampah, Selasa (5/3). Foto:kendarinesiaid
Membersihkan sampah sepanjang jalan sudah ditekuni Anggu sejak 2004 silam hingga sekarang. Itu artinya Anggu sudah hampir lebih 15 tahun bergelut dengan pekerjaan ini.
ADVERTISEMENT
Semenjak suaminya meninggal 2013, Anggu membiayai hidup sehari-hari bersama anak semata wayangnya hingga anaknya lulus SMA. Saat itu, anaknya masih duduk dibangku SMP kelas 3.
Niat Anggu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi sirna sudah, faktor ekonomi menjadi kendalanya. Anak semata wayangnya hanya bisa mengenyam pendidikan sampai SMA.
"Ndak ada biaya kasian untuk kuliahkan, kecuali dapat beasiswa. Sekarang dia sudah kerja, bantu-bantu orang di penjual grosir," ucapnya.
Keriput di wajah Anggu mulai nampak jelas. Lelah dan letih sudah pasti ia rasakan. Badannya lesu juga membungkuk. Bergelut dengan sampah dan debu, janda anak satu ini mengaku tidak boleh malu dengan pekerjaannya demi melanjutkan hidup.
"Orang seperti kita (saya), tidak boleh malu. Kalau malu kita mau makan apa mi?" ucapnya.
Wa Anggu menyapu jalanan pagi buta saat kendaraan masih sepi lengang di jalan raya, Selasa (5/3). Foto: Mufti/kendarinesiaid
Dari hasil kerja kerasnya di pinggir jalan pemerintah Kota Kendari hanya memberinya upah Rp 700 ribu per bulan. Sementara, dirinya harus membayar sewa ojek Rp 10.000 per hari untuk biaya perjalanan dari rumah ke tempat ia bekerja. Uang yang diterima bersih Anggu hanya kurang lebih Rp 400 ribu per bulan
ADVERTISEMENT
"Itu mi yang dipakai untuk biaya sehari-hari. Dipakai sedikit-sedikit biar cukup karena banyak kebutuhan. Tiap bulan kita harus bayar listrik, air, beras, dan kebutuhan lain," ucapnya.
Di rumah kecil tempat dia tinggal bersama anaknya. Anggu membuka kios kecil kira-kira berukuran 3X2 meter guna menambah penghasilan untuk tetap memastikan asap dapurnya tetap mengepul.
Dirinya mengaku, saat musim kemarau tiba ia begitu kesulitan menyapu jalanan karena banyak dedaunan yang berguguran. Sehingga banyak sampah yang berserakan di mana-mana. Selain kemarau, tingkat kesulitan lainnya terjadi pada saat musim penghujan datang karena kondisinya basah sehingga sulit untuk dibersihkan.
Namun itu semua tidak menjadikannya untuk berhenti dari pekerjaan itu, sebab yang terpenting ia masih bisa mempunyai penghasilan per bulannya. Terlebih lagi saat jelang penilaian adipura. Ia berharap agar pemerintah memperhatikan nasib mereka.
ADVERTISEMENT
"Biasanya sehari kita bisa kerja dua kali sehari, subuh dan siang. Kita digaji Rp 25 ribu per hari kalau adipura. Biasanya paling cepat satu minggu, paling lama 10 hari," ucapnya.
Mufti