news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Larangan Ekspor Biji Nikel, HIPMI Dorong Pemerintah Tetapkan Harga Wajar

Konten Media Partner
15 Februari 2020 16:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua BPP HIPMI, Mardani H. Maming. Foto: Istimewa.
zoom-in-whitePerbesar
Ketua BPP HIPMI, Mardani H. Maming. Foto: Istimewa.
ADVERTISEMENT
Larangan ekspor bijih nikel yang diberlakukan pemerintah sejak 1 Januari 2020 membuat bisnis usaha pertambangan dalam negeri berada dalam kondisi mati suri. Kondisi ini terjadi akibat rendahnya harga jual bijih nikel domestik, jika penambang memaksakan untuk melakukan penambangan. Harga yang ditawarkan relatif lebih murah dari biaya produksi dan akan perlahan mematikan perusahaan.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Mardani H. Maming menyampaikan dukungannya kepada Asosiasi Penambang Nikel (APNI), dalam memperjuangkan Harga Pokok Mineral (HPM), nikel di atas Free on Board (FoB) tongkang.
"Kami mendukung dan mengapresiasi APNI sehubungan dengan penentuan HPM nikel di atas FoB tongkang. Kami berharap ada kesepakatan dua belah pihak antara smelter dan penambang yang dibuatkan regulasinya oleh Menteri ESDM untuk menetapkan harga HPM. Apabila ada smelter yang membeli harga dibawah HPM harus diberikan sanksi," ujar Maming saat dihubungi (14/2).
Areal pertambangan di Konawe Utara. Foto: Attamimi/kendarinesia.
Maming mengatakan harga internasional saat ini, bijih nikel kadar 1.8% FoB Filipina dihargai antara USD 59-61/ wet metric ton (wmt). Sehingga jika pemerintah mengajukan harga jual bijih nikel domestik kadar 1.8% FoB sebesar USD 38-40/wmt merupakan harga yang wajar.
ADVERTISEMENT
"Jika kita bandingkan dengan harga Internasional tentu tidak memberatkan kedua pihak baik smelter maupun penambang," ujarnya.
Maming meminta Kementerian ESDM mewajibkan kepada smelter lokal untuk menerima nikel milik penambang yang kadarnya 1.7%, bagi tambang yang terkena larangan ekspor biji nikel sejak Januari lalu.
"Karena ada larangan ekspor, maka Kementerian ESDM mewajibkan barang penambang diterima oleh smelter lokal yang kadarnya 1.7%," ujar Maming.
Untuk saling menjaga kualitas barang, Mantan Bupati Tanah Bumbu, pun menyarankan penambang dan smelter boleh menunjuk masing-masing surveyor yang terdaftar di Kementerian ESDM. Agar kualitas barang mempunyai kepastian sehingga tidak merasa dicurangi satu sama lainnya.