Mengenang Siti Marlina, Qariah Internasional dari Konawe Kepulauan (bagian 2)

Konten Media Partner
16 Maret 2021 11:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hj. Hamida bersama anak kelimanya Paharudin saat mengisahkan Hj. Siti Marlina. Foto: Kalpin/kendarinesia.
zoom-in-whitePerbesar
Hj. Hamida bersama anak kelimanya Paharudin saat mengisahkan Hj. Siti Marlina. Foto: Kalpin/kendarinesia.
ADVERTISEMENT
Mengenang almarhumah Hj. Siti Marlina, qariah internasional dari Konawe Kepulauan memberi kebanggan bagi generasi Pulau Wawonii. Sampai saat ini prestasinya belum ada yang mampu menyamainya. Torehannya itu mesti diulik kembali sebagai pengingat para generasi masa depan Pulau Kelapa. Prestasinya melantunkan Alquran kategori tilawah bukan hanya dipuji di tingkat nasional, tetapi juga level internasional. Ia meraih juara dua lomba qariah tilawah di Malaysia tahun 1992.
ADVERTISEMENT
Almarhumah Hj. Siti Marlina telah dunia yang fana untuk selama-lamanya di tahun 2012. Ibu tiga anak itu wafat di Kota Kendari. Jejaknya kembali menggema setelah beredar video lantunan ayat suci Alquran yang disebar ulang melalui rekaman pemilik Youtube Bang Dulll. Video latar kaset tertulis terbaik pertama MTQ nasional tahun 1991 melantunkan Surah Al-Isra ayat 1-10 tersebut disebar luas masyarakat Wawonii di media sosial.
Wartawan kendarinesia menelusuri jejaknya hingga ke desa kelahirannya. Siti Marlina lahir di Desa Tekonea tahun 1957. Dahulu desa ini sangat terpencil. Tidak ada akses jalan darat, sehingga untuk mengaksesnya harus naik kapal. Kini desa tersebut sudah dengan mudah ditempuh sejak Pulau Wawonii menjadi kabupaten pada tahun 2013.
ADVERTISEMENT
Rombongan wartawan tiba di rumah orang tua almarhumah pada Minggu (14/3) sore. Di rumah sederhana tersebut, Hj. Hamidah, ibunda Hj. Siti Marlina sedang duduk menonton tayangan televisi. Anak kelimanya, Paharudin menemui para awak media.
Paharudin bercerita tentang sosok kakak yang dianggap sekaligus orang tuanya. Paharudin begitu diayomi, dikasihi sang kakak. Dari delapan bersaudara, mereka merasakan betul kasih sayang yang tulus dari almarhumah. Paharudin terhenti sejenak, air matanya berlinang mengenang kakaknya.
Paharudin bercerita, mereka semua dibesarkan di rumah ini dalam suasana nilai-nilai keagamaan. Almarhum bapak mereka, H. Muarif adalah guru mengaji di kampung tersebut, sehingga rumah mereka senantiasa ramai.
Saat menceritakan sosok sang kakak, terdengar suara dari dalam rumah, ibunda menanyakan siapa yang datang. Hj Hamida yang berumur 90 tahunan berjalan bungkuk menemui kami. Satu persatu kami bergantian salaman. Pada usianya yang hampir satu abad, ingatannya masih kuat, matanya masih melihat jelas bahkan masih bisa mengaji, pendengarannya belum terganggu. Hanya fisiknya yang lemah.
ADVERTISEMENT
Hamida yang berasal dari Desa Ladianta bercerita, ia melahirkan Hj. Siti Marlina jam 7 pagi tepatnya tahun 1957. Dia sudah lupa tanggal dan bulan lahir anaknya. Dalam perjalanan saat dibesarkan, Marlina kecil mulai melafalkan Alquran. Waktu kecil saat mulai bicara, Marlina sudah melafalkan beberapa ayat Alquran.
Saat menginjak sekolah dasar, sudah terdengar suaranya yang merdu ketika mengaji dan menyanyi qasidah. Entah apakah ada hubungan dengan ini bapaknya yang mengajari banyak orang mengaji saban hari, sehingga memberi pengaruh terhadap perkembangannya, tetapi begitulah faktanya Siti Marlina pada masa kecilnya.
"Waktu kecil saat SD sudah bisa mengaji dan tuntun orang-orang mengaji. Waktu penaikkan bendera (perayaan 17 Agustus) selalu juara hafalan dan nyanyi qasidah," kata Hj. Hamida.
ADVERTISEMENT
Hj Hamida tak bisa bercerita lebih jauh karena dirundung sedih ketika mengingat-ingat anaknya. Paharudin melanjutkan kenangan bersama kakaknya. Paharudin sempat tinggal di Yogyakarta bersama almarhumah selama setahun.
Bapak tujuh anak ini mengatakan, Marlina menempuh pendidikan di Pesantren Ummushabri. Sejak saat itu, ia selalu tampil mengikuti lomba STQ maupun MTQ. Selalu juga juara satu dan dua. Bahkan pernah menjuarai tingkat nasional kategori remaja di Sulawesi Utara saat mewakili Sultra.
Saat menempuh pendidikan di IAIN Yogyakarta melalui program bantuan pendidikan dari Pemprov Sultra, dia juga ikut lomba mewakili Yogyakarta. Bahkan puncaknya tahun 1991, ia menjadi juara nasional mewakili Yogyakarta. Nanti tahun 1992 juara 2 internasional di Malaysia kategori dewasa dalam MTQ Qariah Tilawah.
ADVERTISEMENT
"Di rumah ini dahulu banyak kenang-kenangan berupa piala dan piagam lainnya, tapi sudah kusam dan diambil saudara lainnya di bawah ke rumah mereka," ujarnya.
Suara merdunya diturunkan dari bapak. Sebenarnya kata Paharudin, dari delapan bersaudara suara paling merdu itu ada sama kakak perempuan keempat Suriamin. Hanya saja dia ini bisu, sehingga tidak sekolah.
Paharudin mengungkap, sosok pribadi Hj. Siti Marlina yang disiplin, sopan, dan persaudaraan serta jiwa sosialnya yang tinggi. Kepeduliannya kepada orang lain sangat luar biasa.
"Kami ini adik-adiknya diajar betul tentang kedisiplinan, sebab ini kunci keberhasilan dunia dan akhirat. Sholat itu hal paling utama ditekankan, baik pada kami dan juga anak-anaknya," terangnya.
Saat 2004 memutuskan pulang ke Kendari karena permintaan Pak Gubernur Ali Mazi kala itu. Kakak diminta pindah dari Departemen Agama (Depag) di Yogyakarta pindah ke Depag Kendari. Tujuannya untuk melakukan pembinaan tilawah karena saat itu Sultra sedang menghadapi persiapan tuan rumah MTQ tingkat nasional tahun 2006. Saat di Depag DIY, kakak sudah menjadi dewan hakim nasional.
ADVERTISEMENT
Paharudin juga mengikuti jejak bapaknya mendirikan tempat pengajian di rumahnya Desa Tekonea. Jebolan sarjana agama IAIN Kendari ini mendidik 40 anak. Ia berpesan kepada pemerintah untuk menggalakkan tempat pengajian di tiap desa.
"Kita mau semua desa di Konkep menggema tempat belajar mengaji. Ke depan juga harapan kita semua ada pesantren khusus penghafal alquran hafidz-hafidzah," pintanya.
Paharudin mengingat kembali cita-citanya bersama Hj. Siti Marlina ketika pensiun akan kembali ke kampung mengajar tilawah, tetapi ajal lebih dulu menjemputnya.
Tetangga rumah Hj. Hamidah di Desa Tekonea Kecamatan Wawonii Timur, Abdul Latif (70), menceritakan kisahnya saat masih kecil bersama Hj. Siti Marlina. Latif bercerita, ia tinggal dan dibesarkan oleh keluarga H. Muarif. Latif belajar mengaji kepada H. Muarif dan diajar juga oleh Siti Marlina. Padahal saat itu umur Latif sudah 11 tahun, sedangkan Marlina masih berumur 7 tahun.
ADVERTISEMENT
"Saya mulai tinggal di rumah mereka saat mama saya meninggal dunia. Saya dibesarkan di keluarga Hj. Siti Marlina. Seingat saya waktu kami masih kecil, almarhumah orang yang rajin. Bahkan menyukai makanan siput laut berupa Sipou (bahasa Wawonii). Ibu Marlina rajin membantu orang tua berkebun," kisahnya.
"Almarhumah orangnya pintar dan ringan tangan membagi rezekinya," tambahnya mengenang. (bersambung)
Laporan: Kalpin