Street Food: Space, City Identity, and Urban Food Security

Keuken Bandung
A one-day food festival that utilizing the idea of gastronomy with the wisdom of street-inspired culture.
Konten dari Pengguna
4 Juni 2018 10:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Keuken Bandung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Makanan Alternatif Yang Dipandang Sebelah Mata
Gastronomy Talk seri kedua (GT #2) kali ini membahas sesuatu yang berbeda dari seri sebelumnya. GT #2 yang dilaksanakan sabtu, 18 november 2017 ini mengambil tema “Street Food: Space, City Identity, and Urban Food Security”. Diskusi kali ini mengulas penelitian-penelitian yang dilakukan oleh pembicara tentang street food dan urban food security di kota Bandung. Pembicara pada GT #2 ini adalah Prananda Luffiansyah Malasan (Design Researcher) dan Reyza Ramadhan (Field Supervisor at UNFAO), dengan dimoderatori oleh Hardian Eko Nurseto (Food Anthropologist).
ADVERTISEMENT
Street food atau kuliner jalanan lekat hubungannya dengan pedagang kaki lima (PKL) yang sering mendapat konotasi negatif di masyarakat; tempat yang kumuh dan tidak teratur serta kebersihan makanan yang sering dipertanyakan. Diskusi GT #2 hadir untuk mengulas secara rinci bagaimana sebuah makanan yang dijajakan dalam ruang kota oleh para street food vendors justru punya peranan besar dalam menggerakan sistem perekonomian ditingkal lokal.
Dari Semangkuk Soto Ayam
Siapa yang tidak kenal dengan soto ayam? Makanan khas Indonesia yang sejenis dengan sup ayam dan tersebar dengan berbagai varian disegala penjuru Indonesia. Soto yang berasal-usul dari interaksi penduduk Indonesia dengan bangsa Tionghoa ini lambat laun diolah dengan bumbu yang disesuaikan dengan lidah orang Indoesia, akulturasi rasa pun terjadi dari olahan bumbu hingga sajian yang akhirnya dapat disantap dengan racikan tradisi yang dijual di penjuru kota di Indonesia seperti Soto Semarang, Soto Kudus, Soto Madura, Soto Betawi, Soto Medan, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Santapan soto sebenarnya tidak lepas dari pedagang yang menjualnya, bagaimana semangkuk soto pada akhirnya menjadi sandaran ekonomi seseorang dan keluarganya. Hal ini dijelaskan oleh Prananda Luffiansyah Malasan, yang saat ini sedang menyelesaikan program doktor Antropologi di Kanazawa University dan University of Tokyo. Dimana dalam studinya Prananda fokus pada penelitian mengenai proses kolaborasi antara desainer dan pengrajin di berbagai kota seperti Desa Selaawi, Bandung, dan Bali. Prananda menjelaskan bagaimana soto ayam dapat menjadi penggerak perekonomian kota Bandung – dengan menelusuri jejaring pedangang soto ayam dan melihat konektifitasnya dengan sektor industri lain – Pedagang pasar induk yang menyediakan bahan baku; tetangga penjual soto yang ikut membantu persiapan tanpa digaji; preman yang menjaga tempat berjualannya agar tidak digusur; hingga konsumen yang memesan soto sesuai selera.
ADVERTISEMENT
Diskusi kemudian dilanjutkan oleh Reyza Ramadhan, seorang Field Supervisor yang menetap di Kendari, Sulawesi Tenggara untuk mengelola salah satu program dari badan pangan dunia. Berangkat dari studinya sebagai Master of Globalfood and Agribusiness dari The University of Adelaide, Reyza justrul memberikan perspektif yang lebih segar mengenai kuliner jalanan. Menurut Reyza, meski dipandang sebelah mata, kuliner jalanan justru mendorong terciptanya urban food security yang berdampak dalam suatu siklus perekonomian. Seseorang dapat dikatakan memiliki ketahanan pangan ketika mereka secara individu atau kelompok mendapat akses yang pasti dalam konsumsi makanan sehat tanpa ada kekhawatiran akan kehilangan akses tersebut. kuliner jalanan kemudian hadir untuk menjawab kekhawatiran terhadap akses makanan yang mengenyangkan, bernutrisi dan nyaman dikantong karena biaya total mengolah pangan dalam dapur rumah tentu terbilang akan lebih mahal ketimbang biaya sekali santap di penjual kuliner jalanan.
ADVERTISEMENT