Kurangnya Literasi Media pada Fenomena ‘Susu Beruang'

Keyna Putri
Mahasiswa Ilmu Komunikasi - UPN Veteran Jakarta
Konten dari Pengguna
6 Juli 2021 14:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Keyna Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Panic Buying (teksomolika on freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Panic Buying (teksomolika on freepik.com)
ADVERTISEMENT
Media setiap zamannya menjadi esensi masyarakat, begitulah yang dikatakan oleh McLuhan. Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan jika media dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
ADVERTISEMENT
Media juga tentunya memiliki peran penting dalam masyarakat dan sadar ataupun tidak memberikan dampak dalam kehidupan bermasyarakat baik dampak secara positif maupun negatif.
Salah satu peran media adalah mempengaruhi khalayak melalui pesan yang berupa informasi, hiburan, pendidikan dan pesan-pesan lainnya. Media sosial yang sehari-hari kita gunakan ini menjadi salah satu jenis media yang ada.
Mari kita melihat pada data dari laman datareportal.com, Hootsuite membagikan data pengguna internet dan pengguna media sosial per Januari 2021 di Indonesia. Sebanyak 202, 6 juta orang telah menggunakan internet dan 170 juta orang di dalamnya menggunakan sosial media.
Tanpa melihat ke dalam data yang berupa angka tersebut pun, mungkin kita sudah dapat melihat melalui realitas kenyataan bahwa masyarakat saat ini sudah bergantung dengan apa yang kita sebut media sosial. Hal ini tidak sepenuhnya buruk, karena memang banyak sekali manfaat yang dapat kita rasakan semenjak hadirnya beragam media sosial di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Adanya media sosial di tengah-tengah masyarakat seperti ini juga tidak luput dari munculnya fenomena-fenomena baru dalam masyarakat. Salah satunya yang belakangan ini terjadi di masyarakat adalah fenomena panic buying di tengah pandemi COVID-19.
Panic buying merupakan kegiatan pembelian suatu barang yang dimotivasi dengan adanya perasaan panik atau ketakutan. Pemicu dari ketakutan tersebut bisa terjadi karena kemungkinan suatu saat harga dari suatu barang dapat melambung secara tiba-tiba atau stok barang menjadi terbatas serta sulit ditemukan.
Pada awal kemunculan pandemi, mungkin kita masih ingat dengan kejadian penimbunan masker dan dijualnya masker dengan harga selangit. Hal tersebut tentunya menimbulkan adanya kekhawatiran dalam masyarakat hingga terjadilah fenomena panic buying tersebut.
Bergegaslah masyarakat memburu masker, penjual pun mengambil kesempatan ini untuk mengambil cuan sebanyak-banyaknya. Selain masker, ternyata masyarakat juga memiliki kekhawatiran dalam pemenuhan bahan kebutuhan pokok yang akhirnya mengakibatkan panic buying kembali pada segi kebutuhan pangan.
ADVERTISEMENT
Waktu kian berlalu, bulan berganti tahun, ternyata kita masih berada dalam kungkungan pandemi COVID-19. Fenomena yang di awal pandemi terjadi, ternyata terulang kembali beberapa hari belakangan ini.
Berawal dari postingan di media sosial TikTok yang sedang menunjukkan pencampuran produk satu dan lainnya yang sedang booming. Akibatnya banyak masyarakat yang mengikuti cara tersebut tanpa memeriksa terlebih dahulu apakah hal tersebut sesuai dengan anjuran media atau tidak.
Entah bagaimana prosesnya, tiba-tiba banyak masyarakat yang kemudian berbondong-bondong memborong produk susu beruang tersebut. Mungkin sebagian besar dari kalian pun, sudah melihat cuplikan video singkat yang menunjukkan para warga yang berebut produk susu beruang tersebut.
Hal ini menimbulkan pemikiran “Bagaimana bisa masyarakat dengan mudahnya percaya dengan secuil berita yang dibuat oleh orang lain?”. Namun, akhirnya saya mengasumsikan kalau kejadian ini memiliki relevansi dengan teori komunikasi yaitu teori jarum hipodermik.
ADVERTISEMENT
Teori jarum hipodermik merupakan salah satu teori komunikasi yang diperkenalkan di tahun 1920 oleh Harold Laswell. Sulit dipercaya, meski teori ini terbilang cukup lawas, namun ternyata relevansinya masih berlaku di zaman era digital seperti saat ini.
Model dari teori ini menjelaskan jika audiens sebagai penerima informasi dapat dengan mudah disuntikkan informasi dari media tanpa ada pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu.
Sesuai dengan yang terjadi pada fenomena panic buying tersebut, masyarakat disuntikkan dengan informasi keliru dari video TikTok atau pesan siaran tanpa memeriksa terlebih dahulu fakta-fakta dari segi medis, sehingga menimbulkan adanya ketakutan dan membeli produk tersebut secara berlebihan.
Mengapa masyarakat mudah disuntikkan dengan informasi yang keliru? Itu karena kurangnya literasi media pada masyarakat di tengah banyak beredar informasi-informasi yang juga tidak memiliki kepastian kebenarannya.
ADVERTISEMENT
Literasi tidak hanya sekadar membaca, menulis, dan selesai. Namun seharusnya juga diartikan sebagai mengerti dan memahami. Literasi media sendiri merujuk kepada kemampuan khalayak yang ‘melek’ terhadap media dan pesan-pesan di dalamnya.
Tujuan dari literasi media sendiri tak lain dan tak bukan, untuk mengajarkan kepada khalayak, dalam hal ini khususnya kepada para pengguna media sosial, untuk menganalisis pesan yang diterimanya melalui media sosial.
Sebagai audiens di tengah gempuran era digitalisasi dan derasnya terpaan informasi yang kita dapat sehari-hari, sudah seharusnya kita memahami media literasi dengan menyaring serta memilah apa yang kita terima dari media.
Media bersifat sangat fleksibel, maka kita sebagai audiens harus menjadi khalayak yang aktif. Kemudahan-kemudahan yang kita dapatkan melalui media sosial, seharusnya dimanfaatkan dengan sebijak mungkin.
ADVERTISEMENT
Ambil apa yang menurut kita bermanfaat, ambil apapun yang baik, dan ambil semuanya yang berdampak positif. Setelahnya, selalu lakukan pengecekan fakta dan kebenaran dari pesan yang kita peroleh dari media sebelum menyebarkannya ke orang lain ataupun platform lain. Ingat selalu, saring sebelum sharing.