Fast Fashion Tidak Luput dari Degradasi Lingkungan

Kezia Josephine Anggara
Pendidikan SMA Citra Berkat
Konten dari Pengguna
13 Februari 2022 21:27 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kezia Josephine Anggara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
com-ilustrasi belanja Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
com-ilustrasi belanja Foto: Shutterstock

Fast Fashion Trend Masa Kini

ADVERTISEMENT
Globalisasi mempengaruhi trend fashion yang mengalami perkembangan, melewati berbagai masa dengan berbagai cara di seluruh belahan dunia. Fashion merupakan sesuatu yang dilakukan seseorang, yang terkait dengan ide tentang fetish yang diproduksi dan dikonsumsi masyarakat kapitalis. (Barnard, 1996). Fashion awalnya hadir sebagai pelindung tubuh. Namun, seiring perkembangan teknologi informasi yang semakin maju, fashion kini menjelma menjadi ajang untuk mengekspresikan diri atau untuk menunjukkan status sosial dalam masyarakat, seperti imitasi pola sosial yang dijadikan untuk memuaskan kebutuhan akan dukungan sosial serta sebagai pengikat dalam suatu kelompok sosial manusia.
ADVERTISEMENT
Sebelum memasuki zaman revolusi industri, fashion merupakan sebuah produk yang mahal yang hanya dapat dibeli oleh kalangan tertentu saja. sehingga muncul konsep Fast Fashion yang mulai berkembang tahun 1990-an di mana konsep ini digunakan oleh industri tekstil yang menghadirkan pakaian ready-to-wear dengan konsep pergantian mode cepat dan diproduksi secara massal dan mudah didapatkan yang mengikuti trend terbaru dengan menggunakan bahan baku yang berkualitas rendah, serta dijual dengan harga yang relatif murah. Sehingga fashion dapat dibeli oleh semua kalangan.

Masyarakat yang Konsumtif

Dari masa ke masa trend fast fashion mengalami perkembangan yang sangat pesat. Menurut laporan Greenpeace pada tahun 2016 menyebutkan, di tahun 2000, terjadi ledakan ekspansi di fast fashion yang diawali oleh merk H&M dan Zara yang mementingkan kuantitas dalam memproduksi pakaian. Perkembangan trend fast fashion ini sejalan dengan perubahan gaya hidup konsumen, salah satunya karena pengaruh media massa dan internet. Dengan media massa dan internet, konsumen dapat melihat dan mengakses secara mudah mengenai perubahan gaya fesyen terkini, didukung pula dengan ketersediaan platform seperti Instagram yang dimanfaatkan industri mode untuk menarik konsumen dengan mempromosikan mode tren fesyen yang berubah-ubah, ditambah dengan harganya yang terjangkau. Hal tersebut mendukung permintaan pasar akan mode busana terkini terus melambung. Selain itu, para pelaku industri pakaian juga berperan dalam tren perkembangan fast fashion, di mana para pelaku dituntut untuk berlomba-lomba dalam memproduksi mode trend terbaru agar tidak kalah saing dengan industri lain .
ADVERTISEMENT
Sebelum fast fashion populer, industri fesyen terdahulu melakukan pergantian koleksi sebanyak satu hingga dua kali dalam setahun. Namun, Di Masa kini dengan fast fashion strategy, retail bisa mengganti koleksinya setiap 2-4 minggu sekali. Menurut laporan dari sebuah perusahaan riset di Eropa (European Parliamentary Research Service) menyebutkan Zara bisa mengganti koleksinya 24 kali dalam setahun, sementara H&M mengganti koleksi pakaian sebanyak 12 hingga 16 kali dalam setahun. Tentunya lambat laun berakibat pada gaya hidup masyarakat yang konsumtif.

Kemajuan Fast Fashion yang Berdampak

Peningkatan budaya konsumtif pada masyarakat ini berakibat pada kenaikan permintaan pasar akan produksi fesyen. Menurut data dari Kementerian Perindustrian, nilai ekspor dari kelompok industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mencapai USD 13,27 Miliar pada tahun 2018. Sementara nilai industri fast fashion menurut katadata.com (2019), secara global mencapai US$ 35 miliar yang menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Faktanya, di Indonesia sendiri industri TPT merupakan salah satu industri yang diprioritaskan dan memiliki peran sentral dalam penerapan industri 4.0 serta penyokong ekonomi Indonesia ke depannya. Namun, yang harus dicermati di sini adalah sisi negatif yang timbul akibat konsumsi produk tekstil yang berlebihan.
ADVERTISEMENT
Dimulai dari proses produksinya, Industri fesyen tercatat sebagai penyumbang limbah kedua terbanyak setelah petrokimia (UN Environment). Berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam memproduksi per 1 kilogram kapas paling tidak dibutuhkan 20 ribu liter air yang tentunya akan terbuang menjadi limbah. Proses pencucian terhadap penggunaan fiber poliester sebagai bahan mode juga mengakibatkan setengah juta ton microfibers terlepas dan mencemari laut. Ditambah lagi, poliester menghasilkan gas N2O, yang berakibat pada polusi udara yang tentunya berkontribusi besar dalam pemanasan global.
Maka dari itu, diperlukan solusi untuk menangani permasalahan yang diakibatkan dari trend fast fashion yang membawa dampak buruk pada lingkungan ini. Semua komponen masyarakat perlu bekerja sama mewujudkan target SDGs nomor 12 yaitu mengenai konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, mulai dari konsumen hingga pelaku industri fashion harus bersama sama membenahi permasalahan, karena kerusakan lingkungan yang terjadi tentu akan berpengaruh pada kualitas sumber daya alam di mana manusia hidup di dalamnya. Sebagai konsumen haruslah lebih selektif dan kritis, agar tidak membeli pakaian tanpa mempertimbangkan kualitas, dampak yang ditimbulkan, memperhatikan komitmen merek yang memproduksi pakaian yang dibeli terhadap proses produksi dan penanganan limbah yang dihasilkan, mengubah gaya hidup yang lebih eco-friendly termasuk menghindari perilaku konsumtif dan menggunakan kembali baju-baju yang masih layak dipakai.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pelaku industri fashion juga perlu membenahi sistem kerja maupun kultur perusahaan mereka agar tidak menerapkan prinsip dasar ekonomi untuk mencapai keuntungan maksimal dengan pengorbanan sekecil mungkin tanpa memperhatikan dampak berkepanjangan yang akan ditimbulkan, Industri mode juga perlu mengganti bahan baku dan proses produksi menjadi sustainable yang tidak berbahaya maupun dapat mencemari lingkungan, dapat di daur ulang, mudah terurai, dan juga dapat menciptakan teknologi maupun inovasi untuk menangani sampah tekstil yang sudah menumpuk. Selain itu, perlu peran pemerintah dalam penguatan monitoring terhadap proses manufaktur industri, transparansi dari dan untuk pihak pemangku kepentingan, dan memastikan bahwa semua pabrik mempunyai instalasi penanganan limbah yang bekerja dengan baik, demi mewujudkan sistem yang lebih berkelanjutan.
ADVERTISEMENT