Bung Hatta, Pancasila, BPIP, dan Arah Bangsa

KH Anwar Abbas
Wakil Ketua Umum MUI, Ketua PP Muhammadiyah
Konten dari Pengguna
16 Agustus 2021 7:07 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KH Anwar Abbas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Catatan menyongsong peringatan hari kemerdekaan RI.
Ilustrasi Garuda Pancasila. Foto: ShutterStock
Adanya keinginan untuk mengutak-atik Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila oleh pihak-pihak tertentu di negeri ini jelas tidak bisa diterima apalagi mereka berusaha untuk mengubah konsep Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi Ketuhanan Yang Berkebudayaan ini jelas-jelas telah merendahkan derajat Tuhan yang semestinya harus kita junjung tinggi di mana kita sebagai hamba-Nya harus tunduk dan patuh kepada-Nya, tetapi dalam Trisila yang mereka usung tersebut konsep Tuhan harus tunduk ke bawah kehendak dan keinginan serta budaya manusia sehingga yang menjadi penentu dalam hidup ini dalam sistem keyakinan yang hendak mereka bangun bukan lagi Tuhan tapi adalah manusia itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Pandangan yang seperti ini jelas sangat dipengaruhi oleh paham yang bersifat antroposentrisme di mana manusialah yang harus dijadikan sebagai pusat dan penentu dalam segala hal, termasuk dalam masalah yang terkait dengan negara.
Pemikiran yang seperti ini kalau kita lihat dari perspektif ideologi dan dasar negara serta hukum dasar dan atau konstitusi negeri ini sudah jelas-jelas harus ditolak karena dia bersifat sekularistik dan bahkan ateistik.
Oleh karena itu sesuai dengan kesepakatan yang telah ada sejak negeri ini berdiri kita tidak mau Pancasila dengan urut-urutannya itu diubah-ubah apalagi di peras-peras menjadi Trisila dan Ekasila karena jika Pancasila itu diperas menjadi Trisila dan Ekasila maka dia jelas bukan lagi Pancasila dan itu jelas sudah keluar dari kesepakatan yang dibuat oleh para pendiri bangsa ini pada tanggal 18 Agustus 1945 dan itu jelas sangat berbahaya karena yang bersangkutan berarti telah mengkhianati kesepakatan bangsa yang ada dan ini jelas tidak bisa kita tolerir karena dia akan berdampak buruk terhadap kehidupan bangsa kita ke depannya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu seperti dikatakan Bung Hatta dalam pidatonya yang berjudul " Menuju Negara Hukum" yang disampaikannya dalam acara penerimaan gelar Doktor Honoris Causa di UI, perubahan tempat sila Ketuhanan Yang Maha Esa dari yang semula sebagai sila kelima kemudian menjadi sila pertama, hal inilah yang tidak dipahami oleh BPIP dan banyak pemimpin di negeri ini karena dengan dijadikannya sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila pertama, berarti politik negara kita menurut Bung Hatta mendapat dasar moral yang kuat dan mengikat kelima sila itu menjadi satu kesatuan.
Jadi kata Bung Hatta sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak lagi hanya sekadar menjadi dasar hormat-menghormati agama masing-masing seperti yang disampaikan pertama kali oleh Bung Karno, tetapi dengan adanya perubahan tersebut maka sila Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut harus menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu kata Bung Hatta pemerintah negara tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa.
Jadi dengan demikian konsekuensi logis dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama maka sila tersebut menurut Hatta seperti dijelaskannya dalam tulisannya yang berjudul "Ilmu dan Negara" harus menjadi sila yang memimpin bagaimana hendaknya hidup kita dalam masyarakat, sementara sila Kemanusiaan yang adil dan beradab ialah kelanjutan dari pada sila kesatu tadi, yang mengakui dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
Persatuan indonesia hendaklah kita pelihara baik-baik sila keempat ialah supaya kita menjalankan demokrasi kerakyatan yang didasarkan kepada hikmah kebijaksanaan dan musyawarah dalam Dewan Perwakilan Rakyat.
ADVERTISEMENT
Musyawarah itu penting karena demokrasi kita ada hubungannya dengan musyawarah. Demokrasi harus berdasarkan musyawarah, musyawarah dalam Dewan Perwakilan Rakyat yang membawa kepercayaan rakyat ke sana.
Kemudian sila kelima ialah sila keadilan sosial. Kalau kita menerima sila keadilan sosial ini sebagai bagian dari Pancasila maka kata Bung Hatta sila tersebut hendaklah dipraktikkan alias jangan hanya ada di bibir saja.
Hal-hal yang seperti inilah yang tidak tampak dan diketahui secara baik oleh para pemimpin di negeri ini termasuk oleh BPIP, karena kalau pemikiran dan pemahaman yang seperti ini tidak dipahami dengan baik oleh BPIP sebagai Badan yang ditunjuk oleh pemerintah bagi membina ideologi bangsa maka adanya, lebih baik tidak ada daripada ada, karena kalau dia tetap ada maka yang akan ada hanya kegaduhan dan kebisingan yang tentu sangat-sangat tidak positif apalagi di saat-saat kita ingin memajukan negeri kita dan melepaskan negeri ini dari pandemi COVID-19 serta krisis ekonomi yang terjadi agar kita dapat melindungi rakyat kita dengan sebaik-baiknya, mencerdaskan dan mensejahterakan mereka bahkan kalau bisa lewat kerja keras, kita akan bisa berbuat lebih maksimal lagi sehingga kita dapat menciptakan keadaan yang lebih baik lagi yaitu berupa terwujudnya sebesar-besar kemakmuran rakyat sehingga kalau ada fakir miskin dan anak terlantar maka negara akan hadir untuk memelihara dan melindungi serta menjamin hidup mereka agar tidak ada seorangpun dari warga bangsa ini yang tidak merasakan bagaimana indah dan manisnya hidup dalam negara kesatuan republik Indonesia, dan itulah yang tidak dan atau belum kita lihat serta rasakan hari ini bahkan pemerintah terkesan mau menghindar dari amanat konstitusi seperti yang terdapat dalam pasal 34 UUD 1945 tersebut.
ADVERTISEMENT
Apalagi kalau masalah pembinaan ideologi Pancasila ini diserahkan kepada BPIP tentu akan lebih berbahaya lagi.
Lihat saja pernyataan-pernyataan dari kepala badan tersebut yang menyatakan agama adalah musuh terbesar dari Pancasila dan dalam bernegara kita harus beralih dari kitab suci menuju konstitusi. Dia tidak tahu bahwa dalam konstitusi kita yaitu UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dikatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan kalau kita bicara tentang Ketuhanan Yang Maha Esa ya tuntunan dan pedomannya ada dalam kitab suci.
Oleh karena itu bagaimana pula kita akan bisa percaya kepada BPIP yang punya sikap dan pandangan seperti itu apalagi dia sebagai pembantu presiden harus bisa meringankan beban presiden apalagi presiden selama pandemi COVID-19 sudah bekerja keras untuk mengatasi masalah tersebut dan presiden sudah meminta para menterinya serta para pimpinan badan dan lembaga yang ada agar memiliki sense of the crisis atau kepekaan sosial dan itu pulalah yang tidak ada dan tidak tampak pada sosok BPIP ini.
ADVERTISEMENT
Orang lagi fokus mengatasi pandemi COVID-19 dia bicara masalah hukum menghormati bendera dan menyanyikan lagu indonesia raya. Jadi benar-benar tidak nyambung dengan konteks masalah yang dihadapi oleh bangsa saat ini.
Oleh karena itu daripada bencana dan malapetaka yang akan kita dapat dari kehadiran BPIP ini maka membubarkannya jauh lebih baik dan lebih maslahat daripada tetap membiarkannya ada, apalagi pilot dan atau nakhoda yang akan mengemudikannya berpandangan yang benar-benar menyimpang jauh dari keinginan dan kehendak dari para the founding fathers dari negeri ini dan juga dengan keinginan kita semua yang cinta dan mencintai negeri ini.
Oleh karena itu kita tentu saja tidak mau negara kita ini rusak dan berantakan gara-gara kehadiran mereka.
ADVERTISEMENT
Anwar Abbas, pengamat sosial-ekonomi dan kebangsaan serta anak bangsa yang sangat mencintai negerinya yang kebetulan menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah dan Wakil Ketua Umum MUI