Muhammadiyah, Punya Ulama Sangat Banyak tapi Tak Ada Kiainya

KH Anwar Abbas
Wakil Ketua Umum MUI, Ketua PP Muhammadiyah
Konten dari Pengguna
30 Januari 2024 8:16 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KH Anwar Abbas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Muhammadiyah Foto: Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Muhammadiyah Foto: Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Muhammadiyah punya banyak tokoh yang penguasaan ilmu keagamaannya sangat mumpuni, tapi sayang tidak ada di antara mereka yang dipanggil Kiai oleh warganya apalagi oleh orang lain. Tokoh sekaliber Adi hidayat misalnya, yang hafal Al Quran dan banyak hafal hadis serta memiliki pisau analisis yang tajam oleh warga Muhammadiyah hanya dipanggil ustaz.
ADVERTISEMENT
Sementara di kalangan masyarakat, karena budaya yang sangat dominan di negeri ini adalah budaya Jawa--tokoh-tokoh yang alim dan punya ilmu keagamaan tinggi biasanya di panggil dengan Kiai. Oleh karena itu, karena di Muhammadiyah nyaris tidak ada tokoh yang dipanggil Kiai, maka terkesan Muhammadiyah tidak punya orang alim, ulama, dan ahli agama.
Padahal, orang yang pantas mendapat predikat Kiai itu di Muhammadiyah sangat-sangat banyak. Saya tidak tahu mengapa hal ini bisa terjadi, padahal bila dilihat dari sejarah--para pimpinan Muhammadiyah masa awal dipanggil dengan Kiai seperti KH Ahmad Dahlan, KH Ibrahim, KH Hisyam, KH Mas Mansyur, dan lain-lain.
Tetapi kemudian, istilah Kiai itu semakin menghilang sehingga orang sekaliber Pak AR Fachruddin yang sangat terkenal dengan kealiman dan kewara'annya hanya dipanggil dengan Pak AR. Begitu juga dengan Pak Azhar basyir yang aktif di berbagai pertemuan ulama dunia juga dipanggil hanya dengan Pak Azhar Basyir. Juga Pak Amin Rais, Pak Syafii Maarif, Pak Din Syamsuddin, dan Pak Haedar.
ADVERTISEMENT
Tokoh-tokoh tersebut lebih dikenal dengan panggilan profesornya, kecuali Pak Syafii Maarif dan Pak Yunahar Ilyas, karena beliau berasal dari Minangkabau--maka beliau dipanggil dengan buya. Untuk itu ke depan agar umat tahu bahwa di Muhammadiyah itu banyak orang yang alim, ulama, dan ahli tentang masalah agama, maka sebaiknya oleh warga Muhammadiyah mereka-mereka yang alim atau ulama yang berasal dari Jawa tersebut dipanggil dengan Kiai.
Jika mereka dari Jawa Barat dipanggil dengan Ajengan, dari NTB dengan Tuan Guru dari Sumatera Tengah (Sumbar, Riau, Jambi, dan Bengkulu) dengan Buya, dari Aceh dengan Teuku, dan lain-lain. Ini penting agar umat dari mana pun mereka berada kalau mereka ingin bertanya tentang masalah keagamaan kepada Muhammadiyah misalnya maka mereka sudah tahu akan bertanya kepada siapa.
ADVERTISEMENT
Jadi tujuan dari pemberian panggilan khusus tersebut bukanlah untuk berbangga-bangga dengan panggilan-panggilan itu, tapi adalah untuk membantu umat agar mereka kalau akan bertanya masalah agama, keumatan, dan kebangsaan.
Apalagi Tuhan juga sudah mengingatkan kita untuk bertanya kepada ahlinya. Adanya panggilan-panggilan tersebut tentu akan sangat membantu umat bagi mengimplementasikan apa yang sudah diperintahkan oleh Tuhan.