Misi Besar untuk Para Penghafal Al Qur’an

KH M. Cholil Nafis
Dosen Tetap Program Doktor FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah Depok
Konten dari Pengguna
3 Mei 2018 16:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KH M. Cholil Nafis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Khotmil Qur’an wisudawan penghafal Al Qur’an. (Foto: Dok: M. Cholil Nafis. h)
zoom-in-whitePerbesar
Khotmil Qur’an wisudawan penghafal Al Qur’an. (Foto: Dok: M. Cholil Nafis. h)
ADVERTISEMENT
Walhamdulillah di Yogyakarta sempat silaturrahim ke pesantren Sunan Pandanaran dalam rangka khotmil Qur’an wisudawan sebanyak 1.600-an santri penghafal Al Qur’an 30 juz dan juz 30.
ADVERTISEMENT
Inilah generasi qur’ani harapan di masa yang akan datang. Mereka ikhlas belajar dan menghafal hanya ingin menjadi ahli Al Qur’an tanpa ada cita2 lain yang sifatnya duniawi. Tapi realitanya mereka penghafal Al Qur’an tak pernah hidupnya sengsara. Sampai detik ini saya belum ketemu hidup penghafal Al Qur’an yang tak bahagia.
Dalam taushiyah di hadapan 1600-an santri penghafal Al Qur’an agar melanjutkan studinya pada pemahaman dan pengamalannya. Kelak mereka bisa menjadi ulama, cendekiawan, dokter, arsitek, dan lain-lain. Di era sekarang ini banyak godaan bagi pembawa misi Al Qur’an dan pejuanga agama Islam:
Pertama, godaan dalam menghadapi arus pemikiran. Pemikiran yang menghantui ajaran Islam saat ini ada ekstrimisme, baik yang kanan mau yang kiri. Karena tidak memahami Islam dengan benar sehingga tak bisa menjadi umat yang wasathi. Maka muncul lah muslim libral dan muslim radikal.
ADVERTISEMENT
Yang libral ke kiri-kirian sering kali karena merasa pintar sehingga mengubah makna Al Qur’an karena di pikirannya tak sesuai. Biasanya hal ini akibat dari merasa pintar dan kurang iman. Sedangkan yang radikalisme ke kanan-kananan karena pemahaman yang literalis dan tekatualis sehingga memahami agama secara tekstual. Bahkan tak jarang mengkafirkan yang lain karena tak tunggal dalam memahami agama yang sebenarnya masih dalam wilayah perbedaan (ikhtilaf) bukan penyimpangan (inhiraf).
Lain lagi pemikiran yang menyimpang, di mana aliran sesat ini juga subur di Indonesia. Apapun pemikiran dan paham keagamaan di Indonesia selalu ada pengikutnya. Itulah Indonesia sebagai pasar ideologi nasional dan transnasional. Al Qur’an seringkali menjadi legitimasinya karena akibat pemaknaan yang salah.
Khotmil Qur’an wisudawan penghafal Al Qur’an. (Foto: Dok: M. Cholil Nafis. h)
zoom-in-whitePerbesar
Khotmil Qur’an wisudawan penghafal Al Qur’an. (Foto: Dok: M. Cholil Nafis. h)
Kedua, ekonomi yang melilit dalam kehidupan seseorang kadang menjadi lupa dengan Al Qur’an yang telah dihafalnya. Harapan bagi para penghafal Al Qur’an agar dapat memilih profesi yg seiring dengan kewajiban menjaga Al Qur’an di qalbunya. Bahkan saat memilih jodoh pun harus ada komitmen agar terus menjaga dan mudawamah dengan Al-Qur’an. Jangan sampai karena himpitan ekonomi menjadikan penghafal Al Qur’an yang pendapatnya tergantung pendapatannya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Politik menjadi tantangan bahkan hambatan pejuang Islam. Acapkali kesibukan berorganisasi dan politik melalaikan tujuan awal perjuangan. Awalnya hanya untuk mengimbangi dinamikan sosial, tapi selanjutnya kadang terhanyut iming-iming politik yang bertolak belakang dengan misi perjuangan yang ada dalam Al Qur’an. Tak terkecuali penghafal Al Qur’an menjadi lupa untuk menjaganya bahkan kadang lengah utk mengamalkannya.
Khotmil Qur’an wisudawan penghafal Al Qur’an. (Foto: Dok: M. Cholil Nafis. h)
zoom-in-whitePerbesar
Khotmil Qur’an wisudawan penghafal Al Qur’an. (Foto: Dok: M. Cholil Nafis. h)
Harapan besar saya kepada penghafal Al Qur’an utk menjadi hamilul qur’an, yaitu pembawa misi Al Qur’an untuk membangun peradaban di alam semesta wallahu walit taufiq wal hidayah.
Khotmil Qur’an wisudawan penghafal Al Qur’an. (Foto: Dok: M. Cholil Nafis. h)
zoom-in-whitePerbesar
Khotmil Qur’an wisudawan penghafal Al Qur’an. (Foto: Dok: M. Cholil Nafis. h)