Puasa dan Persaudaraan

KH M. Cholil Nafis
Dosen Tetap Program Doktor FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah Depok
Konten dari Pengguna
29 Mei 2019 21:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KH M. Cholil Nafis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat saya dipersilakan untuk menyampaikan tausiyah pada acara buka puasa bersama di keluarga besar Badan Intelijen Negara (BIN), saya dipanggil oleh pembawa acara seraya dijelaskan soal waktu magrib yang jatuh pada pukul 17.47 WIB.
ADVERTISEMENT
Saat saya berdiri di balik podium, setelah mengucapkan salam dan menyapa pimpinan BIN, saya langsung menyampaikan bahwa penceramah menjelang berbuka puasa harus tahu diri sebagaimana pewarta acara meminta untuk menyesuaikan. Sebab, apabila penceramah tak berhenti saat magrib tiba, tak mungkin ada jemaah yang mendengarkan.
Umat muslim itu paling disiplin kalau sudah memasuki waktu buka puasa. Bahkan telah bersiap sebelum waktunya tiba dengan aneka hidangan. Seandainya umat muslim sedisiplin berbuka puasa, maka Islam di seluruh dunia akan maju. Tanda-tanda negara maju adalah yang menghargai waktu dan bekerja tepat waktu.
Bertausiah dalam acara buka puasa bersama Badan Intelijen Negara. Foto: Dok. Pribadi
Buka puasa bersama di Indonesia adalah akomodasi keagamaan dengan kearifan lokal. Di mana ibadah buka puasa dan memberi buka puasa kepada orang lain menjadi sarana silaturahmi untuk mengeratkan hubungan persaudaraan dan persatuan. Acara buka bersama dapat mengundang atau dihadiri oleh orang yang tak berpuasa, namun ikut berbuka puasa bersama dalam rangka mengikat tali persaudaraan sebangsa dan se-Tanah Air.
ADVERTISEMENT
Tak sedikit dari ritual buka puasa yang dihadiri oleh non-muslim, baik itu acara buka puasa kenegaraan atau pertemanan. Itulah saat ibadah menjadi sarana perekat persatuan sesama manusia yang hidup dalam satu negara. Tak jarang juga dalam acara buka bersama hadir perwakilan dari negara sahabat.
Maka dari itu, ritual puasa telah diwajibkan sejak nabi-nabi terdahulu meskipun dengan format yang berbeda. Intinya, puasa itu latihan bagaimana seseorang mau melepas ego, amarah, dan kebenciannya menjadi cinta antara sesama. Makanya, saat seseorang berpuasa, tak boleh melayani kemarahan dirinya dan orang lain, cukup berikrar bahwa dirinya dalam keadaan berpuasa.
Ilustrasi berbuka puasa bersama. Foto: Antara/M. Agung Rajasa
Terakhir dari kewajiban puasa adalah zakat fitrah, lantaran seseorang yang sudah tuntas dari latihan Ramadan kembali menjadi fitrah, yaitu kembali pada kejadiannya yang suci. Maka zakat fitrah itu jadi pertanda seseorang telah membuang kotoran dalam jiwanya.
ADVERTISEMENT
Semangat persatuan, perdamaian, dan persaudaraan dipupuk oleh ibadah puasa selama bulan Ramadan yang disempurnakan dengan puasa enam hari di bulan Syawal. Mudah-mudahan puasa kita diterima oleh Allah Swt., dan jiwa kita benar-benar kembali fitrah.
Bersama tim BIN. Foto: Dok. Pribadi