Wakil

KH M. Cholil Nafis
Dosen Tetap Program Doktor FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah Depok
Konten dari Pengguna
2 Oktober 2019 17:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KH M. Cholil Nafis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bedah buku yg berjudul,'Mendamaikan Syariah & NKRI'. Foto: Dok. KH M. Cholil Nafis
zoom-in-whitePerbesar
Bedah buku yg berjudul,'Mendamaikan Syariah & NKRI'. Foto: Dok. KH M. Cholil Nafis
ADVERTISEMENT
Wakil itu yang bisa memelihara dan melaksanakan. Orang bisa mewakilkan manakala dirinya bisa melaksanakan lalu ia menyerahkannya kepada orang lain. Nah, orang yang mewakili itu harusnya orang yang bisa melaksanakan pekerjaan yang ia terima sebagai wakil.
ADVERTISEMENT
Siang ini, saya menjadi wakil dari Kiai Ma’ruf Amin yang seyogyanya beliau menyampaikan keynote speaker di Universitas Budi Luhur Jakarta. Acaranya, bedah buku yg berjudul 'Mendamaikan Syariah & NKRI'.
Buku ini adalah karya Dr. Fahlesa Munabari. Buku ini terjemahan disertasinya di University of New Sout Wales, Australia.
Bedah buku yg berjudul,'Mendamaikan Syariah & NKRI'. Foto: Dok. KH M. Cholil Nafis
Berikut catatan Kiai Ma’ruf Amin yang saya bacakan sambil saya beri syarah seperlunya.
Keynote speech bedah buku 'Mendamaikan Syariah dan NKRI' Universitas Budi Luhur Jakarta, Rabu (2/10).
Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yang saya hormati Rektor Universitas Budi Luhur, Dr. Wendi Usino, dan jajaran pimpinan universitas. Dekan FISIP Universitas Budi Luhur, Rusdyanta, M.SI; penulis buku 'Mendamaikan Syariah dan NKRI', Fahlesa Munabari, PH.D.
ADVERTISEMENT
Pembedah buku, Prof. Dr. Zulfikli, Wakil Rektor 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Prof. DR. Aleksius Jemadu, PH.D, Guru Besar Hubungan Internasional, Universitas Pelita Harapan.
Anak-Anakku para mahasiswa dan hadirin sekalian, saya sampaikan selamat kepada Doktor Fahlesa Munabari, atas peluncuran buku yang berasal dari disertasinya di University of South Wales, Australia ini.
Dengan penerbitan dalam bentuk buku, dengan distribusi yang lebih luas, dan dengan diterjemahkan dari disertasi Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia, diharapkan buku ini memberi manfaat lebih luas bagi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Buku yang mengkaji gerakan Forum Umat Islam (FUI), yang beranggotakan Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ini, memberi sumbangsih berarti dalam memperkaya kajian gerakan sosial Islam di Indonesia, khususnya era reformasi.
ADVERTISEMENT
Bagi MUI, analisis dan informasi mendalam tentang apa yang disebut buku ini sebagai gerakan revivalis, penting untuk memberi update dinamika sebagai bahan pertimbangan dan bahan perbandingan dalam merumuskan dan memperbarui strategi gerakan MUI, sebagai khadimul ummah wa shadiqul hukumah, pelayan umat dan mitra pemerintah.
Tentang penerapan syariah dalam kerangka NKRI, saya menjalankan strategi yang sedikit berbeda dengan apa yang dijalankan gerakan yang dikaji dalam buku ini. Bertahun-tahun berkiprah di MUI dan PBNU, sampai menjadi pimpinan, saya mengedepankan strategi penerapan syariah  yang lebih membawa maslahah, bagi kehidupan kebangsaan dan keagamaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia
Titik pijak saya adalah, bahwa NKRI ini merupakan hasil kesepakatan aspirasi kenegaraan beragam golongan. Bila disederhanakan, ada dua golongan utama yang pandangannya berseberangan. Pertama, golongan nasionalis yang menginginkan model negara kebangsaan sekuler. Kedua, golongan Islam yang menghendaki negara Islam, atau bukan negara Islam, tapi Islam menjadi agama resmi, atau negara menjamin penerapan syariat Islam, sebagai ajaran yang dipeluk sebagian besar penduduk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Titik temu akhirnya bisa dicapai, setelah disepakati, bahwa Pancasila adalah dasar negara dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional. Bagi kaum nasionalis, Pancasila adalah wujud negara kebangsaan yang religius. Sementara bagi kaum muslim, Pancasila adalah potret negara kebangsaan yang bertauhid, karena sila pertama berbunyi, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pancasila mampu menjadi titik temu (kalimatun sawa). Sedangkan UUD 1945 berisi kesepakatan nasional (ittifaqat wathaniyah), bahwa bentuk negara adalah republik, bukan khilafah, kerajaan atau keamiran.
Dalam perspektif Islam, dikarenakan NKRI ini hasil kesepakatan, ada yang menyebutnya sebagai Darus Shuluh (negara perdamaian) atau Darul ‘Ahdi was Syahadah (negara perjanjian dan kesaksian). Saya lebih suka menyebutnya Darul Mitsaq (negara perjanjian).
Istilah mitsaq disebut dalam Surat An-Nisa’ ayat 92, wa in kana min qawmin bainakum wa bainahum mitsaqun fadiyatun musallamatun ila ahlihi:
ADVERTISEMENT
‎وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ
Umat Islam diajarkan untuk berkomitmen menjaga kesepakatan atau memenuhi perjanjian, al-muslimuna ‘ala syurutihim. Pancasila telah mengompromikan aspirasi Islam dan kebangsaan. Dari sudut pandang keilmuan Islam, hal itu terselesaikan karena digunakan pendekatan al jam’u wat taufiq (kombinasi dan sinkronisasi). Kompromi menjadi jalan keluar, sehingga NKRI terbangun.
Di luar negeri, masih ada negara yang belum bisa mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan persoalan mendasar kenegaraannya. Bahkan ada yang harus diselesaikan dengan cara perang. Alhamdulillah, persoalan fundamental kenegaraan Indonesia bisa diselesaikan, dengan pencarian solusi bersama sehingga menjadi konsensus nasional. Ini patut disyukuri, antara lain, dengan menjaga kesepakatan.
Implementasi Syariah dalam Kerangka Mitsaq
Islam di Indonesia hakikatnya sama dengan Islam di Timur Tengah, tempat asal ajaran Nabi Muhammad ini. Sumber dan ajarannya sama. Perjuangannya untuk menuju penerapan Islam kaffah juga sama. Hanya saja, Islam di Indonesia memiliki nilai plus, yakni Islam kaffah ma’al mitsaq, menerapkan Islam secara utuh dalam kerangka kesepakatan, yang berpijak pada Pancasila dan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Dalam bingkai berpikir ini, konsep khilafah tertolak. Apakah karena tidak Islami? Bukan. Bagi saya, khilafah itu Islami. Pernah ada dalam sejarah Islam. Bukan hanya khilafah yang Islami, kerajaan (mamlakah), keamiran (imarat), atau republik, juga bisa dibenarkan dalam Islam.
Kerajaan di Arab Saudi, Jordania, Brunei Darussalam, dan Malaysia, dibenarkan ulama setempat. Begitu juga keamiran di Qatar, Uni Emirat Arab, dan Kuwait, serta Republik di Pakistan, Iran, Turki, Mesir, dan sebagainya, juga Islami.    
Maka itu, di Indonesia, konsep khilafah bukan ditolak, tapi tertolak. Jika ditolak, artinya, ia secara konseptual bisa masuk, namun ditolak. Kalau tertolak, secara konseptual tidak bisa masuk, maka tertolak dengan sendirinya, karena menyalahi kesepakatan, bertentangan dengan mitsaq (mukhalafatul miitsaq).
ADVERTISEMENT
Begitu pula dengan konsep mamlakah dan imarat, tertolak di Indonesia. Karena di Indonesia sudah ada kesepakatan. Bentuk negara adalah republik. Negara dipimpin presiden, bukan khalifah.
Sistem khilafah tertolak di NKRI, bukan berarti syariat Islam juga tertolak masuk sistem hukum nasional. Sebagai negara berketuhanan, Indonesia terbuka menyerap syariah. Dan itu sudah berjalan lama. Hukum Islam bahkan dijadikan salah satu sumber hukum nasional, selain hukum adat dan hukum Barat.
Tentu saja, penyerapan syariah dalam sistem hukum Indonesia, tetap dalam kerangka mitsaq, dalam bingkai NKRI, yang berbasis demokrasi dan konstitusi. Syariah bisa menjadi hukum positif setelah diproses melalui sistem legislasi (taqnin) yang disepakati sebagai legal policy.
Sudah banyak UU bermuatan syariah yang disahkan. Ada UU Haji, UU Wakaf, UU Zakat, UU Perkawinan, UU Perbankan Syariah, UU yang memayungi Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah, UU Surat Berharga Syariah Negara, UU Jaminan Produk Halal, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Orientasi penerapan syariah dalam NKRI adalah dengan memasukkan nilai dan norma hukum Islam dalam sistem hukum nasional, melalui mekanisme demokratis dan konstitusional. Bukan dengan mengubah bentuk negara NKRI menjadi negara Islam, termasuk khilafah. Ini adalah ekspresi cara berpikir moderat, wasathiyah, dalam negara yang majemuk.  
Model Penerapan Syariah
Penerapan syariah di Indonesia setidaknya berlangsung dalam empat model. Tiga model pertama, berlangsung di level negara. Model keempat berlangsung di tingkat masyarakat.
Model pertama, penerapan syariah melalui jalur peraturan perundang-undangan (regelling), baik level UU maupun peraturan pelaksana di bawahnya, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, atau Peraturan Kepala Daerah.
Model kedua, penerapan dalam bentuk ketetapan atau keputusan pejabat administrasi negara (beschikking), seperti penetapan status lembaga keuangan syariah berdasarkan fatwa MUI atau penetapan kehalalan produk oleh menteri, berdasarkan fatwa MUI, dan banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Ketiga, penerapan melalui juga jalur putusan hakim (yurisprudensi) pada perkara bermuatan agama yang merujuk keahlian ulama. Keempat, penerapan syariah secara langsung di masyarakat, menjadi hukum yang hidup (living law), terutama pada syariah jenis ibadah mahdhah, seperti shalat, puasa, zakat, pembagian waris, dan sebagainya.  
Model penerapan syariah dengan berbagai jalan itu oleh MUI telah lama diperankan dengan dukungan Komisi Fatwa. MUI secara regular dan insidental mengeluarkan fatwa untuk memberi solusi keagamaan atas kasus-kasus aktual, yang dijadikan rujukan norma atau nilai hukum Islam, oleh negara dalam merumuskan kebijakan, dan dijadikan pedoman masyarakat dalam kehidupan keseharian.
Bukan hanya rujukan negara, banyak juga lembaga yang berkomitmen menerapkan prinsip syariah atau standar halal tanpa jalur negara, merujuk dari fatwa MUI.
ADVERTISEMENT
Misalnya, dalam bidang pariwisata halal, dunia usaha hotel syariah, pelayanan kesehatan atau layanan rumah sakit atau tindakan medis sesuai syariah, bahkan juga penyiaran televisi sesuai syariah. Terbentang banyak jalan dan skenario penerapan syariah yang bisa ditempuh.
Bukan Kontra Syariah, Tapi Pro-Syariah Ma’al Mitsaq
Sumbangsih model gerakan yang kami jalankan dalam mendukung penerapan syariah ini tidak kalah dan jauh lebih efektif dibandingkan dengan elemen-elemen yang oleh buku ini disebut sebagai gerakan sosial pro-syariah dengan strategi aksi massa demonstratif.
Apa yang dilakukan MUI, NU, Muhammadiyah dan sejumlah Islam moderat lainnya, bukanlah kontra syariah. Mereka juga menghendaki penerapan syariah secara kaffah, namun kafah ma’al mitsaq, yakni bergerak dalam kerangka NKRI, Pancasila, dan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Demikian, semoga bermanfaat.
Wassalamualaikum wr wb
ttd
Prof. Dr. (HC). KH. Ma’ruf Amin