Gempa Lombok: Status Bencana Nasional, Tunggu Apa Lagi?

Khairul Fahmi
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)
Konten dari Pengguna
9 Agustus 2018 14:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairul Fahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gempa Lombok (Foto: Twitter/@Sutopo_PN)
zoom-in-whitePerbesar
Gempa Lombok (Foto: Twitter/@Sutopo_PN)
ADVERTISEMENT
Hari ini bersama rekan-rekan relawan #temannyawisatawan, saya menengok kawasan yang paling terdampak bencana Gempa Lombok, yaitu Kabupaten Lombok Utara (KLU). Tanjung, pusat pemerintahan dan perdagangan di kabupaten termuda di NTB ini berjarak sekitar 81 km dari ibukota provinsi, Mataram.
ADVERTISEMENT
Kami memilih jalur barat menyusur pantai. Sepanjang perjalanan, pemandangan pantai yang cantik tak lagi mampu memesona. Bangunan yang tak lagi utuh, rumah-rumah warga yang porak-poranda rata dengan tanah, terlalu menusuk hati. Pemandangan pantai yang cantik tak lagi mampu memesona.
Dalam perjalanan, tak terhitung beberapa kali kami berpapasan dengan ambulans. Entah mengangkut apa. Bisa jenazah, bisa juga korban luka berat yang harus dievakuasi untuk mendapat perawatan lebih memadai di Mataram.
Lalu lintas siang tadi cukup padat. Tak jarang terhenti cukup lama. Hari ini sepertinya arus bantuan untuk para korban mulai meningkat. Terutama yang dikirim para dermawan dan relawan kemanusiaan dari luar pulau.
Menjelang magrib, kami tiba di Tanjung. Sebagian besar kawasan masih gelap gulita. Lapangan luas di pusat kota, dipenuhi tenda-tenda besar untuk para pengungsi. Di sini pula, posko utama penanggulangan bencana didirikan.
ADVERTISEMENT
Toko-toko di sekeliling lapangan, tak satupun yang buka. Begitu juga warung makan. Padahal di hari-hari sebelum bencana datang, Tanjung selalu beraroma ikan laut. Kota ini terkenal dengan menu sate ikannya yang lezat. Penjualnya bertebaran di berbagai sudut.
Hari ini angin membawa aroma yang berbeda. Bau anyir darah tak jarang tercium. Pencarian dan evakuasi korban-korban yang tertimbun reruntuhan memang masih terus berlangsung. Entah masih berapa banyak lagi.
Evakuasi pascagempa di Desa Wadon, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, NTB, Senin (6/8).   (Foto: ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/aww/18.)
zoom-in-whitePerbesar
Evakuasi pascagempa di Desa Wadon, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, NTB, Senin (6/8). (Foto: ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/aww/18.)
Sampai hari ini saja, 381 orang telah dinyatakan meninggal dunia dan dari jumlah itu, 347 orang tercatat di KLU. Korban luka-luka berjumlah 1.033 orang, dan 672 orang di antaranya menderita luka berat.
Sementara itu, sedikitnya 270 ribu orang kini berada di pengungsian, termasuk anak-anak, perempuan dan para lanjut usia. Tak dapat dipastikan, sampai kapan mereka masih harus berada di pengungsian. Jika melihat banyaknya rumah yang rata dengan tanah, tampaknya masih akan cukup lama.
ADVERTISEMENT
Lombok bukanlah pulau yang besar seperti Jawa. Angka korban jiwa, jumlah pengungsi dan kerugian materiil yang tercatat sampai hari ini, bisa dikatakan cukup serius. Lebih dari separuh warga KLU yang selamat dari dampak gempa bumi harus mengungsi.
Bantuan kebutuhan hidup dan relawan kemanusiaan memang masih terus berdatangan. Para penyintas bencana harus ditangani dengan baik hingga hidup mereka normal kembali. Tapi empati dan uluran tangan itu tetap saja berbatas waktu.
Pemerintah Provinsi NTB dengan segala kemampuan dan keterbatasannya, terus bekerja. Bersama pemerintah kabupaten dan kota terdampak, mereka mengoordinasikan penanggulangan bencana di fase tanggap darurat ini. Tapi masih ada dua fase lagi yang harus dilalui, yaitu fase rehabilitasi dan kemudian dipungkasi dengan rekonstruksi.
ADVERTISEMENT
Banyak pihak meragukan kemampuan pemerintah daerah menanganinya sendirian. Perhatian pemerintah pusat secara strategis diperlukan. Tak cukup hanya ditandai dengan penunjukkan Menteri Koordinasi Politik Hukum dan HAM, Wiranto, untuk mengoordinasi.
Ingat, bencana adalah ketidakpastian. Sesuatu yang jelas tak disukai siapapun. Artinya, ini kemudian adalah soal bagaimana pemerintah dan masyarakat keluar dari ketidakpastian yang dicemaskan.
Saya berangkat dari hipotesis bahwa ketidakpastian dalam durasi yang panjang selalu berpotensi melahirkan krisis dan konflik. Artinya, akan ada potensi gangguan keamanan negara baik intensitas rendah hingga tinggi.
ADVERTISEMENT
Ini mungkin terkesan berlebihan dan tak terbayangkan. Tapi melihat geliat potensi kekerasan ekstrem dan fakta empiris masih tingginya angka kejahatan di daerah ini, kita harus berpikir serius.
Selain itu, adanya opsi yang dapat menjadi pijakan untuk mereduksi dampak turunan dari potensi suramnya sektor pariwisata yang menjadi tumpuan pendapatan utama daerah ini, jika krisis keamanan terjadi dalam durasi panjang dan empati maupun strategi lokal saja tak lagi memadai, memang sangat penting dan mendesak.
Karenanya, sebelum penanggulangan bencana ini berkembang menjadi persoalan sosial ekonomi yang lebih rumit hingga meningkatkan potensi gangguan keamanan serius, semoga hal ini menjadi perhatian para pemangku kebijakan.
------------------------------------------------
Tanjung, dini hari 09 Agustus 2018
Khairul Fahmi
Pemerhati masalah pertahanan dan keamanan ISESS. Putera Lombok, berdomisili di Jakarta.
ADVERTISEMENT