Polemik Mutasi TNI dan Nasib Edy Rahmayadi

Khairul Fahmi
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)
Konten dari Pengguna
20 Desember 2017 5:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairul Fahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 7 Desember 2017 lalu, Panglima (saat itu) Jenderal Gatot Nurmantyo sudah mengatakan, tidak akan menggelar pelantikan atau serah terima jabatan bagi perwira-perwira yang dimutasi. Alasannya, agar panglima baru nantinya memiliki kesempatan untuk mengevaluasi keputusan tentang pemberhentian dan pengangkatan dalam jabatan di lingkungan TNI yang ia buat sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Tak ada aturan yang melarang seorang Panglima TNI mengambil keputusan dan mengeluarkan perintah pada jajarannya, bahkan hingga pada menit-menit terakhir menjabat. Artinya, anggap saja keputusan Panglima TNI hari ini adalah hasil koreksi dan evaluasi atas keputusan sebelumnya.
Biasa saja itu, lha wong yang sudah di-SK sejak juli, baru dilantik November juga ada kok. Ada perwira yang sudah dipromosi sejak Februari tapi baru dinaikkan pangkatnya bulan November ya ada juga. Gaduh? Tidak.
Pernah ada juga perwira tinggi yang meski berulangkali terjadi proses mutasi/promosi, tetap saja berstatus perwira tinggi di Mabes TNI atau Mabes Angkatan alias non job, atau menjabat Staf Khusus yang kekhususannya tak jelas, entah karena apa, padahal pangkatnya hanya di bawah Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan.
ADVERTISEMENT
Di masa lalu, kita juga tahu ada perwira yang mengalami dua kali mutasi dalam kurun waktu 18 jam. Atau seperti Pak Ryamizard. Presiden Megawati menjelang akhir masa jabatan mengajukan namanya ke DPR RI untuk menjadi Panglima TNI menggantikan Endriartono Soetarto. Pengajuan itu dibatalkan begitu saja oleh Presiden berikutnya, SBY. Problem? Tidak.
Begitu juga sekarang. Ketika Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto kemudian memperbaiki keputusan/perintah panglima sebelumnya, ya boleh-boleh saja. Tak ada aturan yang ketat soal itu. TNI sudah sangat paham doktrin "perintah terakhir".
Tak ada kebingungan, karena dalam situasi dan kondisi apapun, perintah yang berlaku adalah perintah yang terakhir, dan harus dilaksanakan hingga ada perintah lain. Setiap perintah dikeluarkan, selalu dibarengi penegasan yang kurang lebih kalimatnya adalah "untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab". Selesai.
ADVERTISEMENT
Sudah waktunya kita membangun persepsi yang lebih masuk akal bahwa promosi/mutasi dan seputarnya, di TNI itu bukan hal yang sangat istimewa. Nggak perlu didramatisasi.
Masak isu ini setara dengan isu reshuffle kabinet? Padahal, jabatan-jabatan yang mengalami pergeseran itu, cuma setara eselon 1 ke bawah di kementerian. Selain menyangkut sosok bermasalah, koruptor atau pelanggar HAM misalnya, tak bisakah kita cukupkan dengan menyimak dan mengucapkan selamat dan terimakasih pada mereka yang mengalami pergeseran jabatan? Kok heboh amat.
Saya cuma khawatir, jangan-jangan kita ini sudah militeristis sejak dalam pikiran. Sehingga antusiasme kita terkait dinamika di tubuh TNI, kadang tampak berlebihan.
Menurut saya, jikapun harus ada yang dipersoalkan, itu adalah terkait nasib Jenderal Edy Rahmayadi. Yang bersangkutan diketahui sudah mengajukan permohonan pensiun dini sejak beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Permohonan itu terkait rencananya mengikuti kontestasi pilkada di Sumatera Utara. Sesuai aturan, seorang perwira TNI harus berhenti dari dinas aktif ketika mendaftar sebagai bakal calon kepala daerah ke KPU.
Pembatalan keputusan Panglima TNI terkait pemberhentian Edy, tentu saja memiliki konsekuensi. Pangkostrad ini bisa gagal mengikuti kontestasi. Cuma itu saja? Tentu tidak.
Edy adalah satu-satunya bakal calon Gubernur Sumut yang telah jelas partai pengusung dan wakilnya. Artinya, dia tentu saja sudah siap lahir batin untuk bertarung. Dan itu adalah hasil proses komunikasi politik yang tak sederhana.
Keputusan Panglima berpotensi memporak-porandakan hal itu. Imbas yang paling enteng bisa jadi adalah kekecewaan implisit di balik loyalitas seorang perwira. Imbas yang lebih berat adalah kegaduhan baru yang akan muncul. Apakah Gerindra, PAN dan Demokrat akan diam saja?
ADVERTISEMENT
Saya kira Panglima TNI harus bijak. Kenapa tak berfikir, mungkin perwiranya yang satu ini lebih bermanfaat bagi rakyat Sumatera Utara? Lagipula Edy belum tentu menang. Masih panjang prosesnya. Bisa saja justru figur lain yang terpilih.
Memang sih, adalah kewenangan Panglima untuk menolak maupun menyetujui. Namun saya kira Edy Rahmayadi juga bukan sosok yang luar biasa istimewa untuk digandoli di TNI. Stok pengganti yang mumpuni, bahkan bisa jadi yang lebih berkualitas banyak.
Seperti Mayor Agus Yudhoyono yang mundur dari ketentaraan untuk bertarung di Pilkada DKI lalu, Edy tentu saja paham konsekuensinya. Ini adalah point of no return.
Panglima, hati-hati. Ini nyerempet politik praktis lho...