TNI/Polri Jadi Pj Gubernur: Pertanyakan Urgensinya Bukan Netralitasnya

Khairul Fahmi
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)
Konten dari Pengguna
2 Februari 2018 0:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairul Fahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Isu penunjukan anggota TNI dan Polri sebagai pejabat kepala daerah menarik jika dikembangkan ke arah yang tepat. Belakangan ini, pemerintah dan publik sering gamang dalam memandang TNI dan Polri ini. Bagaimana standing Polri dan bagaimana TNI. Kadang mereka dianggap sama, kadang dianggap berbeda. Nah, ini bagian dari agenda reformasi yang belum tuntas.
ADVERTISEMENT
Kata netralitas sebenarnya hanya keren pada konteks politik praktis. Polri harus menunjukkan dirinya berjarak dari kepentingan maupun aktivitas politik selain terkait tugasnya, yaitu melakukan upaya pengamanan dan memastikan tak ada perbuatan melawan hukum dlm hal itu. TNI juga begitu, harus memastikan tak ada upaya-upaya yang bersifat merongrong kedaulatan negara.
Masalahnya kemudian, sulit bagi publik untuk memandang obyektif peran TNI/Polri ini. Sulit bagi TNI/Polri sendiri untuk secara fair berjarak dengan penguasa. Sulit bagi penguasa untuk tak tertarik melibatkan TNI/Polri dalam mengamankan kepentingannya.
Payung hukum mereka disusun di awal reformasi. UU yang mengatur peran TNI, sudah berusia 14 tahun. Sementara UU Polri bahkan sudah 16 tahun. Tentunya ada banyak situasi dan kondisi saat itu, yang sudah tak cukup relevan dengan saat ini. UU yang ada menjadi tak memadai lagi. Apalagi jika dikaitkan dengan perubahan yang terjadi pada aturan-aturan lain yang pada praktiknya beririsan dengan peran dan fungsi TNI/Polri ini.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks isu penjabat kepala daerah ini, memang tak ada UU yang secara tegas melarang maupun membolehkannya. Dulu mungkin tak masalah, karena TNI/Polri sendiri juga masih sangat berhati-hati dalam menyikapi situasi politik. Tapi saat ini tersedianya dukungan publik dan rezim membuat mereka lebih berani menafsir peran-peran yang bisa dilakukan.
Disini tampak bahwa ada kecenderungan praetorianisme menguat lagi seiring menguatnya dukungan publik maupun rezim thdp masing-masing lembaga ini, terkait pelibatan mereka dalam hal-hal yang mestinya bukan tugas pokok. Bagi Polri, ini kultur warisan yang mereka dapat terutama selama 32 tahun berada dalam payung lembaga yang bernama ABRI.
Kalau TNI sendiri, ini jelas historis. Militer yang lahir dari proses perjuangan/revolusi kemerdekaan cenderung berkarakter praetorian. Sulit memisahkan diri antara sebagai tentara profesional, atau sebagai pejuang. Karena itu, pelibatan mereka dalam event-event politik selalu dimaknainya sebagai sesuatu yang heroik, sebagai kontribusi terhadap keselamatan dan keutuhan bangsa dan negara.
ADVERTISEMENT
Ini menjadi masalah, karena bagaimanapun publik masih sulit untuk yakin bahwa pelibatan TNI dan Polri ini selalu didasarkan pada niat baik rezim yang berkuasa. Apalagi tak ada regulasi yang mengatur pelibatan itu secara ketat dan tegas, sementara rezim sebaik apapun, usianya paling banter 10 tahun.
Jadi, kita mestinya bukan mempertanyakan netralitas mereka. Tapi justru mempertanyakan motif pelibatan mereka. Benarkah sangat dibutuhkan?
Soal netralitas, seperti disampaikan di atas, itu sesuatu yang indah dikatakan, namun bisa buruk pada realitasnya. Netralitas tak perlu dipertanyakan. Dia cuma perlu dibuatkan aturan dan ditegakkan.
Ini bukan sesuatu yang baru terjadi hari ini. Sudah berulangkali, bukan hanya oleh rezim saat ini. Mengapa baru sekarang dipermasalahkan dan terkesan fokus pada polri? Padahal tak cuma Polri yang diminta. Inisiatif juga tak datang dari Polri, melainkan dari Kemdagri.
ADVERTISEMENT
Tapi sebenarnya, kenapa Kemdagri melibatkan mereka? Apakah tak ada Aparatur Sipil Negara yang kompeten mengemban jabatan itukah atau apa? Itu harus dipertanyakan.
Mestinya, jika memang dirasa perlu dengan memandang kebutuhan dan kemanfaatan, pemerintah menyiapkan dulu payung aturannya yang tegas dan jelas.
Menggunakan ketentuan-ketentuan terkait ASN yang tersedia saat ini saja tak cukup. Karena kedudukan Penjabat Kepala Daerah ini bukanlah sekadar jabatan pimpinan tinggi (eselon 1 atau 2) biasa. Kedudukan mereka bisa dibilang nyaris setara dengan kepala daerah definitif. Dan tentu saja konsekuensinya, peran-peran politik menjadi tak terhindarkan.
Karenanya harus ada batasan yang ketat soal pelibatan mereka. Apa haknya, apa kewajibannya, konsekuensinya, kewenangannya, bagaimana mekanisme penggunaannya, apakah berdasar usulan atau permintaan? Dan masih banyak lagi hal-hal yang perlu diatur rinci.
ADVERTISEMENT
Sebelum itu tersedia, pemerintah sebaiknya tak memaksakan diri melibatkan atau menggunakan TNI/Polri untuk mengisi kekosongan kepala daerah. Kurang elok.
Jika alasan pencegahan potensi konflik dan kerawanan yang digunakan, peran dan fungsi pembinaan teritorial TNI dan pembinaan kamtibmas Polri saja sudah bisa lebih dari cukup untuk mencegah. Tanpa perlu menempatkan TNI dan Polri sebagai pejabat kepala daerahpun hal itu tetap bisa dilakukan.
Berhentilah memerankan mereka sebagai Superhero. Apalagi untuk urusan yang berbau politik.