BLU Rumpun Pendidikan: Dilema Antara Kendala, Peluang, dan Tantangan

Khalidah Aini
Perencana Ahli Muda di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Konten dari Pengguna
20 Juni 2021 6:42 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khalidah Aini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Geliat BLU rumpun Pendidikan harus seimbangkan antara bisnis dan pelayanan masyarakat Foto: istockphoto
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Geliat BLU rumpun Pendidikan harus seimbangkan antara bisnis dan pelayanan masyarakat Foto: istockphoto
ADVERTISEMENT
Badan Layanan Umum (BLU) mencatat pertumbuhan signifikan di tahun 2020. Penerimaan dari BLU mencapai Rp 69,6 triliun atau 139 persen dari target Rp 50 triliun. Kinerja ini didorong oleh upaya sinergitas BLU bersama Kementerian/Lembaga dalam menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Catatan pertumbuhan ini sedikit banyak disumbang oleh BLU rumpun Pendidikan. Di rumpun ini, BLU juga terus tumbuh dan berkembang dalam menyediakan akses pendidikan yang mudah dan adaptif dengan kuliah daring.
BLU adalah bagian organisasi pemerintah yang berperan memberikan pelayanan publik langsung ke masyarakat. Karakter lain yang membedakan BLU dengan instansi lainnya adalah adanya otonomi dan independensi pengelolaan operasional baik dalam aspek finansial juga sumber daya manusia.
Di balik semua keunggulan dan harapan ini tidak bisa dipungkiri bahwa dalam pelaksanaannya BLU juga mengundang beberapa potensi permasalahan. Dalam tulisan ini khusus dibahas potensi permasalahan BLU di rumpun Pendidikan terkait pendapatan Akademik dan Non Akademik (Bisnis).
Untuk satuan kerja (satker) BLU rumpun Pendidikan ada beberapa permasalahan yang dihadapi. Diambil contoh adalah satker BLU Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) Riau.
ADVERTISEMENT
Pendapatan BLU UIN Suska setiap tahunnya mengalami peningkatan terutama dari pendapatan akademik, yaitu dari Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dibayarkan oleh mahasiswa. Namun peningkatan pendapatan tersebut juga sejalan dengan peningkatan jumlah layanan yaitu bertambahnya jumlah mahasiswa baru.
“Secara umum pendapatan itu juga akan habis untuk kegiatan operasional misalnya untuk gaji pegawai non PNS dan remunerasi. Untuk kebutuhan ini saja sudah mengambil dana yang cukup signifikan, di atas 80 persen". jelas Kepala Bagian Perencanaan/ Perencana Ahli Madya UIN Suska Riau, Safarin.
Jadi sisanya sekitar 20 persen itulah yang digunakan untuk kegiatan pengembangan pendidikan dan pengajaran, seperti untuk belanja alat tulis, kegiatan seminar, pelatihan, penelitian, dan lain sebagainya.
Ilustrasi Prinsip non profit oriented bermakna pendapatan yang diperoleh satker BLU digunakan semata-mata untuk peningkatan mutu pelayanan Foto: istockphoto

Berlomba-lomba Mengejar Peningkatan Pendapatan

Seorang gadis berjilbab hitam duduk termenung di baris ketiga tangga gedung rektorat sebuah kampus Islam terbesar di Sumatera. Di sampingnya duduk seorang wanita paruh baya berkerudung coklat. Di pangkuan wanita itu sebuah map berisi berkas-berkas tersusun rapi.
ADVERTISEMENT
Ibu dan anak itu ternyata sedang berusaha untuk mengurus permohonan penurunan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang akan dibayar di semester ganjil yang akan datang. UKT IV senilai 4,1 juta per semester dirasa terlalu berat untuk dibayar oleh ibu yang sehari-hari bekerja sebagai pengurus rumah tangga itu, sementara suaminya hanya bekerja sebagai buruh lepas.
Kejadian yang dialami oleh ibu dan putrinya ini cukup sering terjadi. Untuk mengejar peningkatan pendapatan, satker BLU Pendidikan seperti berlomba-lomba menambah kuota mahasiswa dan menambah level pembayaran UKT.
Hal ini cukup mengkhawatirkan. Awalnya penerapan UKT berjenjang itu muncul dari semangat berbagi, agar terjadi subsidi silang pembayaran UKT antara mahasiswa berekonomi baik mendapat UKT tinggi dan mahasiswa berekonomi lemah akan mendapat UKT rendah.
ADVERTISEMENT
Namun kenyataan di lapangan, saat ini kuota mahasiswa dengan UKT tinggi (UKT IV, V, dan seterusnya) semakin meningkat, sementara kuota untuk UKT rendah (UKT I, II dan III) dikurangi.
Dari sisi penerimaan BLU tentu menguntungkan, namun semangat awal untuk berbagi dan prinsip non profit oriented dalam pengelolaan keuangan BLU menjadi tidak tercapai. Bak lirik lagu Rhoma irama, yang kaya makin kaya yang miskin semakin miskin.
Peningkatan pendapatan selama ini belum bisa optimal karena masih dominan pada pendapatan akademik yang peruntukannya sudah jelas. Sumber pendapatan akademik bersumber dari UKT mahasiswa.
Peningkatan jumlah mahasiswa sarat dengan variabel-variabel lain seperti harus bertambahnya jumlah dosen, tenaga kependidikan, ketersediaan sarana prasana dan sebagainya. Pendapatan akademik ini bahkan sudah ada sejak kampus belum ditetapkan sebagai satker BLU.
ADVERTISEMENT

Langkah konkret apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pendapatan satker BLU?

Peningkatan pendapatan bisnis non-akademik menjadi kata kunci. Inilah yang menjadi tujuan diterapkannya pengelolaan keuangan BLU. Bagaimana caranya agar peningkatan pendapatan bisnis dikelola dengan baik, pada akhirnya berimbas pada kesejahteraan sumber daya manusianya termasuk peningkatan mutu layanan.
Saat ini dibutuhkan layanan-layanan pendukung yang sejalan dengan Tridarma Perguruan Tinggi yakni Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengembangan serta Pengabdian kepada Masyarakat.
Misalnya, kampus menjadi penyedia jasa sertifikasi kemampuan berbahasa Inggris. Dilakukanlah kerja sama dengan lembaga penyedia sertifikasi, lalu proses sertifikasi dilaksanakan di kampus. Biayanya dipungut dari pengguna jasa. Ini menjadi layanan tambahan dan boleh dibisniskan karena sejalan dengan visi perguruan tinggi.
Selain itu, pendapatan non akademik juga bisa didapat dari penyewaan gedung seperti aula, asrama untuk mahasantri Putra dan Putri. Apabila yang ikut program pembinaan mahasantri di Ma'had (pesantren kampus) meningkat tentu akan berdampak pada pendapatan sewa.
ADVERTISEMENT
Belum lagi kegiatan pengembangan pendidikan pengabdian dan penelitian, misalnya pemanfaatan laboratorium untuk penerbitan sertifikasi halal. Ini juga salah satu peluang karena kampus punya laboratorium dan SDM yang mumpuni. Kuncinya jasa yang ditawarkan harus berdaya saing, tidak kalah dengan produk dan jasa yang beredar di masyarakat.
Bersaing dengan produk dan jasa yang dikelola secara profesional di luar kampus memang tidak mudah. SDM yang ada di dalam kampus memiliki kewajiban utama untuk penyelenggaraan proses belajar mengajar, sementara bisnis BLU memerlukan pengelolaan yang serius namun tidak profit oriented, dua hal yang bertolak belakang.
Bila merekrut SDM profesional untuk mengelola bisnis, akan menambah pos belanja rutin karena bisnis belum menghasilkan. Di sinilah fleksibilitas pengelolaan keuangan BLU dapat berperan. Satker BLU dapat langsung mengelola pendapatannya tanpa harus disetor ke kas negara terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Semua potensi ini jika dikelola dengan baik bisa menjadi pendapatan BLU. Sesuai dengan tujuan dibentuknya satker BLU untuk kemandirian pendanaan melalui bisnis tanpa semata-mata berorientasi keuntungan. Dari pelayanan tambahan ini bisa diperoleh pendapatan baru yang akan berimbas juga nantinya pada kesejahteraan SDM.