Gen-Z Bertanya, Gen-X Menjawab: Kilas Balik Zaman Sebelum Adanya Internet

Khansa Nabila
An undergraduate Psychology student at Universitas Indonesia who loves to write.
Konten dari Pengguna
28 Maret 2022 21:30 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khansa Nabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Gen X dan Gen Z. Gambar diperoleh melalui proses editing yang dilakukan di platform Canva.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gen X dan Gen Z. Gambar diperoleh melalui proses editing yang dilakukan di platform Canva.
ADVERTISEMENT
Pada zaman sekarang yang serba internet ini, beranikah Anda untuk menantang diri Anda lepas dari internet selama 24 jam penuh?
ADVERTISEMENT
Bagi saya, saya yakin tidak semua mampu melakukannya.
Sandang, papan, pangan, dan jaringan. Internet bagai "kebutuhan keempat" setelah tiga kebutuhan primer. Sebagai seorang Gen-Z yang lahir pada tahun 2000-an, saya tidak membantah jika anak muda seperti saya disebut “terlalu terikat dengan internet”. Sebab, kini hampir semua hal butuh internet, terlebih lagi di masa pandemi yang memang meminimalisasi kontak langsung. Dari mencari hiburan di waktu senggang, untuk sekolah dan kuliah, hingga berinteraksi, bersosialisasi, transportasi, transaksi pembayaran, belanja, dan membeli makanan, semuanya butuh internet.
Saya kerap membayangkan bagaimana jika suatu hari internet benar-benar hilang dalam jangka waktu yang lama, kira-kira apa yang akan dilakukan oleh saya dan orang-orang, ya? Walaupun seketika lamunan saya buyar saat saya menyadari, bahwa orang-orang zaman dahulu, khususnya generasi X, tetap bisa bertahan hidup tanpa adanya internet.
ADVERTISEMENT
Meskipun memang keadaan saat zaman dulu dan sekarang jauh berbeda, tetapi setidaknya pernah ada suatu masa ketika internet memang tidak ada sama sekali. Hal inilah yang membuat saya tertarik untuk melakukan perbandingan antara kehidupan sebelum dan sesudah adanya internet, yang tentunya saya meminta bantuan penjelasan dari Pak Didi (nama samaran), ayah saya sendiri yang berusia 56 tahun.
Beberapa hari lalu, saya mewawancarai Pak Didi mengenai topik “Membandingkan Kehidupan Sebelum dan Setelah Adanya Internet”. Pak Didi masih aktif bekerja dan bersosialisasi di berbagai kegiatan. Walau usianya tak lagi muda, ia cukup mengikuti perkembangan zaman dan kegiatan-kegiatannya tersebut erat dengan internet. Pak Didi adalah salah satu orang “beruntung” yang menempuh dua zaman yang cukup berbeda, yakni zaman ketika masih belum ada internet dan zaman yang hampir semuanya bergantung pada internet.
ADVERTISEMENT
Pak Didi menyebut bahwa ia mengenal internet sejak tahun 2000-an, saat internet memang baru masuk Indonesia. Pekerjaan di perusahaan teknologi seakan menjadi privilege bagi Pak Didi untuk mengenal internet sedari awal kemunculannya. Secara umum, Pak Didi mengungkapkan bahwa ia merasakan dampak positif dari adanya internet, seperti pekerjaannya menjadi lebih mudah serta informasi yang didapat lebih banyak dan cepat. Namun, ia menyayangkan internet juga mengurangi interaksi sosial yang ada sebelumnya.
Saya menjadi penasaran dan ingin mengetahui secara lebih mendalam mengenai perbandingan dua zaman tersebut menurut sudut pandang Pak Didi. Pak Didi pun dengan senang hati menjelaskannya. Ia menceritakan perbedaan kedua zaman itu secara bertahap, dari pengalaman masa kecil hingga ia dewasa.
ADVERTISEMENT
Saat masih kanak-kanak, Pak Didi senang membaca buku. Ia bahkan rela menghabiskan waktunya di perpustakaan yang jauh sebanyak empat kali dalam seminggu. Saat itu, perpustakaan menjadi satu-satunya tempat untuk membaca banyak buku. Sebenarnya, selain buku, ada berbagai alternatif lain untuk mendapat informasi, yakni radio dan televisi. Namun, kedua hal tersebut juga masih terbatas, tidak semua orang memilikinya dan hal yang disuguhkan masih sedikit, seperti saluran televisi yang hanya TVRI.
Informasi lainnya yang bisa didapat dengan mudah bagi Pak Didi adalah informasi mulut ke mulut. Misalnya, cara merakit mainan sederhana ia pelajari dari teman-teman rumahnya. Orang tua pun juga memberikan informasi, berita, atau wejangan dengan cara mengumpulkan anak-anaknya dan membicarakannya langsung. Apabila orang tua ingin anaknya mengetahui informasi yang lebih banyak, biasanya orang tua langsung memberikan buku dan meminta anak-anaknya membaca hingga selesai.
ADVERTISEMENT
Pak Didi pun menambahkan, dahulu apapun yang dikatakan oleh orang tua atau guru adalah sesuatu yang menjadi ilmu dan tidak pernah dibantah. Namun sekarang, Pak Didi merasa bahwa anak muda masa kini bisa mencari ilmu sendiri di internet secara cepat dan praktis, sehingga komunikasi yang terjadi kepada orang yang lebih tua menjadi lebih dua arah, bisa membantah, menambah, atau bahkan anak muda yang justru mengajari suatu pengetahuan kepada orang tua.
Pak Didi lanjut bercerita mengenai kehidupannya saat mulai tumbuh dewasa, ketika ia banyak melakukan sosialisasi. Biasanya, ia memulai pertemanan dengan belajar bersama lalu dari sanalah ia berkumpul dan berinteraksi dekat dengan teman-temannya. Berbeda dengan berkenalan di zaman sekarang yang bisa dengan orang-orang dari berbagai daerah berbeda lewat media sosial seperti Facebook, dulu pertemanan butuh proses panjang. Ia harus bertemu di beberapa kesempatan untuk menjadi teman dekat. Sekarang, tiap orang bisa saling menyapa satu sama lain, chatting di internet, serta bisa langsung berteman baik.
ADVERTISEMENT
Ia juga menceritakan bagaimana proses menjalin hubungan asmaranya dulu. Zaman dahulu, pacaran dengan mengobrol dan bertemu belum tentu bisa dilakukan tiap hari karena kesibukan masing-masing dan akses komunikasi yang tidak sepraktis zaman sekarang. Oleh karena itu, ia harus membuat janji terlebih dahulu dengan pasangannya untuk bertemu dan biasanya baru bisa dilakukan pada hari Sabtu malam. Itulah mengapa istilah “Malam Minggu” begitu dikenal pada zamannya.
Ilustrasi perbedaan malam minggu Gen X dan Gen Z. Gambar diperoleh melalui proses editing yang dilakukan di platform Canva.
Jalan-jalan pergi ke suatu tempat pun, baik dengan teman atau pacar, juga tidak semudah zaman sekarang. Informasi mengenai tempat yang ingin didatangi masih terbatas karena tidak ada akses untuk mengetahui rekomendasi tempat nongkrong semudah yang sekarang. Aplikasi transportasi online yang tinggal pesan dan siap antar masih belum ada sehingga tamasya tidak bisa yang terlalu jauh, perlu pertimbangan akan kesediaan transportasi yang masih sangat sedikit dan susah ditemui. Pilihan lainnya adalah memakai sepeda atau motor ke berbagai tempat, tetapi itu pun juga tidak semua memilikinya. Selain itu, belum tentu semua orang memahami arah menuju suatu tempat, terlebih belum ada Google Maps yang bisa memandu perjalanan.
ADVERTISEMENT
Begitu juga dengan hiburan. Berbeda dengan saya yang bisa langsung membuka aplikasi streaming musik Spotify, Pak Didi muda harus menabung dan membeli kaset untuk mendengarkan musik. Itu pun susah didapat dan cukup mahal. Pak Didi mengaku bersyukur zaman sekarang musik mudah ditemukan di internet. Namun, baginya, hal yang hilang adalah rasa kebanggaan mengoleksi kaset yang sekarang tergantikan aplikasi.
Pak Didi lanjut menjelaskan bagaimana internet memengaruhi dunia kerja. Dahulu, pekerjaan rumit untuk diselesaikan, pendataan dilakukan secara manual, serta informasi harus diingat dengan baik. Sekarang, internet menjadikan pekerjaan menjadi lebih efektif dan akurat, hasil semakin canggih, kesalahan berkurang karena banyaknya informasi dan panduan yang bisa diakses sepanjang waktu, terlebih sekarang bisa merekam jejak kesalahan sehingga bisa langsung diperbaiki. Pekerjaan pun hemat kertas lalu bisa dilakukan secara online dan fleksibel. Jika ada kebutuhan mendesak, hal itu bisa langsung disampaikan lewat WhatsApp atau surat elektronik sehingga tidak memerlukan alur komunikasi yang ribet.
ADVERTISEMENT
Namun, dampak negatif juga muncul, seperti kurangnya interaksi dengan rekan kerja. Pertemuan langsung hanya dilakukan sesekali. Acara keakraban tahunan juga tidak mendorong untuk keakraban, justru semua sudah sibuk dengan gawai masing-masing, bahkan seakan menjadi "pengugur kewajiban" acara tahunan kantor saja. Terkadang, Pak Didi merasa sendirian karena sedikitnya interaksi yang ada. Bahkan, dunia yang serba internet membuatnya memiliki perasaan takut tertinggal dari orang lain yang mudah membicarakan hal yang up to date.
Ia merasa perlu adaptasi dengan kecanggihan teknologi, seperti dengan terus aktif berinternet dan mencari pengetahuan yang ia butuhkan agar tidak terlihat “gaptek” dan bisa mengikuti perkembangan informasi. Cepatnya informasi di internet juga mendorong banyaknya hoax dan bisa memicu perdebatan atau salah paham antara dirinya dan anggota lain. Pak Didi pun menyebut bahwa bersikap bijak dalam berinternet menjadi kunci mengatasi hal ini.
Ilustrasi berkurangnya interaksi dalam acara keakraban setelah adanya internet. Gambar diperoleh melalui proses editing yang dilakukan di platform Canva.
Pembicaraan dengan Pak Didi membuat saya menyadari betapa bedanya zaman sebelum dan sesudah adanya internet. Bagi saya, kesempatan untuk melewati kedua zaman itu sekaligus terdengar seru karena dapat mencoba berbagai hal yang menarik di semua zaman, tetapi juga banyak tantangannya tersendiri. Saya sebagai Gen Z yang sedari lahir sudah ditemani internet pun menjadi memikirkan bagaimana jika saya harus melewati masa transisi tersebut seperti Pak Didi, mungkin saya akan memakan banyak waktu untuk menyesuaikan diri.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kehadiran internet telah mengubah banyak hal, baik positif maupun negatif. Internet menawarkan berbagai kemudahan dan kepraktisan serta mampu mendekatkan yang jauh. Namun, internet juga bisa menjauhkan yang dekat karena berkurangnya interaksi langsung. Internet juga mendorong seseorang terpacu untuk terus up to date agar tidak merasakan perasaan tertinggal seperti apa yang diceritakan oleh Pak Didi. Adaptasi pun diperlukan pada kecanggihan internet yang cepat sekali perkembangannya. Terakhir, saya setuju dengan Pak Didi bahwa internet rentan akan munculnya informasi yang salah. Untuk hal itu, sudah sepatutnya kita berlaku bijak dan kritis sebagai pengguna internet agar jauh dari dampak negatif.
Lalu, setelah melakukan perbandingan pada dua zaman tersebut, menurut Anda apakah internet memang tetap cocok disebut sebagai bagian kebutuhan primer dari tiap orang?
ADVERTISEMENT