Ironi Minyak Goreng

Negeri ini penuh ironi. Negeri yang punya segalanya, tetapi kekurangan banyak hal. Indonesia punya laut amat luas, tetapi isinya yang melimpah tidak membuat nelayan kaya. Nelayan tetap berbalut wajah lama: miskin dan tidak berdaya. Kita punya gas melimpah, tapi pabrik pupuk kelimpungan, bahkan beku operasi karena kesulitan gas. Kita juga memiliki aneka sumber energi baru terbarukan (EBT), tetapi sumbangannya dalam bauran energi nasional masih secuil. Padahal, EBT jadi tumpuan wilayah yang tak dapat pasokan setrum PLN.

Kini, ironi lain yang berlangsung berbulan-bulan adalah minyak goreng. Harga minyak goreng curah pada Januari 2021, merujuk Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, sebesar Rp13.600/kg. Per 5 Desember 2021, harga menjadi Rp17.750/kg atau naik 30,5%. Pada periode yang sama, harga minyak goreng kemasan bermerek I melonjak dari Rp15.150/kg menjadi Rp19.400/kg (naik 28,1%) dan minyak goreng kemasan bermerek II naik dari Rp14.400/kg jadi Rp18.900/kg (naik 30,6%). Roller coaster harga ini masih mungkin terus berlanjut.

Kenaikan harga minyak goreng sebenarnya terjadi sejak September 2020. Jika dikalkulasi dari Januari 2020 hingga 5 Desember 2021, harga minyak goreng curah naik 40,3%, minyak goreng kemasan bermerek I naik 33,3%, dan kemasan bermerek II meroket 36,9%. Seperti layang-layang putus, harga minyak goreng bergerak liar, tak ada yang bisa mengendalikan. Rakyat, yang letih didera pandemi COVID-19, kehilangan kata-kata untuk menghadapi ironi ini. Bagaimana mungkin negara produsen CPO terbesar di dunia rakyatnya bisa teraniaya?