Politik Hantu: Menelisik Kehadiran Buzzer Politik dalam Pemilu 2024

Konfridus R Buku
Dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula Ende
Konten dari Pengguna
8 Desember 2023 14:10 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Konfridus R Buku tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Buzzer. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Buzzer. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dinamika politik di Indonesia akhir-akhir ini kian memanas dengan ditabuhnya genderang politik sejalan dengan telah dimulainya masa kampanye pada 28 November 2023. Berbagai isu-isu politik telah mulai ditebarkan di mana-mana dalam rangka mendulang suara bahkan dengan mendiskreditkan pihak lawan.
ADVERTISEMENT
Dalam dinamika konstelasi politik segala sesuatu dapat terjadi. Setiap pihak harus siap dengan kenyataan terburuk yang bakal terjadi. Berbagai gambaran kebusukan dan kejelekan akan ditampilkan di depan panggung politik. Segala cara akan ditempuh dalam mencapai kemenangan, bahkan dengan menghadirkan black campaign (kampanye hitam) melalui berbagai media sosial.
Menurut David Mark dalam Optimalisasi Penindakan Black Campaign (2009), menyatakan bahwa kampanye hitam berorientasi pada penumbangan lawan dengan penyebaran berita bohong bahkan memfitnah. Kampanye hitam merupakan model kampanye yang melempar isu, gosip tanpa didukung fakta dan bukti. Kampanye hitam cenderung menyudutkan para calon yang diusung untuk menduduki suatu jabatan.
Berdasarkan data Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2024, Bawaslu RI merilis bahwa tingkat kerawanan ujaran kebencian dan politisasi sara atau kerawanan kontestasi di media sosial cukup tinggi di mana terdapat lebih dari 50% provinsi di Indonesia juga masuk kategori sedang, 26.47% memiliki kerawanan rendah dan lebih dari 17% memiliki skor kerawanan tinggi.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya hasil riset merekam, sebanyak 6 provinsi, yakni Maluku Utara, DKI Jakarta, Lampung, Jawa Barat, Kepulauan Bangka Belitung, dan Sulawesi Utara masuk dalam kategori kerawanan tinggi pada subdimensi kampanye calon. Ada 19 provinsi yang masuk ke dalam kategori kerawanan sedang dan 9 provinsi masuk ke dalam kategori kerawanan rendah.
Selain itu belajar dari pemilu 2019 Bawaslu RI menemukan pola penyebaran kampanye hitam baik dalam bentuk hoaks atau isu sara, dapat terlihat dalam 3 (tiga) kurun waktu yang sangat krusial dalam penyelenggaraan pilkada atau pemilu. Hal tersebut meliputi masa kampanye, masa tenang, serta tahap akhir dalam masa pengumuman. Pada Pemilu 2019 juga, data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Keminfo), sejak Agustus 2018 – Juni 2019 terdapat 2.457 isu hoaks sejak masa kampanye hingga pengumuman.
ADVERTISEMENT
Isu tersebut meliputi politik sebanyak 813 isu, pemerintahan sebanyak 328 isu, kesehatan 267 isu, selebihnya berkaitan dengan agama, bencana alam, fitnah, dan sebagainya. Isu hoaks ini tersebar dalam empat media sosial, yaitu Facebook, Instagram, Twitter, dan Youtube. Berdasarkan hasil penelitian Litbang Kompas pada September 2018 menunjukkan, penyebaran black campaign dan hoax ditemukan melalui Facebook sebanyak 49,88%, Youtube 16,24%, dan Twitter 15,08%.
Kehadiran black campaign menyebabkan pertarungan politik menjadi tidak sehat. Seringkali berubah dari adu janji dan adu program menjadi saling menjelekkan, saling membusukkan. Para pasangan calon dan para pendukungnya berusaha untuk saling merusak popularitas.
Popularitas dari masing-masing calon terus digerus dengan pesan dan aksi yang menurunkan kesukaan dan keterpilihan. Berbagai isu dimainkan, mulai dari rekam jejak pribadi hingga urusan bisnis kekuasaan. Hal inilah yang dimaksud dengan politik hantu dengan menakut-nakuti pemilih tentang sesuatu yang belum jelas terjadinya.
ADVERTISEMENT
Politik hantu ini terutama hadir melalui para buzzer politik di berbagai media sosial. Di satu sisi tidak dapat dipungkiri media sosial telah menjelma menjadi alat komunikasi yang efektif dalam mempengaruhi opini publik dalam ruang-ruang demokrasi.
Namun di sisi lain lepas dari efek positif, kehadiran media sosial dalam kampanye juga berpotensi menjadi alat propoganda yang destruktif. Black campaign, hoax, hate speech, rumors, bullying, fitnah, dan isu sara, telah menjadi sisi gelap dari kehadiran media sosial dalam dunia politik. Sisi kelam ini kemudian dipertegas dengan kehadiran buzzer politik yang berseliweran di berbagai media sosial.
Adapun buzzer politik adalah individu yang menyebarluaskan, mengkampanyekan, atau mendengungkan suatu pesan atau konten tertentu dengan menggunakan akun-akun palsu dan anonim yang berfungsi membentuk opini publik selama kampanye politik dan dukungan bagi calon pemimpin. Tak jarang, pesan yang didengungkan oleh buzzer di media sosial untuk kampanye politik memuat, berita hoaks kampanye hitam atau black campaign, dan sebagainya dengan tujuan untuk menjatuhkan lawan politik.
ADVERTISEMENT
Bawaslu RI menyatakan bahwa pemilu 2024 masih memiliki potensi kentalnya polarisasi di masyarakat terkait dukungan politik, sehingga tetap harus menjadi perhatian untuk menjaga kondusifitas dan stabilitas selama tahapan pemilihan umum berjalan. Politisasi SARA potensial digunakan untuk menaikkan atau menurunkan elektabilitas peserta pemilu. Politisasi SARA dibungkus dengan pemberian informasi yang tidak benar dan disebarkan tanpa melakukan konfirmasi dan pengecekan.
Intensitas penggunaan media sosial yang makin meningkat, tentu membutuhkan langkah-langkah mitigasi secara khusus untuk mengurangi dampak politik dan kerawanan yang terjadi dari dinamika politik di dunia digital terutama dengan maraknya kehadiran buzzer politik.
Pada prinsipnya buzzer politik dan berbagai bentuk black campaign dapat ditindak secara hukum melalui Pasal 35 dan Pasal 36 Peraturan KPU No. 23 Tahun 2018 sebagaimana telah diubah dalam Peraturan KPU No. 33 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum. Selain regulasi tersebut, persoalan yang berkaitan dengan penyalahgunaan kampanye dalam pilkada maupun pemilu, khususnya yang berkaitan dengan peyebaran hoaks dan ujaran kebencian juga diatur dalam beberapa undang-undang di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pertama, dalam pasal 14 dan pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Kedua, pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketiga, pasal 28 ayat (2), pasal 27 ayat (3), pasal 45A ayat (2), serta pasal 45 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU ITE.
Khusus dalam konteks buzzer politik dalam kerangka kampanye pemilu, berdasarkan Pasal 521 UU Pemilu dijelaskan bahwa setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) UU Pemilu dipidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian pada prinsipnya kehadiran buzzer politik yang menyebarkan berbagai black campaign, hoax, hate speech, rumors, bullying, fitnah, dan isu sara dilarang di negeri ini. Berbagai bentuk sanksi hukum yang ada harus mampu menjadi pilar pengawas pemilu, dan lebih dari itu tanggung jawab moril masing-masing pihak hendaknya harus menjadi pegangan bersama.
Deklarasi pemilu damai yang telah dicanangkan bersama pada tanggal 27 November 2023 tidak hanya sekadar seremoni belaka melainkan harus diimplementasikan dalam praktik politik. Hal ini sejalan dengan harapan Ketua KPU Hasyim Asy’ari bahwa para peserta pemilu 2024 bersama-sama telah meneguhkan niat dan menyatakan sikap untuk berkolaborasi serta bergandengan tangan untuk menyelenggarakan pemilu berdasarkan asas pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
ADVERTISEMENT
Ada komitmen yang dinyatakan para peserta pemilu untuk bersama-sama melaksanakan pemilu yang sehat, melaksanakan kampanye yang sehat, tidak saling mengumbar kenegatifan lawan politiknya, tetapi mempromosikan dirinya, menunjukkan hal-hal baik dirinya. Komitmen ini tidak hanya sekadar ritual akan tetapi harus dijiwai dengan semangat cinta tanah air dan bangsa.
Para peserta pemilu dan calon diharapkan menggunakan media sosial resmi dan bertanggung jawab dalam melakukan kampanye. Para penyelenggara pemilu (KPU) dan pengawas pemilu (BAWASLU) perlu memberikan penguatan terhadap media sosial sekaligus memberikan sanksi yang cepat dan efektif jika terdapat pelanggaran.
Lebih dari itu para peserta pemilu diharapkan lebih bijak menerima berbagai informasi tanpa dengan mudah terhasut oleh berbagai black campaign, hoax, hate speech, rumors, bullying, fitnah, dan isu sara. Masa depan bangsa ini ada pada kita, mari kita menjaganya melalui pemilu yang damai, jujur dan adil.
ADVERTISEMENT