Bebaskah Kita Setelah BTP Bebas?

KontraS
Akun resmi KontraS
Konten dari Pengguna
27 Januari 2019 10:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KontraS tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ahok. (Foto: Anggoro Fajar Purnomo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ahok. (Foto: Anggoro Fajar Purnomo/kumparan)
ADVERTISEMENT
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merespons bebasnya Basuki Tjahaja Purnama (BTP) pada Kamis (24/01) dengan merefleksikan kembali penggunaan Pasal 156a KUHP tentang Penodaan Agama yang masih berlaku hingga saat ini. Momentum bebasnya BTP setelah menjalani masa tahanan selama 2 tahun di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, atas kasus penistaan agama tentunya menjadi pengingat bagi masyarakat dan penyelenggara negara bahwa siapa pun dapat menjadi korban kriminalisasi dari Pasal Penodaan Agama tersebut.
ADVERTISEMENT
Pasal 156a KUHP penting untuk dikritisi kembali mengingat pasal tersebut tidak memiliki penjelasan kualifikasi mengenai sebuah penistaan agama dan parameter yang jelas, sehingga sangat subjektif dan rentan digunakan untuk mengkriminalisasi seseorang. Sejumlah orang pun pernah mengalami persekusi hingga dipenjara akibat penggunaan Pasal tersebut, sebut saja Lia Eden (sekte Kerajaan Tuhan), Tajul Muluk (Syiah), Ahmad Musadeq (pendiri Gafatar), Yusman Roy (salat multibahasa), Mangapin Sibuea (pemimpin sekte kiamat) hingga yang belum lama terjadi seperti kasus Meliana di Tanjung Balai.
Pertimbangan hakim di Pengadilan dalam menjatuhkan vonis penjara terhadap mereka yang dianggap telah melakukan penodaan agama pun ditafsirkan dengan luas mulai dari larangan untuk mengeluarkan pernyataan yang dianggap menghina sebuah agama sampai larangan untuk menyebarkan kepercayaan yang dianggap sesat.
ADVERTISEMENT
Dalam catatan KontraS, kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama, berkeyakinan, dan beribadah (KBB) tercatat selalu mendominasi peristiwa pelanggaran-pelanggaran terhadap hak sipil dan politik di masyarakat. Pada periode 2014-2018 saja, setidaknya terdapat 488 kasus pelanggaran terhadap KBB, dengan jumlah korban mencapai 896 peristiwa.
Aksi bela Islam 64 di Bareskrim. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi bela Islam 64 di Bareskrim. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Sementara pelaku pelanggaran kebebasan beribadah dan berkeyakinan, terdiri dari sipil, ormas, hingga aparat penegak hukum, dan pemerintah. Kami juga mencatat setidaknya ada empat kebijakan diskriminatif [1] yang dapat mendukung praktik-praktik intoleran. Adapun motif dasar yang mendominasi berbagai peristiwa ini adalah agama dan politik.
Motif agama tersebut sangat masif digunakan individu maupun ormas tertentu dalam melakukan upaya persekusi seperti pelarangan ibadah minoritas tertentu seperti Syiah, Ahmadiyah, Gafatar, dan aliran lainnya yang berujung dengan intimidasi. Penyegelan tempat ibadah hingga pelarangan aktivitas/kegiatan keagamaan, pengusiran paksa, stigmatisasi, dan tindakan buruk serta diskriminatif lainnya.
ADVERTISEMENT
Dengan subjektivitas dalam penggunaan pasal 156a KUHP tentang penodaan agama, maka sudah sepatutnya momentum “nasionalisasi” hukum pidana Indonesia dalam Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) digunakan oleh Pemerintah bersama DPR untuk mengevaluasi penerapan pasal penodaan agama.
Sangat disayangkan rumusan pasal ini masih terdapat dalam draft RKUHP, baik dalam draft per tanggal 28 Mei 2018 maupun 9 Juli 2018, yang menyebutkan “Setiap Orang di muka umum melakukan penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V.” (Pasal 326 KUHP).
Dengan masih dicantumkannya rumusan pasal tersebut menunjukkan bahwa jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan berekspresi lainnya belum sepenuhnya mendapat jaminan dari negara, bahkan sudah berada di luar koridor penegakan hukum yang sepatutnya bertujuan untuk melindungi HAM warga negara. Meskipun rumusan pasal dalam RKUHP tersebut tidak lagi menggunakan diksi “penodaan” sebagaimana digunakan dalam KUHP, namun diksi “penghinaan” yang digunakan juga rentan akan penafsiran ekstensif yang nantinya dapat digunakan untuk mengkriminalisasi penganut agama minoritas.
Ilustrasi Bela Islam (Foto: mojok.co)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bela Islam (Foto: mojok.co)
Keluarnya BTP sudah menjadi momentum kembali dalam merefleksikan penggunaan pasal penodaan agama yang sudah menjerat banyak orang, sekaligus sebagai upaya korektif dan preventif atas potensi terjadinya peristiwa serupa akibat masih diimplementasikannya pasal tersebut, untuk itu kami mendesak Pertama, pemerintah maupun DPR RI untuk menghapus materi muatan pasal penodaan dan atau penghinaan agama dalam rumusan RKUHP.
ADVERTISEMENT
Kedua, aparat penegak hukum harus memaksimalkan perlindungan bagi masyarakat untuk tidak dikriminalisasi dan dipersekusi atas nama penodaan atau penistaan agama. Penindakan terhadap segala bentuk intoleransi tidak boleh dilakukan oleh negara secara “musiman”, apalagi hanya karena adanya momentum politik maupun tujuan politik tertentu. Hal ini penting dipahami untuk mencegah agar peristiwa serupa tidak akan terulang kembali setiap tahunnya.
Jakarta, 24 Januari 2019
Yati Andriyani
Koordinator