Hati-hati Menggunakan UU Antiterorisme

KontraS
Akun resmi KontraS
Konten dari Pengguna
26 Mei 2018 0:01 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KontraS tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penjagaan di Mako Brimob usai kerusuhan. (Foto: REUTERS/Darren Whiteside)
zoom-in-whitePerbesar
Penjagaan di Mako Brimob usai kerusuhan. (Foto: REUTERS/Darren Whiteside)
ADVERTISEMENT
Berkenaan dengan Pengesahan Revisi Undang-undang Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme oleh DPR RI pada hari ini, Jumat 25 Mei 2018, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut dalam mengimplementasikan Undang-Undang ini:
ADVERTISEMENT
1. UU Pemberantasan Terorisme hanyalah salah satu instrumen dalam penanggulangan tindak pidana terorisme karena sekali lagi persoalan atau latar belakang tindakan terorisme bersifat kompleks, sehingga multi pendekatan dalam menanggulangi terorisme harus dilakukan, khususnya pendekatan-pendekatan preventif dan mitigatif. Dalam hal ini termasuk di antaranya pendekatan yang mampu mengkoordinasikan dan mengefektifkan sinergi seluruh lembaga negara terkait dalam penanganan terorisme dengan tetap mendasarkan pada kewenangan masing-masing lembaga dan sesuai koridor hukum serta jaminan HAM.
2. Prinsip kehati-hatian dalam menggunakan UU ini harus dikedepankan mengingat dalam RUU ini terdapat sejumlah pasal yang memberikan sejumlah diskresi kepada penegak hukum secara khusus, seperti penyadapan, penangkapan selama 14 hari, dan dapat diperpanjang 7 hari, penggunaan pasal hate speech atau pemidanaan terhadap orang-orang yang memiliki hubungan dengan jaringan teroris dan melakukan penghasutan. Prinsip kehati-hatian ini dilakukan dengan tetap mengedepankan: Proporsionalitas (tindakan yang dilakukan terukur), Legalitas (sesuai dengan landasan hukum), dan Akuntabilitas (dapat dipertanggungjawabakan).
ADVERTISEMENT
3. Prinsip kehati-hatian yang mengedepankan prinsip-prinsip di atas juga harus dilakukan dalam menggunakan pendekatan yang eksesif (penggunaan kekuatan, kekerasan dan daya paksa yang berlebihan) mengutamakan pendekatan eksesif dalam pemberantasan terorisme dikhawatirkan akan semakin memproduksi rantai kekerasan, melemahkan langkah-langkah kontra terorisme dan upaya-upaya deradikalisasi.
4. Pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme harus tetap dalam konteks operasi militer selain perang (OPSM) sebagaimana diatur dalam UU TNI pasal 7 ayat (2) dan (3). Peraturan Presiden (Perpres) yang dimaksud dalam pasal 43I harus memperhatikan; pertama, keterlibatan TNI sebagai pilihan terakhir dan dengan sejumlah prasyarat ketat, misalkan apabila situasi dan kondisi mendesak di mana Polri/ penegak hukum sudah tidak mampu; kedua, harus jelas dalam skala, situasi, derajat atau intensitas situasi seperti TNI terlibat; ketiga, TNI tidak bisa terlibat dalam konteks penyelidikan, penyidikan atau proses pemidanaan (criminal justice process); keempat, adanya jaminan ketiadaan tumpang tindih kewenangan; kelima, adanya jaminan mekanisme pengawasan yang jelas dan akuntabel.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hal-hal tersebut maka sebaiknya pengaktifan Koopssusgab tidak mendesak untuk dilakukan. Dan selama ini sudah terdapat praktik bagaimana TNI terlibat dalam operasi pemberantasan terorisme di Poso tanpa harus secara khusus diatur dalam UU pemberantasan terorisme maupun pembentukan Koopssusgab.
5. Jika UU ini diberlakukan maka penting untuk memastikan adanya safeguard, pengawasan dan mekanisme akuntabilitas dan transparansi dalam menggunakan kewenangan yang ada di dalam UU ini. Misalkan, pentingnya tersedia mekanisme pengawasan yang memadai terhadap penegak hukum dan lembaga-lembaga terkait dalam menangani pemberantasan terorisme, pentingnya; RUU tentang Tindak Pidana Penyiksaan untuk menjamin tidak terjadinya praktik penyiksaan dalam proses pemberantasan tindak pidana terorisme; RUU penyadapan dan perlindungan data pribadi yang dapat menjadi payung hukum pasal penyadapan; RUU Perbantuan Khusus yang dapat lebih menjelaskan fungsi perbantuan TNI; RUU Peradilan Militer untuk evaluasi dan mencegah potensi penyalahgunaan wewenang atau kesewenang-wenangan dalam pemberantasan tindak pidana terorisme; pentingnya Jaminan pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban tindak pidana terorisme, termasuk korban salah tangkap, penyiksaan, salah tembak dan atau tindakan lain yang merugikan korban dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.
ADVERTISEMENT
Jakarta, 25 Mei 2018
Yati Andriyani
Koordinator KontraS