Tidak Ada Aktivisme Intelektual di Kota Magelang

Krisnaldo Triguswinri
Bukunya yang telah terbit: Jazz Untuk Nada (2016) dan Tidak Ada Pagi Revolusi, Sementara Ada Pagi Jatuh Cinta (2021) dan Hari-Hari Berbagi Api (2021).
Konten dari Pengguna
10 Maret 2022 15:30 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Krisnaldo Triguswinri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumen Pribadi @Krisnaldotriguswinri_
zoom-in-whitePerbesar
Dokumen Pribadi @Krisnaldotriguswinri_
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Konflik di Desa Wadas, Purworejo, yang berjarak hanya 34 km dari Kota Magelang tidak membuat kelompok mahasiswa dan kalangan intelektual tergerak mengambil peranan. Entah sekadar ikut bersolidaritas menolak penghancuran ruang hidup warga, membuat kajian ilmiah, atau mendeklarasikan dukungan moral dan intelektual dalam merespons hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Kelompok mahasiswa dan kalangan intelektual Magelang sunyi dan dingin menyaksikan peristiwa yang melecehkan kemanusiaan itu – sekalipun ia bertetangga. Mereka abai terhadap penderitaan seorang Ibu yang isak tangisnya terdengar parau, anak-anak yang trauma akibat hentakan sepatu boots aparat dan bising suara alat berat, serta Ayah yang cemas memproyeksikan hidup dan penghidupan karena ancaman tambang.
Ketika kota-kota yang terpisah secara spasil dari Magelang-Wadas menggalang solidaritas, unjuk rasa serta memberi dukungan imperatif terhadap resistensi dan konsistensi warga dalam mempertahankan ruang hidupnya, mahasiswa dan intelektual Magelang entah berada di mana.
Ketika banyak universitas menyelenggarakan aktivisme intelektual melalui webinar, kajian, dan rilis untuk mengecam serta merespons penangkapan warga, mahasiswa dan intelektual di Magelang entah sedang berbuat apa. Dua fakta tersebut memperlihatkan kontrapolasi moral, matinya kepakaran dan hilangnya integritas bagi aktivisme intelektual di Kota Magelang.
ADVERTISEMENT
Kota Magelang memiliki satu universitas negeri dan empat universitas swasta. Walau terbilang kota yang relatif kecil berdasarkan ukuran geografis, namun Magelang relatif besar secara sosio-intelektual. Maka tak ada alasan bagi mahasiswa dan kaum intelektualnya untuk tidak ikut serta mengambil posisi terhadap krisis yang terjadi di Wadas. Sebuah krisis ekologi-sosial yang menahun menjadi perhatian nasional dan sorotan internasional. Tetapi luput dari tatapan mata Magelang.
Saya ingin membuat distingsi yang membedakan antara intelektual, kegiatan intelektual dan aktivisme intelektual. Intelektual di dalam kajian epistemologi, bila merujuk pada buku populer berjudul “The Future Intellectuals and the Rise of the New Class” yang ditulis oleh Alvin Gouldner, seorang profesor sosiologi dari Universitas Washington, menyebutkan kalangan intelektual merupakan kelas sosial baru yang menguasai ilmu pengetahuan dan memiliki kapital budaya karena pengetahuan yang dimilikinya. Kapital budaya ini, menurut Gouldner, dapat dikembangkan menjadi kapital politik, kapital sosial, bahkan kapital uang.
ADVERTISEMENT
Kegiatan intelektual secara figuratif saya asumsikan sebagai proses belajar-mengajar, menyelenggarakan kegiatan ospek bagi mahasiswa, mempublikasi jurnal ilmiah, dan menginisiasi seminar-seminar elitis dan ekslusif serta terpisah dari permasalahan masyarakat.
Sedangkan aktivisme, dalam kamus Oxford, diartikan sebagai “he use of vigorous campaigning to bring about political and social change.” Atas keterangan literal tersebut, saya meletakkan intepretasi aktivisme intelektual sebagai etika untuk mengamplifikasi perubahan sosial dan politik yang dilakukan secara terus menerus dengan fasilitas kapital budaya, politik, sosial dan ekonomi yang dimiliki oleh kalangan intelektual guna berkontribusi pada permasalahan konkrit masyarakat.
Dalam artikel ini saya akan membahas apa itu universitas dan mengapa kalangan intelektualnya berjarak dari permasalahan masyarakat dan perubahan sosial.

Universitas dan Kekuasaan

Universitas secara general berangkat dari konsep Akademi Plato yang didirikan pada tahun 387 sebelum masehi. Tidak seperti kebanyakan universitas hari ini, Akademi Plato berorientasi dan bertujuan mempertajam pikiran dan memperhalus perasaan mahasiswanya. Tradisi sekolah ala Platonis ini kemudian dilanjutkan kembali di dalam Abad Pertengahan di Eropa yang disebut sebagai Masa Skolastik. Para mahasiswa dan kalangan intelektual masa itu bersekutu dengan kelas tertindas dan bekerja sama untuk membongkar persembunyian pelbagai kejahatan: kuasa modal yang berselingkuh dengan kekuasaan (apologetic).
ADVERTISEMENT
Kemudian universitas bertransformasi begitu cepat. Modernisasi universitas melahirkan para sarjana, cendikiawan, dan ilmuwan yang lewat pemikirannya masih diandalkan sebagai proponen yang, kalau meminjam istilah Soekarno, menjadi “penyambung lidah rakyat”. Namun evolusi universitas tersebut tidak berjalan paralel. Ia melahirkan kritikan dari pelbagai kalangan yang menyatakan bahwa universitas tidak lagi menghasilkan para intelektual yang bermanfaat untuk mengentaskan permasalahan kemasyarakatan.
Antonio Gramsci, misalnya, mengatakan bahwa kebanyakan kelompok intelektual modern hanya sibuk seminar, onani intelektual, dan berkelakar di puncak menara gading institusinya. Ia tidak lagi terjun ke dalam masyarakat, enggan beriringan dengan pusat-pusat penderitaan, dan absen menjadi penyambung lidah rakyat. Hal tersebut terjadi karena besarnya intervensi kekuasaan dan modal terhadap kebebasasan akademik di dalam dunia universitas.
ADVERTISEMENT
Universitas, modal, dan kekuasaan selalu interelasional dalam konteks sejarah Indonesia. Memisahkan secara steril relasi universitas dan politik merupakan suatu ketidakmungkinan. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita membuat batasan-batasan antara universitas dengan kekuasaan? sehingga ia tetap bersifat relasional namun tidak semerta-merta mengkooptasi otonomi dari kebebasan universitas. Karena satu universitas tanpa kebebasan akademik sama sekali bukan universitas: kebebasan akademik adalah jantungnya universitas.
Dalam konteks Indonesia, kebebasan akademik diakui hanya apabila ia menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan di internal kampus. Tiadanya eksaminasi di luar aktivitas pengajaran dan penelitian membuat gagasan kampus tidak pernah benar-benar menyentuh masalah masyarakat. Pandangan yang domestifikatif ini mengabaikan fakta bahwa seorang akademisi itu sekaligus warga yang di dalam demokrasi punya kewajiban untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam kehidupan publik yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Secara teoritik, di dalam relasi kuasa antara negara dengan universitas, di dalam hubungan penguasa dan yang dikuasai, Gramsci menghadirkan konsep hegemoni untuk memberikan keterangan leksikal terhadap hal ini, yaitu penguasaan alam bawah sadar yang memanfaatkan legitimasi dari mereka yang dikuasai.
Di dalam konteks intelektualisme, potensialitas universitas untuk senantiasa terlibat dalam permasalahan publik menyebabkan kekuasaan mau tidak mau harus mengontrol aktivitas tersebut. Hal itu pula yang menyebabkan mengapa derajat kebebasan kampus menjadi sangat terbatasi dan para intelektualnya sekadar menjadi pion kekuasaan.
Intervensi kekuasaan dan modal di dalam universitas di Indonesia ini bisa kita pelajari lebih rigid dan detail melalui buku Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru karya Dhaniel Dhakidae, Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia karya Vedi Hadiz dan Dhaniel Dhakidae serta Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan dari Hindia Belanda sampai Orde Baru karya Andrew Goss.
ADVERTISEMENT

Intelektual Organik

Di dalam magnus opus Gramsci, The Prison Notebook, ia menawarkan alternatif kepada para intelektual untuk kembali menjadi organik dalam rangka menghindari hegemoni kekuasaan. Yaitu dengan menjadi intelektual yang hidup di dua dunia sekaligus – di dunia masyarakat di dalam universitas dan di dunia masyarakat di luar universitas. Secara simplikatif kita dapat mendefinisikan intelektual organik ala Gramsci tersebut sebagai kalangan yang lahir dan tumbuh kembang dalam permasalahan masyarakat. Mereka secara fungsional hadir di tengah masyarakat untuk mengetahui dari dekat apa yang sedang terjadi dan berusaha menciptakan solusi melalui ilmu pengetahuan atau kepakaran yang dimiliki.
Lawan dari intelektual organik adalah intelektual tradisional. Intelektual tradisional (dan intelektual menara gading) adalah mereka yang di dalam sejarah ilmu pengetahuan mengambil posisi sebagai perpanjangan tangan kekuasaan serta berjarak dari permasalahan rill masyarakat. Siapa mereka? Pengajar yang melegitimasi UU Cipta Kerja, yang mendukung perampasan ruang hidup di Kendeng, Temon, hingga Wadas, yang menolak RUU TPKS dan enggan melaksanakan perintah Permendikbud 30/21, yang membunuh demokrasi karena mendukung ide perpanjangan kekuasaan, yang memusuhi mereka yang berpikir kritis, dan tentu saja adalah mereka yang feodal.
ADVERTISEMENT
Di dalam sebuah diskusi yang dipantik oleh para intelektual kritis yang berasal dari lintas universitas, menyebut fenomena di atas terjadi karena para medioker intelektual ini turut diuntungkan dengan adanya agenda kekuasaan; jaminan tunjangan gaji, janji kenaikan pangkat, hibah proyek, dan keuntungan-keuntungan materi lainnya.
Sedangkan intelektual organik adalah mereka yang dengan kesadaran intelektual dan nuraninya berupaya menghindari hal-hal tersebut dan kemudian mengambil peran untuk membela kepentingan masyarakat yang menjadi korban atas agenda-agenda kekuasaan. bila beban moral-intelektual itu tidak ia lakukan, maka seorang intelektual harus mempertanyakan ulang eksistensinya sebagai intelektual.
Saya tidak percaya bahwa ilmu pengetahuan itu selalu bebas nilai dan tidak memihak pada kepentingan apa pun. Foucault adalah rujukan paling masuk akal dalam menjelaskan soal bagaimana relasi ilmu pengetahuan dan kekuasaan itu saling berkelindan. Maka mengambil sikap terhadap keberpihakan kelas adalah pilihan paling rasional.
ADVERTISEMENT
Banyak intelektual termasyhur Indonesia yang mengambil peranan di dalam aktivisme intelektual terhadap pelbagai permasalahan sosial. Kita bisa membuat daftar panjang untuk menyebut nama-nama mereka, tetapi tidak perlu. Oleh karenanya, kembali pada pertanyaan kunci, apakah kalangan intelektual selalu berjarak dengan masyarakat?
Bersamaan dengan artikel ini ditulis, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik bekerja sama dengan Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, dan Assosiasi Studi Sosio-legal Indonesia menyelenggarakan sebuah webinar bertajuk Akademisi Peduli Wadas dalam rangka memberikan eksaminasi kepada publik tentang putusan PTUN Semarang dan MA.