Kritik sebagai Alat Uji Berdemokrasi

Kristianto Naku
Saya Kristianto Naku (Penulis Daring dan Blogger). Saya menyelesaikan studi di Fakultas Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pada tahun 2020, saya menyelesaikan studi Program Bakaloreat Fakultas Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Konten dari Pengguna
16 Februari 2021 8:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kristianto Naku tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Para pengunjuk rasa saat protes menentang kudeta militer dan menuntut pembebasan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi, di Yangon, Myanmar, Sabtu (13/2). Foto: Stringer/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Para pengunjuk rasa saat protes menentang kudeta militer dan menuntut pembebasan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi, di Yangon, Myanmar, Sabtu (13/2). Foto: Stringer/REUTERS
ADVERTISEMENT
Pemerintahan yang diktator adalah sebuah bentuk pemerintahan yang lahir dari konsep egosistem. Karakter egosistem muncul dalam simptom-simptom ihwal, yakni menolak kritikan, mau menang sendiri, dan menutup akses dialog. Jika karakter-karakter demikian dilestarikan dalam sebuah sistem pemerintahan, pelan-pelan karakter kebinekaan dan kesatuan akan gembos dan jatuh pada diktatorisme.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Ketua DPW Partai Nasional Demokrasi (Nasdem) sekaligus anggota Komisi VI DPR RI Subardi adalah bentuk keterbukaan pemerintah dalam mengelola negara. Menurut Subardi, kritik bukanlah sebuah persoalan atau sesuatu yang perlu ditakuti dalam hidup bernegara. “Tidak ada yang salah dengan kritik. Bedakan antara kritik dan caci-maki, hoaks, ujaran kebencian, maupun fitnah. Hal ini, tidak hanya berlaku untuk pemerintah, tetapi untuk semua orang,” ujar Subardi.
Sebagai sebuah negara demokrasi, upaya mengawal jalannya dinamika pemerintahan adalah sebuah keharusan di Indonesia. Jika ingin, agar negara tumbuh dan berkembang dengan baik, diperlukan masukan (input) dari berbagai pihak dalam menggotong kebaikan (bonum commune) dan kesejahteraan bersama (communal welfare). Hal ini penting, mengingat sebuah pemerintahan yang baik, akan tetap eksis selamanya jika para pemangku jabatan dan kepentingan mau terbuka dalam menerima masukan berupa kritik.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya adalah apakah sebuah kritikan harus disertai solusi? Sejatinya tidak. Saya boleh menyampaikan aspirasi, masukan, ataupun kritikan agar, pertama-tama mereka yang menjadi sasaran kritikan saya sadar akan kekurangan dan kelalaian yang tengah terjadi.
Dalam hal ini, kritikan berusaha memacu upaya menumbuhkembangkan fungsi kontrol sosial (social control) dalam hidup bersama. Dengan mengutarakan kritikan, seseorang merasa bebas hidup sebagai warga negara, sekaligus diterima atau diakui sebagai seorang warga negara.
Praksis hidup berdemokrasi ada dalam koridor mengkritik, dikritik, dan menjawab kritikan. Unsur-unsur ini penting mengingat kehidupan bersama adalah corak dialogis humanis. Ketika saya mengkritik, dalam hal ini, saya berusaha mengingatkan sesuatu yang “mungkin” tak diketahui atau tak disadari oleh orang yang tengah saya kritik.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks demikian, saya tak wajib menawarkan solusi, yang penting saya sudah mengingatkan dan memberikan input yang konstruktif. Hemat saya, pemerintahan yang bijak akan mengakomodir jenis masukan bermanfaat, jika disampaikan secara terbuka (transparant) dan santun (polite).
Polemik terbesar kenapa kritikan berubah menjadi bencana, sejatinya bisa muncul justru karena cara mengkritik. Dalam dunia moral dan praksis etika, ketika kita membuat sebuah keputusan tertentu, tiga aspek penting berikut harus tetap dikawal sebagaimana mestinya, yakni soal cara, motif atau intensi, dan tujuan.
Dalam menyampaikan kritik, tidak cukup apa yang dinamakan dengan intensi–hal apa yang hendak sampaikan. Meski niat saya baik, akan tetapi cara saya menyampaikannya kurang baik, bisa jadi kritikan itu justru kembali menyerang pribadi saya sebagai pengkritik.
ADVERTISEMENT
Dalam ilmu komunikasi, tata cara menyampaikan ide, gagasan, pesan ataupun kritik harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Tentu kita masih mengenal istilah finish santificat media (tujuan tidak menghalalkan segala cara). Apa yang dimaksudkan dengan cara dalam hal ini? Cara yang baik itu berkaitan dengan pilihan kata (diksi), tidak memprovokasi, menggunakan bahasa yang tidak mengandung SARA, dan tak boleh menghujat atau mencaci-maki si sasaran kritik. Ketika aspek-aspek tersebut dilalaikan, inilah yang menjadi biang kerok kenapa para pengkritik kemudian diproses secara hukum.
Karakter demokratis sebuah pemerintahan dalam hal ini tidak serta-merta menghapus cara-cara yang santun dalam mengutarakan gagasan. Dalam konferensi persnya, Presiden Joko Widodo menyentil soal keterbukaan pemerintah dalam menerima masukan berupa kritikan dan saran dari warga negara. Bagi Presiden Jokowi, kritikan dan saran adalah alat uji kemajuan sebuah bangsa.
ADVERTISEMENT
Sebuah pemerintahan demokratis selalu mau berdialog dengan siapa saja entah melalui diskusi bersama, debat publik, maupun melalui kritik-saran. Hemat saya, poin ini sudah menjadi sebuah role model yang patut dicontoh dari pribadi seorang pemimpin. Saya yakin dan percaya bahwa sebuah sistem pemerintahan yang mengedepankan unsur dialog akan membawa banyak perubahan dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Salah satu negara yang jatuh pada diktatorisme untuk saat ini, misalnya adalah Myanmar. Saat ini Myanmar ada dalam goncangan politik yang hebat. Hasil Pemilu yang diadakan pada 2020 kemarin justru ditolak oleh partai opsi junta militer. Dengan karakter egosistem yang kuat dalam diri junta militer, alhasil pemerintahan yang sah dari hasil pemilu demokratis kemarin membelenggu hidup bernegara.
ADVERTISEMENT
Kritikan dan masukan dari warga negara tak satu pun diadopsi dan diterima dengan baik. Dalam hal ini, kita bisa mencermati bagaimana komunikasi politik yang mengedepankan egosistem lebih dominan. Negara-negara lain yang ikut masuk dalam proyek egosistem ini adalah Korea Utara dan China.
Maka, apa yang harus diusahakan? Hal yang seharusnya dikedepankan sebetulnya adalah bagaimana pemerintahan yang demokratis itu membentuk semangat eko-sistem, yakni membuka ruang dialog, menerima masukan-kritik, dan legowo. Karakter ekosistem dalam dalam hal ini membentuk semangat keseimbangan dan merangkul semua.
Jika kita melihat lebih jeli, upaya masayarakat Myanmar dalam menyampaikan kritikan kepada junta militer Myanmar selalu dilakukan dengan cara-cara beradap. Mereka, dalam hal ini, tetap memperhatikan kaidah-kaidah komunikasi politik yang santun. Akan tetapi, dengan karakter ego-sistem yang mengakar dalam diri pribadi dan kelompok tertentu, upaya-upaya demikian hanya menjadi ritual belaka.
ADVERTISEMENT