Logika Kuliah Daring Sambil Demo

Kristianto Naku
Saya Kristianto Naku (Penulis Daring dan Blogger). Saya menyelesaikan studi di Fakultas Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pada tahun 2020, saya menyelesaikan studi Program Bakaloreat Fakultas Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Konten dari Pengguna
20 Oktober 2020 17:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kristianto Naku tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Se-Indonesia (BEM-SI) menggelar demo tolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Kuliah daring sambil demo rasanya unik dan aneh. Unik karena orang bisa melakukannya secara bersamaan - demo sambil mengerjakan soal Ujian Tengah Semester (UTS). Aneh karena aksi demo sambil kuliah daring justru dilkukan saat bangsa ini tengah tertatih-tatih melawan Covid-19.
ADVERTISEMENT
Hari ini, Selasa (20/10/2020), semua civitas kampus yang terafiliasi dalam aksi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) kembali menggelar aksi demonstrasi. Kapan kelarnya? Seberapa urgen dan mendesak kuliah online di tengah panasnya isu Tolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja? Apakah materi-materi kuliah daring tak terlalu menarik ‘tuk dipelajari sehingga undangan demo lebih diprioritaskan?
Apa perlu semua materi kuliah daring untuk semester ini diganti dengan tema umum Tolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja? Kan bisa langsung dipraktik turun ke lapangan dengan aski demonstrasi. Lalu, apakah dosen-dosen sudah tak punya rencana lagi ‘tuk berbagi pengetahuan kuliah selain pengetahuan soal Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja?
Sekolah daring sambil demo rasanya unik dan aneh. Unik karena orang bisa melakukannya secara bersamaan – kuliah, sambil demo. Aneh karena aksi demo sambil kuliah daring justru dilakukan saat bangsa ini tengah tertatih-tatih melawan Covid-19.
ADVERTISEMENT
Sejak Maret hingga pertengahan Oktober 2020, kuliah tatap muka ditiadakan. Semua kegiatan belajar, secara darurat dialihkan ke sistem belajar dalam jaringan (daring). Dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendekdibud) dihimbau agar civitas akademika wajib kembali ke rumah masing-masing agar ‘tak terpapar pandemi virus corona.
Belajar dari rumah. Kuliah dari rumah. Sebaiknya kurangi kebiasaan keluar rumah. Pakai masker. Jaga jarak. Dan, hindari kerumunan. Kampus bersatu, lawan korona. #KampusTangkalCorona. Strategi kampus, kurang lebih demikian di tengah masa pandemi ini.
Alhasil, semua taat. Mahasiswa sibuk dalam suasana kuliah daring. Membaca notifikasi. Upload tugas. Buka aplikasi zoom. Semuanya tertib dan disiplin. Kadang ada yang mengeluh, akan tetapi tak jarang ada yang meneguk pesan dari sistem belajar dengan cara baru ini – sistem belajar daring.
ADVERTISEMENT
Mereka yang meneguk pesan, berasumsi bahwa dengan kuliah daring, mahasiswa dilatih untuk belajar mandiri dan dilatih untuk pandai membagi waktu. Dengan kata lain, dalam sistem belajar daring, kuliah dan sistem belajar tetap berjalan.
Saat kuliah daring sedang loading, polemik mulai muncul ketika waktu menginjak bulan Oktober. Tiba-tiba semua peserta kuliah daring turun ke jalan-jalan menyambangi jarak. Semua berkumpul menjadi satu membentuk kerumunan sambil berteriak: “Tolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja!”
Perubahan iklim civitas akademika memancing jutaan perhatian mata. Kenapa semua turun ke jalan dan menyambangi Covid-19? Seberapa besar pengaruh Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja terhadap proses perkuliahan daring? Kuliah daring ‘tak terlalu menarik? Kuliah daring makes student get nothing?
ADVERTISEMENT
Ketika mendapat undangan untuk turun berdemo, semua pertanyaan di atas tak penting. Yang paling penting sekarang adalah soal solidaritas sebagai bagian dari civitas kampus. Jika ada undangan untuk berdemo, langsung jalan. Kita adalah mahasiswa. Kita pencetus perubahan. Mungkin semangat inilah yang “menggerayangi” peserta kuliah daring ketika turun ke jalan-jalan sambil menenteng poster dan spanduk bertuliskan “Tolak UU Cipta Kerja!”
Animo mahasiswa untuk turun ke jalan-jalan dan meneriak “Tolak UU Cipta Kerja” dalam kerumun adalah bagian dari upaya menghardik kemendesakan yang dialami sebuah bangsa dan negara. Mahasiswa merasa perlu berorasi, mengumpulkan massa, menggedor-gedor pintu istana agar suaranya sampai ke telinga Joko Widodo. Ini perlu, karena sejarah pernah membuat sebuah revolusi besar-besaran.
ADVERTISEMENT
Pada 1998, mahasiswa pernah berhasil menumbangkan rezim Suharto berkat aksi kerumun. Tapi, konteks waktu itu, memang berbeda. Suharto layak dilengser mengingat ia terlalu lama memimpin Indonesia. Alasan lain dari sekadar rezim kuasa Suharto, juga banyak dipersoalkan lain yang krusial, misalkan dinasti korupsi dan krisis moneter.
Rezim Jokowi, apa? Apakah Jokowi tak berbuat apa-apa selama masa kepemimpinannya? Apakah Jokowi cuek melihat penderitaan rakyat di masa pandemi Covid-19 ini? Apakah Jokowi seorang koruptor? Apakah Jokowi tak berpihak pada bangsa dan negaranya?
Apakah Jokowi pro-asing? Apakah dana triunan rupiah yang diglontorkan secara terangan-terangan bukan sebuah itikad baik dari rezim Jokowi? Mari mencermati. Mari duduk dan berpikir. Mari melepas riuh dengan sedikit menyeduh hening agar pikiran dan hati tak ramai dihantui pandemi cemas-takut-marah-geram!
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, hingga hari ini, undangan aksi berdemo tetap menjamur. Hari ini Selasa (20/10/2020), semua civitas kampus yang terafiliasi dalam aksi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) kembali menggelar aksi demonstrasi. Kapan kelarnya? Seberapa urgen dan mendesak kuliah online di tengah panasnya isu Tolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja? Apakah materi-materi kuliah daring tak terlalu menarik ‘tuk dipelajari sehingga undangan demo lebih diprioritaskan?
Apakah dosen-dosen sudah tak punya rencana lagi ‘tuk berbagi pengetahuan kuliah selain pengetahuan soal Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja? Sekolah daring sambil demo rasanya unik dan aneh. Unik karena orang bisa melakukannya secara bersamaan. Aneh karena aksi demo sambil kuliah daring justru dilkukan saat bangsa ini tengah tertatih-tatih melawan Covid-19.
ADVERTISEMENT
Saya paham dan mengapresiasi teman-teman mahasiswa. Saya juga mahasiswa. Akan tetapi, karena saya mendengar langsung bagaimana Jokowi berkomentar soal Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, saya mengurung niat ‘tuk turun ke jalan. Karena masih banyak tugas kampus yang disodorkan, saya memilih menyelesaikan tugas.
Karena saya mengingat orangtua saya membiayai perkuliahan saya, saya wajib mempertanggungjawabkan apa yang mereka korbankan. Dan, karena sekarang kampus tengah mengadakan Ujian Tengah Semester (UTS). Semua posisi yang saya ambil, tak berarti saya cuek dan tak peka terhadap keadaan bangsa dan negara ini. Saya ikut mengawasi perkembangan bangsa ini dengan cara saya sebagai seorang mahasiswa saat ini dan di sini.
Apakah tak ada cara lain selain demo? Bukankah aksi demonstrasi meruntuhkan semangat bersama melawan pandemi Covid-19? Di luar sana, cuaca tak bersahabat. Hujan dan banjir. Bagaimana aksi demonstrasi dan kuliah daring dipahami dalam situasi seperti ini?
ADVERTISEMENT
Mungkin pandemi informasi terlalu memenuhi jagat ruang pikiran kita. Berharap, kita punya waktu ‘tuk menenangkan diri menghadapi Ujian Tengah Semester (UTS) dengan sistem kuliah daring. Jika, mereka yang kita teriaki tak menggubris, biarkan hukum yang menindaklanjuti. Mari kita kembali mengikuti perkuliahan daring!