10 Isu Serius Bagi Sektor Kelautan dan Perikanan di Omnibus Law UU Cipta Kerja

12 Oktober 2020 12:23 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah anak buah kapal bantu menyemprotkan air menggunakan mesin pompa ke dalam kapal nelayan Vietnam. Foto: Antara/Jessica Helena Wuysang
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah anak buah kapal bantu menyemprotkan air menggunakan mesin pompa ke dalam kapal nelayan Vietnam. Foto: Antara/Jessica Helena Wuysang
ADVERTISEMENT
DPR telah mengesahkan Omnibus Law UU Cipta Kerja pada Senin pekan lalu. Gelombang protes terus berlangsung karena beleid tersebut dinilai tak disosialisasikan dengan maksimal. Padahal, banyak sektor yang dibahas, salah satunya terkait kelautan dan perikanan.
ADVERTISEMENT
Perkumpulan Prakarsa Laut Berkelanjutan dan Berkeadilan Indonesia atau Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), yang dipimpin oleh Mas Achmad Santosa yang merupakan mantan Koordinator Satgas 115, menerbitkan analisis terkait UU Cipta Kerja di sektor kelautan dan perikanan.
Analisis dilakukan dengan perbandingan antara ketentuan yang diatur dalam UU Cipta Kerja dengan seluruh pasal UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, seluruh pasal UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jo.
Selain itu, perbandingan dengan UU Nomor 1 Tahun 2014, seluruh pasal UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jo UU Nomor 45 Tahun 2009, seluruh pasal UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, sebagian pasal (yang dianggap berkaitan) dari UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan sebagian pasal (yang dianggap berkaitan) dari UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
ADVERTISEMENT
Adapun perubahan-perubahan pada sektor kelautan dan perikanan dalam UU Cipta Kerja, dibagi menjadi klaster-klaster seperti perizinan, penataan ruang dan zonasi, ketentuan sanksi, pengurangan kewenangan/ peran Pemda, penarikan kewenangan dari menteri ke pemerintah pusat, pelibatan masyarakat, penanaman modal asing atau usaha milik asing, ketentuan nelayan kecil, kewajiban lainnya, Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan, ketentuan standar mutu perikanan, dan perubahan bentuk dokumen Lainnya.
Dari hasil analisis yang dilakukan, IOJI menyimpulkan ada 10 isu serius terkait sektor kelautan dan perikanan yang harus menjadi perhatian dalam UU Cipta Kerja. Berikut lengkapnya:
Pertama, rumusan Pasal 27 angka 10 UU Cipta Kerja mempertahankan Pasal 30 UU Perikanan yang membuka akses penangkapan ikan oleh kapal ikan asing di ZEE Indonesia. Hal ini berpotensi kuat menyebabkan eksploitasi sumber daya ikan Indonesia secara besar-besaran oleh pihak asing, seperti halnya terjadi di tahun 2000-an sampai dengan 2014.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Pasal 27 angka 15 UU Cipta Kerja menghapus kewajiban penggunaan awak kapal berkewarganegaraan Indonesia sebesar 70 persen di satu kapal ikan berbendera asing yang beroperasi di Indonesia. Dengan penghapusan kewajiban ini, maka dimungkinkan kapal ikan asing yang beroperasi di Indonesia menggunakan 100 persen ABK asing.
Nelayan Indonesia dan penduduk Indonesia seharusnya menjadi prioritas dalam mendapatkan manfaat dari sumber daya perikanan di ZEE Indonesia, sesuai dengan amanat Pasal 33 (3) UUD 1945. Namun demikian, ketentuan UU Cipta Kerja tersebut di atas akan membawa Indonesia kembali ke kondisi terdahulu, di mana eksploitasi sumber daya perikanan didominasi oleh korporasi besar bermodal asing.
Proses penenggelaman Kapal Ikan Asing (KIA) Vietnam oleh Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna. Foto: Dok. Dispen Koarmada 1
Berkaca pada pengalaman yang lalu, pada saat itu tingkat kepatuhan pelaku usaha sangat rendah, pengawasan kepatuhan sulit dilakukan (karena sulit membedakan yang legal dan illegal), ditemukan praktik penggandaan izin, pendapatan negara rendah karena under reported dan praktik alih muat hasil tangkapan secara ilegal, serta tindak pidana lainnya marak terjadi (seperti tindak pidana perdagangan orang dan perbudakan modern). Pada akhirnya, banyak nelayan kecil yang terdesak oleh kapal-kapal ikan asing sehingga mereka kehilangan akses melaut.
ADVERTISEMENT
Ditinjau dari perspektif hukum internasional, pembukaan akses untuk kapal ikan asing harus sesuai dengan empat syarat yang diatur dalam Pasal 62 Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Pembukaan akses ZEE untuk kapal ikan asing saat ini tidak sesuai dengan keempat syarat pada Pasal 62 UNCLOS tersebut, karena Indonesia masih dihadapkan dengan kebutuhan untuk memenuhi permintaan ikan dengan tingkat konsumsi ikan per kapita di Indonesia yang relatif tinggi (target sebesar 54 kg/kapita di tahun 2019) walaupun belum merata, prevalensi stunting yang masih tinggi, serta kebutuhan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan yang semakin besar.
Kedua, Pasal 18 angka 22 UU Cipta Kerja menghapus kewajiban “mengutamakan kepentingan nasional” dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya yang sebelumnya diatur pada Pasal 26A ayat (2) UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Terdapat frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal” dalam Pasal 18 angka 22 UU Cipta Kerja yang berarti pelaksanaan pemanfaatan pulau kecil oleh pihak asing harus mengacu pada Undang-Undang tentang Penanaman Modal.
ADVERTISEMENT
Ketentuan mengenai “kepentingan nasional” diatur sangat umum di UU Penanaman Modal.2 Tidak ada ketentuan spesifik di UU Penanaman Modal yang mengatur bahwa penanaman modal asing untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib mengutamakan kepentingan nasional.
Oleh karena itu, penghapusan klausul pada UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang secara tegas mewajibkan penanaman modal asing untuk mengutamakan kepentingan nasional seharusnya tidak dilakukan.
Ketiga, berkaitan dengan penjelasan poin kedua di atas, Pasal 18 angka 23 UU Cipta Kerja menyebutkan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya oleh pemodal asing yang dilakukan tanpa perizinan berusaha dikenakan sanksi administratif. UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatur bahwa pemanfaatan pulau kecil diprioritaskan salah satunya untuk usaha pertahanan dan keamanan.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, pemanfaatan pulau-pulau kecil oleh pemodal asing (termasuk di pulau-pulau terluar) tanpa izin merupakan ancaman serius terhadap kedaulatan NKRI, sehingga perlu diberikan ancaman sanksi pidana.
Keempat, Pasal 27 angka 2 UU Cipta Kerja menghilangkan Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan. Padahal Komisi ini berfungsi sangat penting dalam menjaga integritas keilmuan agar tingkat pemanfaatan sumber daya ikan berada pada sustainable limit (tingkat lestari).
Seorang pria membawa rumput laut hasil panen di Nusa Lembongan, Bali. Foto: Nyimas Laula/Reuters
Kelima, Pasal 18 angka 14 UU Cipta Kerja memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk menerbitkan Perizinan Berusaha meskipun rencana tata ruang dan rencana zonasi belum ada untuk kegiatan yang ditetapkan sebagai kebijakan nasional strategis.
Undang-Undang Penataan Ruang secara jelas menyebutkan bahwa tata ruang bertujuan agar pengelolaan ruang terlaksana dengan bijaksana sehingga terjaga keberlanjutannya demi keadilan sosial sesuai dengan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Kegiatan pemanfaatan yang dilakukan tanpa mengacu pada rencana tata ruang berpotensi tidak sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem yang berdampak pada masyarakat di wilayah tersebut.
Keenam, UU Cipta Kerja menghapus RZ WP3K tingkat provinsi dan kabupaten/ kota, RS WP3K, RP WP3K, RAP WP3K, dan Rencana Zonasi Rinci. UU Cipta Kerja tidak memberikan penjelasan dokumen tata ruang apa yang akan menggantikan fungsi dokumen-dokumen yang dihapus.
Dengan dihapuskan dokumen-dokumen tersebut, maka alternatif pengganti untuk mempertahankan fungsi dokumen-dokumen tersebut hanyalah Rencana Zonasi Wilayah Pengelolaan dan Pulau-Pulau Kecil (RZ WP3K) yang merupakan kewenangan Pemerintah Pusat.
Walaupun partisipasi publik diwajibkan dalam penyusunan RZ WP3K, terdapat potensi kendala terkait dengan jangkauan yang semakin jauh dan sulit bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam penyusunan perencanaan di tingkat Pemerintah Pusat (accessibility).
ADVERTISEMENT
Ketujuh, UU Cipta Kerja melemahkan pelibatan masyarakat pada tahap perencanaan tata ruang, AMDAL, dan izin lingkungan. Sebagaimana telah dijelaskan di paragraf sebelumnya, UU Cipta Kerja tidak menjelaskan bagaimana dokumen-dokumen perencanaan yang dihapuskan fungsinya dapat dipertahankan melalui dokumen perencanaan tata ruang yang tidak dihapuskan oleh UU Cipta Kerja.
Selain karena masing-masing dokumen perencanaan tata ruang daerah memegang fungsi yang penting, dokumen-dokumen tersebut juga memberikan jaminan pelibatan masyarakat secara normatif. Jika Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana UU Cipta Kerja tidak memberikan pengaturan yang menjamin kualitas partisipasi publik dalam penyusunan rencana tata ruang di tingkat Pemerintah Pusat, maka pelibatan yang dilakukan dapat hanya bersifat tokenisme (sebatas formalitas).
Selain itu, aspirasi dan peran serta masyarakat lokal berpotensi dikesampingkan karena adanya ketentuan mengenai (a) kebijakan strategis nasional yang dapat mengesampingkan rencana tata ruang dan (b) pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil oleh instansi pemerintah yang tidak diwajibkan izin. Pelemahan esensi pelibatan masyarakat juga secara nyata terlihat dari perubahan ketentuan AMDAL dan Izin Lingkungan dalam UU Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Pada proses AMDAL, pelibatan masyarakat dilemahkan di tahap penyusunan dan penilaian. Pelibatan masyarakat di tahap penyusunan AMDAL hanya terbatas untuk masyarakat yang terdampak langsung. Padahal, pelibatan secara luas (dengan melibatkan organisasi lingkungan, pemerhati lingkungan, dan masyarakat yang terpengaruh) menjadi penting karena biasanya masyarakat yang terdampak langsung adalah masyarakat marginal yang tidak memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan aspirasinya (voiceless) dengan tingkat kesadaran hukum dan pendidikan yang rendah, sehingga membutuhkan dukungan dan pendampingan.
Kehadiran organisasi lingkungan, pemerhati lingkungan, dan masyarakat yang terpengaruh dapat memegang fungsi pendampingan bagi masyarakat termarginalkan dan memberikan pandangan yang didukung oleh pengetahuan dan sains. Komisi Penilai AMDAL sebagai ‘bangunan’ yang memfasilitasi pelibatan pemangku kepentingan (multi-stakeholders) juga dihilangkan.
Nelayan memperbaiki jaring di Teluk Kendari, Kendari, Sulawesi Tenggara, Jumat (4/9/2020). Foto: JOJON/ANTARA FOTO
Mengenai pelibatan masyarakat dalam proses permohonan dan persetujuan izin lingkungan, berdasarkan PP 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, pemerintah wajib mengumumkan permohonan maupun dokumen izin lingkungan yang telah disetujui. Atas dasar pengumuman tentang permohonan izin tersebut, masyarakat dan organisasi lingkungan dapat memberikan masukan, saran, dan pendapat terhadap izin tersebut. Masyarakat juga berhak mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memohonkan pembatalan izin lingkungan jika dianggap mengandung kekeliruan.
ADVERTISEMENT
Ketentuan-ketentuan tersebut tidak lagi berlaku secara efektif karena izin lingkungan dihapuskan oleh UU Cipta Kerja dan dilebur ke dalam Perizinan Berusaha. Dengan demikian, peran serta masyarakat dalam tahap perizinan lingkungan menjadi hilang.
Kedelapan, beberapa pasal UU Cipta Kerja menggabungkan jenis-jenis izin. Contohnya, Pasal 18 angka 15 dan Pasal 18 angka 16 UU Cipta Kerja yang menggunakan terminologi “perizinan berusaha”, di mana teks asli pada UU sebelumnya menggunakan 2 (dua) terminologi berbeda yaitu “izin lokasi” dan “izin pengelolaan”.
Contoh lainnya adalah Pasal 27 angka 5 dan Pasal 27 angka 6 UU Cipta Kerja yang menggunakan frasa “perizinan berusaha” di mana teks pada UU sebelumnya adalah SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan), SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan), dan SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan). Tidak ada pasal maupun penjelasan dalam UU Cipta Kerja yang dapat memberikan pemahaman mengenai bagaimana materi muatan dan fungsi izin-izin tersebut dapat dipertahankan setelah diubah/ dileburkan ke dalam “Perizinan Berusaha”.
ADVERTISEMENT
Selain hal tersebut, Pasal 22 angka 1 UU Cipta Kerja mengubah “izin lingkungan” menjadi “persetujuan lingkungan”. Digantinya izin menjadi persetujuan akan menurunkan fungsi, efektivitas, dan pengendalian. Izin memiliki kemampuan untuk secara efektif berfungsi sebagai instrumen pengendalian kegiatan, pencegahan pelanggaran, dan pengawasan masyarakat.
Kesembilan, beberapa pasal UU Cipta Kerja mengganti kewenangan menteri menjadi “Pemerintah Pusat”, sebagai contoh Pasal 27 angka 2 UU Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa kebijakan untuk pengelolaan sumber daya ikan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat; juga pasal 27 angka 19 yang mengatur mengenai penetapan pengelolaan pelabuhan perikanan oleh Pemerintah Pusat.
Permasalahannya, UU Cipta Kerja tidak memberikan kepastian bahwa kewenangan tersebut nantinya diberikan oleh pemerintah pusat kepada menteri teknis terkait ataupun Pemerintah Daerah. Kementerian-kementerian teknis dilengkapi berbagai kemampuan serta sarana dan prasarana untuk menjalankan fungsi-fungsi spesifik sehingga seharusnya hal-hal spesifik pemerintahan ditugaskan kepada Menteri.
ADVERTISEMENT
Kesepuluh, terdapat ketentuan mengenai sanksi di dalam UU Cipta Kerja yang dirumuskan secara tidak tepat. Terdapat guiding principles dalam menentukan perbuatan yang dapat dijatuhkan sanksi administratif dan yang harus dijatuhkan sanksi pidana. Salah satu prinsipnya adalah jika sebuah perbuatan menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Namun demikian Pasal 18 angka 23 UU Cipta Kerja mengatur bahwa perbuatan memanfaatkan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya tanpa izin dalam rangka penanaman modal asing hanya dikenakan sanksi administratif.
Perbuatan ini sepatutnya dikenakan sanksi pidana mengingat bahwa perbuatan ini dapat menyebabkan dampak yang besar. Di samping itu, ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi di dalam UU Cipta Kerja, khususnya perubahan pasal dalam UU Perikanan, juga belum sempurna. Ketidaksempurnaan ketentuan sanksi dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan dari penjatuhan sanksi, yang salah satunya adalah menimbulkan efek jera (deterrent effect).
ADVERTISEMENT