143 Juta Orang Indonesia Rentan Miskin, Indef Minta Penerapan PPN Hati-hati

4 Juli 2021 18:55 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi membayar pajak dengan layanan DJP online. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi membayar pajak dengan layanan DJP online. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai penerapan kebijakan PPN di tengah pandemi harus dilakukan secara hati-hati. Sebab, 143 juta masyarakat Indonesia rentan miskin berdasarkan data Bank Dunia 2019 yang dipaparkan Ekonom Indef, Faisal Basri.
ADVERTISEMENT
Faisal mengatakan, 143 juta jumlah orang Indonesia ini rentan miskin jika ada kejadian syok seperti pandemi COVID-19. Jumlah ini juga lebih tinggi dibandingkan orang miskin 27,55 juta dan jauh lebih tinggi dari penerima PBI BPJS Kesehatan 96,8 juta jiwa.
"Jadi yang rentan jauh lebih besar, hati-hati menerapkan peningkatan PPN sebab PPN berlaku buat semua orang, apalagi dinaikkan tarifnya dan yang sembako dikenakan. The devil is in detail. Detailnya belum ada. Jangan kita kasih cek kosong," katanya dalam Diskusi Online Indef 'Urgensi Reformasi Fiskal di Tengah Pandemi' Minggu (4/7).
Ketimbang mengejar PPN sembako, pemerintah harusnya bisa meningkatkan penerimaan negara dari cukai rokok dengan menaikkan otomatisasi 10 persen dan sederhanakan kelompok produsen dari 10 menjadi maksimum hanya 4.
ADVERTISEMENT
Kedua, hapuskan pengenaan pajak final perusahaan konstruksi. Sumber sektor ini dalam PDB menjadi terbesar keempat.
"Jadi berlakukan seperti sektor lain, bayar PPh 22 persen tahun ini dari keuntungan. Jangan berlakukan pajak final, kan perusahaan konstruksi sebagian besar BUMN harusnya lebih mudah (diminta bayar pajak)," katanya.
Ketiga, Faisal Basri meminta hentikan obral fasilitas keringanan pajak seperti tax holiday, khususnya di sektor pertambangan dan yang berlokasi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Menurutnya, KEK menjadi sarang penyelundupan sebab barang dari China masuk tanpa kena pajak.
Keempat, naikkan tarif pajak final sektor keuangan karena banyak orang investasi di sektor keuangan, bukan sektor riil. Kelima, naikkan tarif pajak pribadi super rich menjadi 40 persen. Di RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) hanya 35 persen.
ADVERTISEMENT
Selain itu sumber-sumber penghematan juga dilakukan, seperti hemat belanja barang, reformasi subsidi energi dan listrik, tahan belanja senjata, tunda pembangunan ibu kota baru setidaknya 5 tahun, dan jadwal ulang pembangunan infrastruktur yang tidak mendesak.
Ekonom Faisal Basri dalam diskusi di Katadata Insight Center, Jakarta Selatan, Jumat (4/10/2019). Foto: Muhammad Darisman/kumparan
Hal yang sama juga diungkapkan Kepala Center of Macroeconomics and Finance Indef, M Rizal Taufikurahman. Menurutnya, di tengah pandemi, pemerintah perlu menjalankan kebijakan perpajakan secara hati-hati karena permintaan dan produksi sedang turun.
"Bukan masalah peningkatan pajak, tetapi bagaimana efektivitas pajak yang ada dengan mekanisme yang lebih bijaksana. Justru seharusnya diberikan insentif dan kemudahan dalam konsumsi maupun investasi," katanya.

Setoran Pajak Loyo, Pemerintah Tidak Bisa Salahkan Pandemi

Peneliti Center of Macroeconomics and Finance Indef, Abdul Manap Pulungan, meminta pemerintah tidak menyalahkan adanya pandemi yang membuat setoran pajak loyo. Sebab, sebelum adanya wabah ini, rekam jejak penerimaan pajak selalu meleset dari target.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, dalam lima tahun terakhir, kecenderungan terjadi peningkatan shortfall dari tahun ke tahun. Shortfall pada 2015 sekitar Rp 150 triliun, 2016 sekitar Rp 250 triliun, 2019 sebesar Rp 250 triliun dan di tahun 2020 sekitar Rp 350 triliun. Data tersebut menunjukkan ada permasalahan signifikan di penerimaan negara.
"Artinya bukan karena COVID-19, tetapi karena masalah fundamental penerimaan pajak itu sendiri. Gap antara pendapatan dan belanja semakin luas. Jangan sampai gara-gara ini selalu pemerintah beralasan atau mengambil langkah lewat penarikan utang-utang,” kata Abdul Manap.