7 Faktor Penyebab Indonesia Gagal Berdaulat Pangan Saat Terjadi Pandemi

22 Mei 2020 19:11 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah pedagang tetap membuka lapaknya di kawasan Pasar Lereng,  Bukittinggi,  Sumatera Barat. Foto: ANTARA FOTO / Iggoy el Fitra
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah pedagang tetap membuka lapaknya di kawasan Pasar Lereng, Bukittinggi, Sumatera Barat. Foto: ANTARA FOTO / Iggoy el Fitra
ADVERTISEMENT
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) telah mengingatkan bahwa pandemi virus corona (COVID-19) bisa menyebabkan krisis pangan dunia.
ADVERTISEMENT
Menurut FAO, krisis pangan ini bisa disebabkan oleh terbatasnya jumlah pekerja di sektor pertanian akibat kebijakan karantina hingga produksi ternak yang menurun karena gangguan logistik pangan.
Untuk itu FAO mengimbau agar setiap negara untuk menjaga kelancaran rantai pasok pangan.
Sejak pernyataan FAO tersebut, isu ketahanan pangan menjadi salah satu hal yang disoroti banyak negara. Kekhawatiran yang sama juga datang dari Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) Institut Pertanian Bogor, Sofyan Sjaf.
Sofyan menyayangkan selama ini Indonesia gagal menciptakan kedaulatan pangan bagi rakyatnya. Sehingga saat terjadi pandemi seperti sekarang ini, pemerintah seolah baru tersadar bahwa krisis pangan merupakan ancaman nyata.
“Bagaimana dan apa yang harus kita lakukan? Terjadi kemandekan sebenarnya. Kemandekan republik agraris, yang sebenarnya punya kemampuan produksi pangan yang luar biasa. Ada tujuh fakta miris kenapa Indonesia gagal dalam kedaulatan pangan,” ungkap Sofyan dalam diskusi daring BEM KM IPB, Jumat (22/5).
Pedagang menata dagangannya di Pasar Tradisional Kuripan yang sepi pembeli di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Foto: ANTARA FOTO / Bayu Pratama S
Fakta pertama, desa sebagai tempat atau fokus produksi dan reproduksi pangan, serta pertanian sebagai basis ekonomi rumah tangga tidak pernah dikelola dengan baik oleh pemerintah. Padahal 73,14 persen masyarakat desa bergantung pada pertanian dan 15,11 persen lainnya adalah wilayah pesisir atau nelayan.
ADVERTISEMENT
Mirisnya, pemerintah tidak pernah berhenti melakukan impor pangan. Akibatnya desa-desa menjadi identik dengan ketertinggalan dan kantong kemiskinan.
“Pemerintah selalu mengatakan dari dulu, kita ada kemiskinan dan ketertinggalan. Kalau Anda ingin selesaikan kemiskinan, masuk ke jantung pertahanan struktur negara kita yaitu desa. Selesaikan kemiskinan, selesaikan pertanian. Karena di situlah kantong-kantong kemiskinan berada,” ujar Sofyan.
Fakta kedua, banyak tenaga kerja muda (produktif) di pedesaan tidak tertarik mengurus pertanian. Mereka memilih untuk bermigrasi ke kota. Fenomena ini biasanya disebut sebagai loss generation. Sofyan mengatakan, berdasarkan data BPS, 61,8 persen petani berusia di atas 45 tahun dan hanya 12,2 persen petani yang berusia di bawah 35 tahun.
Tapi gara-gara ada COVID-19, Sofyan melihat fenomena baru. Orang yang awalnya bermigrasi ke kota, kini memilih untuk kembali ke desa.
ADVERTISEMENT
Booming generation sekarang. Orang-orang yang tidak dapat pekerjaan di kota kembali ke desa. Sebab desa merupakan benteng terakhir mereka untuk hidup,” ujarnya.
Menurut Sofyan, kondisi ini bisa dimanfaatkan dengan kembalinya tenaga-tenaga produktif. Sehingga potensi desa pun bisa dioptimalkan.
Fakta ketiga, terjadi pelemahan objek maupun subjek pangan (reforma agraria).
Fakta keempat, mandeknya kebaruan pendekatan dalam pembangunan pertanian di pedesaan.
Fakta kelima, yang tak kalah miris menurut Sofyan adalah alokasi penggunaan Dana Desa tidak tepat sasaran untuk mengembangkan potensi desa. Sofyan menilai beberapa program yang diselenggarakan dari dana desa justru tidak memiki daya ungkit untuk membangkitkan ekonomi pedesaan. Padahal menurutnya, Dana Desa bisa dialokasikan untuk program ketahanan pangan.
Pedagang di pasar induk Kramat Jati Jakarta Timur. Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan
Fakta keenam, kehadiran lembaga ekonomi rakyat seperti BUMDES, tidak diorientasikan sebagai kelembagaan yang berfungsi untuk mengkonsolidasikan kekuatan ekonomi pedesaan baik dari produksi, konsumsi hingga distribusi. Sofyan menilai harusnya lembaga ekonomi rakyat bisa berfungsi sebagai konsolidasi kekuatan ekonomi desa.
ADVERTISEMENT
Fakta ketujuh, tidak adanya data desa yang presisi. Tak heran jika penyaluran bansos terkesan berantakan dan kerap terjadi konflik kepentingan elit sebab desa-desa tidak mempunyai data-data akurat soal kependudukan.
“Ini tugas yang berat tapi sebenernya mudah dilaksanakan. Asalkan ada afirmatif action dan regulasi yang dilakukan pemerintah. Saya sudah melakukan penelitian, ini 3 bulan bisa rampung 35 data tematik desa yang dilakukan secara partisipatif. Saya bisa melakukan itu dengan teknologi yang ada,” tandasnya.
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
*****
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!