Ada Ancaman Taper Tantrum, Utang RI Dikhawatirkan Bisa Meroket

11 Juni 2021 14:39 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas mengitung uang rupiah di salah satu gerai penukaran uang asing di Jakarta, Rabu (27/11). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
zoom-in-whitePerbesar
Petugas mengitung uang rupiah di salah satu gerai penukaran uang asing di Jakarta, Rabu (27/11). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
ADVERTISEMENT
Utang pemerintah dikhawatirkan masih akan terus meroket. Ini dipicu oleh adanya ancaman taper tantrum, di tengah masih sulitnya perekonomian lantaran penanganan pandemi COVID-19 yang belum juga kelar.
ADVERTISEMENT
Sebagai gambaran, taper tantrum ini merupakan kondisi bergejolaknya pasar lantaran bank sentral memperketat kebijakan. Istilah ini digunakan buat efek langsung yang muncul imbas pengumuman kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) pada tahun 2013.
Kini ancaman serupa memungkinkan untuk kembali berulang. Ini dipicu oleh cepatnya pemulihan dari dampak pandemi yang tengah berlangsung di AS.
Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira menilai, utang pemerintah sudah hampir pasti melonjak signifikan. Langkah bank sentral AS itu bakal memicu kaburnya investasi di Indonesia.
"Kembalinya dana asing ke negara maju menyebabkan yield utang akan naik signifikan. Dari segi beban bunga utang, saat ini saja sudah memakan 25 persen dari penerimaan pajak atau sebesar Rp 373,2 triliun. Pemerintah diperkirakan akan menarik utang lebih cepat," jelas Bhima kepada kumparan, Jumat (11/6).
Bhima Yudhistira. Foto: Ulfa Rahayu/kumparan
Bhima menilai, rasio utang ini bahkan bisa menembus 60 persen dari PDB sebelum memasuki paruh kedua 2022. Target untuk menahan tingkat rasio utang di level 44 persen, menurutnya hampir mustahil bisa dilakukan.
ADVERTISEMENT
Bila kondisi ini terjadi, tak cuma berdampak pada melonjaknya utang, namun juga membikin lesu kinerja ekspor. Terutama sektor yang basisnya adalah industri manufaktur, di mana mereka mesti menanggung kenaikan beban bahan baku dan modal imbas melemahnya kurs rupiah dan mahalnya pinjaman.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan hal senada. Seperti efek tantrum yang pernah terjadi di 2013, bank sentral AS sangat mungkin akan mengurangi pembelian obligasi. Ini diikuti juga dengan kenaikan suku bunga AS.
"Pandemi bikin utang meningkat, oleh karena itu menjaga rasio sampai stabilitas nilai tukar rupiah penting sekali. Salah satunya dengan menjaga supaya utang tidak melonjak tahun ini, pemerintah mulai mesti konsolidasi fiskal," jelas Josua Pardede.
Untuk diketahui, taper tantrum yang terjadi tahun 2013 membikin aliran modal asing berbondong-bondong kabur dari negara berkembang. Indonesia turut merasai dampaknya dengan melemahnya rupiah sampai 26 persen sepanjang 2013, melonjak dari nilai tukar Rp 9.790 di Mei 2013, sampai menyentuh Rp 14.730 pada September 2015.
ADVERTISEMENT