Ada Skema Baru Pajak Pertanian, Potensi Penerimaan Negara Hanya Rp 300 Miliar

6 Agustus 2020 16:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perta Arun Gas dorong petani binaannya kembangkan kebun agrowisata. Foto: Cka Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Perta Arun Gas dorong petani binaannya kembangkan kebun agrowisata. Foto: Cka Indonesia
ADVERTISEMENT
Pemerintah mengeluarkan skema baru dalam pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada produk pertanian. Petani yang menjual produk pertanian tertentu bisa mendapatkan tarif PPN 1 persen dari harga jual, namun harus memberikan pemberitahuan kepada Ditjen Pajak.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89 Tahun 2020. Dalam beleid itu, pemerintah memberikan opsi atau skema baru pembayaran pajak bagi petani yang menjual produk pertanian tertentu.
Sebelumnya, petani yang menjual produk pertanian seperti sayuran, buah, tanaman hias dan obat, padi, jagung, hingga kopi, dikenakan PPN dengan tarif 10 persen.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Kacaribu, menyebut skema baru tersebut berpotensi menambah penerimaan negara tahun ini sebesar Rp 300 miliar.
“Kalau hitungan kita dampak PMK ini ke penerimaan PPN tidak terlalu besar untuk tahun ini yaitu sekitar Rp 300 miliar,” ujar Febrio dalam media briefing Kemenkeu, Kamis (6/8).
Febrio Kacaribu saat dilantik sebagai Kepala BKF oleh Menteri Keuangan RI Sri Mulyani, Jumat (3/4). Foto: Dok. Kemenkeu RI
Menurut dia, pemerintah mengeluarkan aturan pungutan PPN pertanian tidak sepenuhnya untuk mengejar penerimaan. Apalagi, beleid itu terbit di semester II tahun ini.
ADVERTISEMENT
“Tidak sepenuhnya untuk mengumpulkan penerimaan, tapi memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha di sektor pertanian atau yang menyerahkan barang hasil pertanian tertentu untuk memenuhi kewajiban pajaknya,” jelasnya.
Kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) secara rata-rata sebesar 13 persen dengan nilai sekitar Rp 2.000 triliun. Namun menurut Febrio, andil sektor ini pada penerimaan negara sangat kecil.
Hal itu berbeda dengan sektor manufaktur yang kontribusinya sebesar 19,7 persen terhadap PDB, dan andilnya ke penerimaan negara juga tinggi, sekitar 28 persen.
“Ini terlihat kurang proporsional, makanya tadi itu yang ingin kedepankan dengan PMK ini agar semakin mudah sektor pertanian dan pelaku usaha sektor pertanian lakukan kewajibannya bayar pajak sebagai warga negara yang baik,” kata Febrio.
ADVERTISEMENT
Dalam PMK 89/2020 disebutkan bahwa petani dan kelompok petani dapat memilih menggunakan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak, dengan tarif efektif PPN menjadi 1 persen dari harga jual.
“Petani diberikan pilihan untuk menggunakan mekanisme dasar pengenaan pajak nilai lain, sehingga tergantung kondisi petani yang bersangkutan lebih optimalnya menggunakan opsi yang mana,” katanya.
Jika menggunakan mekanisme baru, maka badan usaha industri yang membeli dari petani ditunjuk sebagai pemungut PPN 1 persen dan tetap dapat mengkreditkan PPN tersebut sebagai pajak masukan. Pemungutan oleh badan usaha industri ini semakin meningkatkan kemudahan bagi petani dan kelompok petani.
Namun, jika petani memilih dengan tarif PPN 10 persen, petani harus menyetorkan pajaknya sendiri, sehingga harus memiliki pembukuan.
ADVERTISEMENT
Untuk petani yang ingin menggunakan dasar pengenaan pajak dengan nilai lain, maka petani ketika membayar pajak harus mengirimkan notifikasi kepada Direktorat Jenderal Pajak terlebih dahulu.
"Yang pertama bisa menggunakan yang biasa. Jadi dasar pengenaan pajak harga jual, ini mekanisme normal, tarif PPN-nya 10 persen, maka tarif efektifnya 10 persen tersebut," tutur Febrio.